KEMATIAN yang merupakan pintu masuk menuju hidup abadi, adalah nikmat. Hal ini diisyaratkan QS. Al-Baqarah: 28: “Bagaimana kamu terus menerus kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati (yakni tidak wujud dan berada di pentas bumi ini) lalu Dia menghidupkan kamu (yakni di permukaan bumi ini), kemudian Dia mematikan kamu (dengan mencabut nyawa kamu sehingga kamu mmeninggalkan pentas bumi ini), kemudian Dia meghidupkan kamu (lagi, yakni di alam Barzah), kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (untuk dinilai amal-amal perbuatan kamu selama di pentas bumi, setelah itu jika penilaian-Nya positif kamu akan mendapatkan kehidupan sempurna, dan bila tidak kamu akan tersiksa di neraka).”
Didulukannya kata mati pada firman Allah: “Dia yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapa yang lebih baik amalnya.” (QS al-Mulk: 2), memberi kesan bahwa kematian adalah nikmat, karena dengannya manusia meraih hidup. Demikian tulis ar-Raghib al-Ashfahani.
Muhammad Iqbal, filsuf Pakistan kenamaan, juga berpandangan bahwa menurut al-Qur’an, kematian bukanlah bencana. Dia kemudian menunjuk firman-Nya yang menyatakan: “Tidak ada satu pun di langit dan di bumi kecuali datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Tuhan telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada-Nya dengan sendiri-sendiri.” (QS. Maryam: 93-95).
Manusia, zat yang terbatas dengan kepribadiannya yang tunggal dan tidak bisa digantikan, akan berdiri menghadap Allah, Dzat yang tidak terbatas. Dia menghadap untuk menyaksikan akibat amal-amal yang telah dilakukannya, sekaligus menetapkan sendiri kesudahannya. “Tiap-tiap manusia telah Kami tetapkan baginya (penulisan amal perbuatannya bagaikan tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan untuknya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. Bacalah kitabmu, sekarang cukuplah dirimu sendiri menjadi penghisab (yakni yang melakukan perhitungan) atas dirimu.” (QS. Al-Isra’: 13-14).
Apa pun kesudahan manusia, sama sekali bukan berarti hilangnya kepribadiannya. Al-Qur’an tidak menganggap kebebasan sempurna dari keterbatasan sebagai puncak kebahagiaan manusia. Ia menganggap ganjaran sempurna adalah pada pentahapan penguasaan dirinya, keunikan dan kekuatan kegiatannya dalam kedudukannya sebagai ruh. Sampai-sampai kehancuran alam raya yang mendahului secara langsung pada hari Perhitungan, sama sekali tidak mempengaruhi ketenangan jiwanya yang telah sempurna perkembangannya itu.
Allah berfirman: “Dan ditiuplah sangkakala sehingga matilah siapa (makhluk) yang di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” (QS. az-Zumar: 68). Siapakah yang dikecualikan Allah di sini, kalau bukan mereka yang jiwanya telah mencapai puncak kekuatan serta meraih tingkat tertinggi dari tahap perkembangan. Yakni ketika dia mampu menguasai dirinya dengan penguasaan sempurna di hadirat Allah yang Maha Meliputi dan Menguasai segala sesuatu. Sesungguhnya manusia yang perkembangannya memerlukan jutaan tahun, tidak mungkin sama sekali dilemparkan begitu saja sepesti barang yang tidak berharga.
Selanjutnya Iqbal mengingatkan, cara penyucian jiwa dan pemeliharaannya dari keburukan tidak lain kecuali dengan amal saleh. “Maha Suci Allah yang dalam genggaman tangan-Nya kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Mulia lagi Maha Pengampun.” (QS al-Mulk: 1-2). Demikian, lebih kurang Iqbal, yang juga menjadikan kematian tangga untuk mencapai kesempurnaan manusia.*/M. Quraish Shihab, seperti tertuang dalam bukunya Perjalanan Menuju Keabadian. [Tulisan selanjutnya]