DALAM kehidupan yang kita alami ini, terlihat dengan jelas adanya keberpasangan. Ada malam ada siang, ada pagi ada sore, ada senang ada susah, ada jantan ada betina, demikian seterusnya. Hanya sang Khaliq, Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak ada pasangan-Nya, tidak ada pula serupa-Nya.
Listrik pun berpasangan, ada arus positif dan ada juga arus negatif. Bumi tempat yang kita huni ada kutubnya yang negatif, ada juga yang positif, bahkan atom yang tadinya diduga merupakan wujud yang terkecil dan tidak dapat terbagi, ternyata ia pun berpasangan dari elektron dan proton.
Dengan keberpasangan itu lahir kerjasama, dan dengan kerjasama hidup bersinambung lagi harmonis. Masing-masing secara memiliki keistimewaan tetapi juga kekurangan. Dengan keberpasangan, tercipta kesempurnaan dan menyatu keistimewaan itu.
Bunga-bunga yang mekar dengan indahnya, bertujuan antara lain merayu burung dan lebah agar mengantar benihnya ke kembang lain untuk dibuahi. Bukan hanya binatang dan tumbuh-tumbuhan, bahkan atom pun –yang negatif dan positif– elektron dan proton bertemu untuk saling tarik menarik demi memelihara eksistensinya. Demikian naluri makhluk, yang dianugerahkan Allah kepadanya. Masing-masing memiliki pasangan dan berupaya bertemu dengan pasangannya.
Agaknya tidak ada satu naluri yang lebih dalam dan kuat dorongannya melebihi naluri dorongan pertemuan dua lawan jenis, pria dan wanita, jantan dan betina, positif dan negatif. Itulah ciptaan dan pengaturan Ilahi.
“Maha suci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik yang tumbuh di bumi, dari jenis mereka (manusia) maupun dari makhluk-makhluk yang mereka tidak ketahui.” (Yasin [36]: 36).
Inilah yang dinamai Law of Sex atau Hukum Berpasangan, yang diletakkan Maha Pencipta bagi segala sesuatu.
Manusia dalam keberpasangannya berbeda dengan binatang. Pada umumnya ada waktu-waktu tertentu bagi binatang –selain manusia– untuk melakukan hubungan seks. Sekian banyak binatang tidak melakukannya setelah betinanya mengandung, berbeda dengan manusia.
Di sisi lain, kecendrungan seksual umumnya binatang hanya muncul pada musim bunga, tidak setiap waktu. Karena itu pula “kita menzalimi binatang” ketika memaki seseorang yang mengumbar nafsunya ke kiri dan ke kanan tanpa batas dengan menyatakan bahwa “nafsunya seperti binatang”, sebab pada hakikatnya nafsu manusia, apalagi yang durhaka, melebihi nafsu binatang, bahkan tak mengenal batas.
Keberpasangan adalah aksi dari satu pihak yang disambut dengan reaksi penerimaan oleh pihak lain, satu mempengaruhi dan yang lain dipengaruhi. Atas dasar inilah Law of Sex berjalan, dan atas dasar itu pula alam raya diatur Allah.
Jika kita mengakui bahwa keberpasangan merupakan ketetapan Ilahi yang berlaku umum –dan ini harus diakui karena kenyataan membuktikannya– maka harus diakui pula bahwa ia bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi bersih, suci lagi terhormat dan selalu harus bersih suci dan terhormat. Itu salah satu sebab mengapa ayat 36 Surat Yasin [36] yang dikutip di atas dimulai dengan kata Subhana/Maha suci. Tidak dibenarkan adanya noda pada seks, dan setiap noda yang mungkin muncul harus segera dihindari. Dari sini pertemuan lelaki dan perempuan harus selalu disertai oleh kebersihan dan kesucian.
Selanjutnya jika kita mengakui bahwa aksi dan reaksi, atau pengaruh mempengaruhi, merupakan kodrat segala sesuatu, maka harus diakui pula bahwa tiada keistimewaan bagi yang melakukan aksi dari segi fungsinya sebagai pelaku, dan tidak juga ada kekurangan bagi yang nenerima reaksinya. Walaupun harus diakui bahwa yang melakukan aksi lebih kuat dari yang menerimanya.
Seandainya jarum tidak lebih keras dari kain, atau pacul tidak lebih kuat dari tanah, maka tidak akan ada jahit menjahit, tidak juga berhasil pertanian. Karena itu, jantan atau lelaki selalu mengesankan kekuatan, dan penguasaan, sementara betina atau perempuan mengesankan kelemah-lembutan, dan penerimaan. Namun demikian, sekali lagi, kekuatan atau kelemahlembutan di sini, sama sekali tidak menunjukkan superioritas satu pihak atas pihak lain, tetapi masing-masing memiliki keistimewaannya dan masing-masing membutuhkan yang lain, guna tercapainya tujuan bersama.*/M. Quraish Shihab, dari bukunya Dia Di Mana-mana-‘Tangan’ Tuhan di Balik Setiap Fenomena. [Tulisan berikutnya]