MELIHAT diri sendiri memang tidak mudah, terlebih mata kepala tidak mampu melihat wajah sendiri, melainkan dengan bantuan cermin.
Andai pun mesti berhadapan dengan cermin, diri hanya melakukannya saat akan tampil, saat telah dibersihkan, saat momentum kebahagiaan akan dirayaan.
Belakangan, cermin sudah dimana-mana, termasuk di kamar mandi, sehingga setelah mandi orang langsung bisa bercermin, jika ada noda segera terlihat, ia segera membersihkannya.
Seperti itu pula dengan badan dan pakaian manusia, sebut saja baju. Baju manusia setidaknya mesti punya 7, agar setiap hari di negeri tropis seperti ini bisa selalu bersih, sebab keringat dan cuaca yang ada memang sudah dikenal menjadikan pakaian yang bersih dan harum di pagi hari, tak mungkin (kecuali terpaksa) digunaakan esok pagi lagi.
Beragam produk dan alat pun hadir untuk memudahkan manusia membersihkan wajah, tubuh, dan pakaiannya (baju).
Tetapi, bagaimana dengan hati manusia?
Hati ini selalu berubah-ubah kondisinya. Terkadang pagi bahagia, tidak lama kemudian, bertemu orang langsung menjadi marah, benci, dan anti. Kadang-kadang melihat apa yang Tuhan perintahkan berhati-hati, malah seketika senang dan terus menikmati apa yang sesungguhnya dapat merusak hati itu sendiri.
Permasalahan bangsa sebenarnya bukan permasalahan yang sulit dianalisa sebab utamanya, jika nilai-nilai Islam dipahami dan dijadikan regulasi dalam menangani beragam bentuk penyimpangan moral dan intelektual.
Korupsi, berbohong, memutarbalikkan fakta, tidak akan terjadi jika seorang Muslim sadar bahwa jiwa atau hatinya penting untuk dijaga dan disucikan. Tetapi, apa yang terjadi kala semua itu dibiarkan bahkan diperturutkan, korupsi tidak saja telah merusak keuangan dan potensi ekonomi negara, tetapi juga telah memporakporandakan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, hukum dan ktertiban dan keamanan.
Dalam situasi seperti itu, tidak ada cara yang lebih tepat dan mendesak dibutuhkan selain dari segera mengembalikan manusia pada kesadaran pentingnya menjaga kebersihan dan kesucian hati (tazkiyatun nafs).
Sebab, hatilah yang mengenal Allah, beramal untuk Allah, dan berjalan menuju Allah, mendekat kepada Allah. Sedangkan organ tubuh alinnya hanya mengikuti dan menjadi pembantu, alat-alat yang diperbantukan oleh hati.
Oleh karena itu Nabi mengatakan bahwa setiap manusia tidak sepenuhnya terbebas dari zina.
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Al Bukhari).
Dengan kata lain, jiwa kita senantiasa butuh untuk dibersihkan dan disucikan. Jika segala keperluan raga, mulai dari sepatu hingga topi di kepala perlu dicuci karena lumpur dan debu, maka indera kita juga penting disucikan karena telah menyebabkan hati terhinggapi beragam bintik maksiat, entah itu aurat lawan jenis, pembicaraan yang maksiat, dan lain sebagainya.
Atas dasar itu, penting kita memahami pesan dari ulama terdahulu, Hasan Al-Bashri.
“Seorang mukmin itu bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Dia selalu berintrospeksi karena Allah. Sesungguhnya hisab (di akhirat kelak) ringan bagi orang-orang yang mengintrospeksi dirinya di dunia. Hisab pada hari Kiamat (akan berat) bagi orang-orang yang berbuat apa saja tanpa mau mengintrospeksi diri.”
Jadi, mari kembali kepada hati dan jiwa kita, yang boleh jadi selama ini ditelantarkan dan dibiarkan meratap dalam derita. Kembali kita bersihkan dan sucikan dengan apa yang dikenal dengan tazkiyatun nafs.
Tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) adalah metode menerapi jiwa agar kembali bersih dan suci dari segala macam noda, kesalahan, dan dosa, sehingga mudah bagi seseorang menjalani ketaatan kepada Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dan, jadilah diri kita adalah orang-orang yang beruntung.
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesunguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9: 10).
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri. Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sholat.” (QS. Al-A’la: 14-15).
Dengan demikian, mari bersihkan jiwa kita, seperti kita selalu ingin memakai pakaian bersih, sepatu bersih, topi atau hijab yang bersih. Sebab jiwa kita membutuhkannya. Jika baju kita butuh deterjen, maka jiwa kita butuh ibadah, dzikir, ketaatan, amal sholeh, dan lain sebagainya. Bahkan apa yang dibutuhkan jiwa bukan semata untuk keperluan hidup di dunia, justru bagi hati dan jiwa kebersihan itu diperlukan untuk dunia dan akhirat.
Dan, agar mudah diri ini selalu membersihkan jiwa tiada lain kecuali dengan selalu menghadirkan kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi kita.
Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi menyatakan, “Apabila seorang manusia yang lemah menyadari bahwa Rabbnya Jalla wa ‘Ala berada didekatnya, bahwa Dia mengawasi emua ucapan, perbuatan dan niatnya, niscaya lunaklah hatinya, dan dia akan takut kepada Allah Ta’ala, serta mengihsankan amalnya karena Allah semata.”*/Imam Nawawi