Oleh: Shalih Hasyim
Ketiga: Orang yang tulus lebih mencintai amal yang tersembunyi daripada amal yang diliputi oleh hiruk-pikuk publikasi dan gaung ketenaran. Ia lebih mengutamakan menjadi seperti akar pohon dalam suatu jamaah, akar itulah yang menjadikan pohon tegak dan hidup, akan tetapi ia tersembunyi di dalam tanah, tidak terlihat oleh mata manusia. Ia ingin seperti binatang penyu. Jika ia bertelur di tempat yang sepi, dapat menghasilkan 500-3000 buah. Setelah bertelur ia menyembunyikan diri. Berbeda dengan ayam, baru bertelur satu buah ia berteriak dengan keras seolah ingin mengatakan, “telorku sudah keluar, siapa yang memanfaatkannya.”
Dari Umar bin Khathab ra pada suatu hari ia keluar menuju masjid Rasulullah tiba-tiba ia menjumpai Mu’adz bin Jabal ra yang sedang duduk dan menangis di dekat makam Nabi. Maka Umar bertanya kepadanya : Apa yang menyebabkanmu menangis? Mu’adz menjawab: Saya menangis karena (ingat) sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah. Saya mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya riya’ (beramal karena mencari pujian manusia) yang sangat kecil itu termasuk kemusyrikan. Dan sesungguhnya barangsiapa yang memusuhi wali Allah Subhanahu Wata’ala, maka berarti menantang perang dengan Allah Subhanahu Wata’ala .
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala mencintai orang-orang yang baik, yang bertakwa, dan tersembunyi. Yaitu orang-orang yang bila tidak ada, tidak dicari, dan bila sedang hadir tidak dipanggil dan tidak dikenal. Hati mereka adalah lampu-lampu (cahaya) penerang. Mereka keluar dari malam yang gelap gulita.” (HR. Ibnu Majah).
Keempat: Amalnya ketika memimpin dan saat menjadi anggota tidak berbeda, selama keduanya masih dalam rangka memberikan pelayanan pada gerakan dakwah. Hatinya tidak dirasuki suka tampil, selalu ingin di depan, selalu ingin number one, dan ambisi kepemimpinan, bahkan orang yang hatinya bersih lebih mengutamakan menjadi anggota biasa, karena khawatir tidak dapat menunaikan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab kepemimpinannya. Dengan kata lain, orang ikhlas tidak ambisius terhadap jabatan untuk dirinya, tetapi jika diberi amanah, ia menerimanya dengan penuh tanggung jawab dan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu Wata’ala .
Rasulullah menjelaskan profil manusia seperti itu dalam salah satu sabdanya: “Berbahagialah seorang hamba yang memegang tali kudanya di jalan Allah Subhanahu Wata’ala, rambutnya acak-acakan, dan dua kakinya berdebu. Bila ia (ditugaskan) di pos penjagaan, maka ia di pos penjagaan tersebut, dan bila (ditempatkan) di barisan belakang, maka ia tetap di barisan belakang tersebut. “ (Fathul Bari : 6/95, Nomor : 2887).
Contoh keikhlasan memimpin dan dipimpin dalam sejarah Islam adalah apa yang dilakukan oleh Khalid bin Walid ra. saat datang kepadanya surat penggantian dirinya sebagai panglima dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab. Karena kemaslahatan tertentu, maka Khalifah Islam II itu memerintahkan Khalid agar menyerahkan jabatannya kepada Abu Ubaidah Amir bin Jarrah ra.
Padahal saat itu bendera sedang berada di tangan Khalid dan kaum muslimin tengah memasuki kancah pertempuran yang terdahsyat dalam potongan sejarah Islam. Pasukan Islam tidak lebih dari 40.000 personil itu harus melawan pasukan kuat dari Persia dan Romawi yang jumlahnya tidak kurang dari 200.000 personil. Akan tetapi bendera tidak bergeser sedikit pun di tangannya. Dan perang tidak terhenti gara-gara masalah besar yang berkecamuk dalam jiwanya, ia melanjutkan peperangan hingga kemenangan berada di pihak pasukan Allah Subhanahu Wata’ala .
