AKAL di dalam Islam menurut M. Natsir dalam bukunya Capita Selecta, memiliki kedudukan yang mulia dan dimuliakan. Karena itu, Islam adalah agama yang senantiasa membimbing akal manusia tetap di dalam keseimbangan dan kebenaran.
Terhadap orang-orang kafir, Al-Qur’an berulang kali menentang argumentasi pikiran mereka memilih jalan kejahilan. Apakah hujjah (argumentasi) mereka yang lebih logis dan komprehensif atau justru sebaliknya, logika mereka invalid dan sesat.
Tidak heran jika jamak di kalangan ulama disebutkan bahwa akal ibarat lampu yang menerangi hati. Jika akal tidak fungsional, maka hati akan gelap, gersang dan keras. Dengan kata lain, akal dan hati di dalam Islam mesti terintegrasi, yang karena itu Al-Qur’an menyebut manusia yang sedemikian itu dengan istilah Ulul Albab.
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 179).
Secara gamblang ayat di atas menunjukkan bahwa hikmah, manfaat, dan maslahat segala ketetapan Allah, termasuk di dalamnya perihal qishas, tidak mungkin dipahami dengan baik, benar, dan utuh, melainkan oleh manusia yang mau berpikir dan merenung.
Maka tidak heran jika belakangan banyak orang tidak mengerti Islam sangat membenci syariat di dalam Islam. Sebab mereka hanya mampu berpikir dengan akal, namun tak pernah mampu memahami dengan hati, sehingga yang dilihat dari sebuah ketetapan bukan alasan dan tujuan, melainkan praktik yang dinilainya tanpa dasar berpikir yang memadai.
Ibn Aun berkata, “Berpikir akan menghilangkan kelengahan dan menghidupkan kekhusyukan hati seperti air yang menyuburkan bumi dan menumbuhkan tanaman.”
Dengan demikian, Islam dengan akal dan budaya berpikir tidaklah bertentangan. Perihal ini dapat ditelusuri dalam salah satu riwayat yang terjadi di masa Nabi.
“Sewaktu kami dalam perjalanan, seorang dari kami terluka kepalanya karena batu, sementara ia sedang dalam keadaan junub sehabis mimpi basah. Ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya, ‘Apakah menurut kalian aku mendapat rukhsah (keringanan) untuk melakukan tayamum karena lukaku?’
Mereka menjawab, ‘Menurut kami, kamu tidak boleh melakukan tayamum, kamu mampu mandi dan bersuci dengan air. Kemudian laki-laki tersebut mandi, akan tetapi ia lantas mati karenanya.
Tatkala Rasulullah diberitahu akan hal ini. Rasulullah bersabda, “Mereka (sahabatnya yang memberi jawaban) telah membunuhnya dan Allah juga akan ‘membunuh’ (melaknat) mereka.
Mengapa mereka tidak bertanya jika mereka tidak mengetahui jawabannya? Sesungguhnya obat penyakit bodoh adalah bertanya. Sebenarnya ia hanya cukup bersuci dengan tayamum, membalut lukanya dan mengusap bagian atasnya, kemudian mencuci seluruh bagian badan lainnya.” (HR. Abu Dawud).
Dari sini sangat terang, bahwa Islam adalah agama yang memberi ruang luas kepada akal untuk bekerja dan mengambil prioritas yang selaras dengan tujuan diturunkannya syariat, yang di antaranya adalah menyelamatkan jiwa manusia.
Hari ini banyak kaum Muslimin yang ibadahnya bagus tapi enggan berpikir sungguh-sungguh. Saat diirnya menginginkan sesuatu, beragam kemudahan pinjaman uang cukup membuatnya tergiur, sehingga ia berhutang dengan cara kredit, tanpa pernah lagi memperdulikan kandungan riba di dalamnya. Akibatnya, sekalipun ibadahnya luar biasa, tanpa sadar ia telah terlibat dalam pengembangan sistem riba yang menjerat kaum Muslimin.
Baca: 10 Ciri Hati yang Sehat
Demikian pula dalam pergaulan sosial, orang yang ibadahnya bagus, kepribadiannya baik, seringkali gagal menjalankan amanah dengan benar. Kerap tidak disiplin, inkonsisten dengan ucapan yang dilontarkan, bahkan kerap memandang orang lain berdasarkan standar suka atau tidak suka. Orang demikian tentu tidak memperhatikan kondisi akal dan hatinya, sehingga segala sesuatu diukur hanya dengan kepentingan dan kenyamanan dirinya sendiri.
Yang tidak kalah menarik untuk diperhatikan adalah ada orang yang luar biasa tahajjud, tapi pagi dan sepanjang hari tidak ada produktivitas yang dibuat secara sungguh-sungguh karena alasan lelah qiyamul lail. Bahkan dalam banyak kegiatan, ia kerap terlambat dan cenderung memandang yang tak qiyamul lail lebih rendah dari dirinya.
Sikap demikian tentu tidak bernilai dan karena itu tidak dibenarkan di dalam Islam. Seorang Muslim mestinya mampu berpikir secara integratif di dalam segala sisinya, sehingga ia tidak mengalami split personality, dimana ibadah rajin tapi riba dihantam. Atau berpikirnya bagus tapi ibadahnya amburadul.
Benar ungkapan yang mentagakan bahwa akal dan hati ibarat dua sisi mata uang, yang tidak bisa dipisahkan. Tanpa akal, hati tidak bisa mencukupi hidup. Tanpa hati, akal sering membuat kerusakan. Dan, hanya dengan akal dan hati iman bisa melahirkan akhlakul karimah dan kemaslahatan di dalam kehidupan. Mari sehatkan akal dengan berpikir, dan terangi hati dengan berdzikir. Wallahu a’lam.*