Setelah itu, sebelum ia masuk ke dalam kemahnya, ia memanggil anak buahnya Abu Ubaidah di hadapan seluruh pasukan, lalu ia menyerahkan bendera, memakaikan sorban kepemimpinan dengan tangannya sendiri, lalu membacakan SK khalifah. Kemudian ia berkata kepada Abu Ubaidah : Saya adalah prajuritmu yang siap mendengar dan taat, wahai Abu Ubaidah. Maka, peristiwa itu menjadi teladan di sepanjang sejarah Islam.
Sungguh, indah gambaran yang diungkapkan oleh seorang penyair Mesir, Hafizh Ibrahim tentang peristiwa tersebut!
Tanyakan penakluk Persia dan Romawi, apakah dia puas
Pada penaklukan, cukupkah baginya kemenangan beruntun (70 kali pertempuran)
Ia berperang, dan kuda Allah Subhanahu Wata’ala itu telah mengukir
Kemenangan gemilang di ubun-ubunnya
Tiada suatu negara pun kecuali mendengarnya
Allah Subhanahu Wata’alau Akbar, menggema di setiap penjurunya
Khalid di jalan Allah Subhanahu Wata’ala, tengah menunggangnya
Dan Khalid di jalan Allah Subhanahu Wata’ala, tengah mengendalikannya
Tiba-Tiba datang kepadanya perintah khalifah, maka ia terima dengan legowo
Dan kebanggaan terhadap jiwa, tidak membuatnya terluka.
Keenam: Kemurkaan dan keridhaannya, keengganan dan kesukaannya untuk memberi didasari karena Allah Subhanahu Wata’ala dan dalam timbangan agama. Bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Orang ikhlas tidak seperti orang munafik yang hanya meraih kepentingan pribadi.
وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُواْ مِنْهَا رَضُواْ وَإِن لَّمْ يُعْطَوْاْ مِنهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS. At Taubah (9) : 58).
Kita dapat melihat orang yang berguguran di medan perjuangan karena memknai berjuang (mencari baju dan uang), atau dicela oleh saudaranya, teman dekatnya dan kerabatnya. Atau mendengarkan kata-kata yang melukai dan menyakiti perasaannya.
Keikhlasan niat menjadikan seseorang tetap teguh, konsisten, komitmen di jalan perjuangan, sekalipun parah kerusakan yang ada di dalam barisan dakwah, karena ia beramal hanya untuk Allah Subhanahu Wata’ala . Bukan untuk kepentingan dirinya dan orang-orang terdekatnya. Dakwah adalah milik Allah Subhanahu Wata’ala bukan milik seseorang. Maka orang yang ikhlas tidak meninggalkan perjuangan hanya karena sikap seseorang.
Ketujuh: Orang yang ikhlas tidak stagnan, jenuh, malas, berputus asa, karena panjangnya jalan yang akan dilalui, lamnya waktu memanen buah amal, tertundanya keberhasilan, banyaknya cita rasa dan kecenderungan. Sebab, ia beramal bukan semata-mata mencari kesuksesan, atau kemenangan. Akan tetapi ia beramal untuk mencari ridha Allah Subhanahu Wata’ala . Dan menjalankan perintah-Nya.
Pada suatu hari nanti, Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan menanyakan kepada manusia, Mengapa kalian tidak memperoleh kemenangan ? Akan tetapi Allah Subhanahu Wata’ala akan bertanya, Mengapa kalian tidak berjihad? Allah Subhanahu Wata’ala tidak menanyakan, Mengapa kalian tidak sukses? Tetapi, Ia bertanya, Mengapa kalian tidak beramal?
Kedelapan: Bergembira dengan munculnya orang-orang yang berprestasi di dalam barisan dakwah, yang dapat mengibarkan bendera jihad serta berpartisipasi di dalamnya. Ia memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang yang berbakat untuk menggantikan posisinya, tanpa sedikitpun menghalang-halangi, tanpa ada rasa keberatan, kedengkian.
Bahkan orang yang ikhlas akan legowo (ridha) meninggalkan posisinya, bila ada orang lain yang lebih baik dan lebih kompeten untuk kedudukannya itu. Ia mempersilahkan orang tersebut maju, dan ia akan mundur dengan senang hati.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Timur