Oleh: Musthafa Luthfi
Mabruk (selamat), itulah paling tidak ucapan yang pantas disampaikan kepada rakyat Mesir yang sukses menjatuhkan penguasa diktator selama 30 tahun lebih, lewat revolusi putih (damai) selama 18 hari. Kebetulan hari tumbangnya mantan penguasa, Hosni Mubarak juga sama dengan Zeinal Abidin Ben Ali, rezim tangan besi dari Tunisia yang bertepatan dengan hari Jum`at malam.
Sebenarnya, penulis sudah menyiapkan ucapan “mabruk” ini pada Kamis (10/2) malam saat banyak media internasional menanti-nanti pidato Mubarak yang dipastikan berisi pengumuman pengunduran dirinya. Namun isi pidatonya sangat mengecewakan rakyat negeri Lembah Nil itu, karena isinya lebih diwarnai curhat tentang masa kedinasannya selama 60 tahun diantaranya 30 tahun sebagai orang nomor satu.
Meskipun dalam pidato tersebut ia melimpahkan sebagian besar wewenangnya kepada Wapres, Omar Sulaiman, namun tidak sedikit pun menyatakan akan mundur bahkan membagakan perannya sebagai salah seorang tokoh dalam perang Oktober 1973 saat berhasil melawan tentara Israel yang saat itu terkenal dengan mitos tentara yang tak terkalahkan.
Keruan saja, pidato tersebut menambah murka rakyat sehingga tuntutan agar segera hengkang bersama rezimnya termasuk Wapres dan pemerintahan baru pimpinan PM, Jenderal (purnawirawan) Ahmed Shafiq tambah menggaung. Seperti telah diatur, sang penguasa gaek berusia 82 tahun itu pun akhirnya hengkang juga sehari setelahnya tepatnya Jum`at malam (11/2), persis seperti hengkangnya Ben Ali pada Jum`at malam (14/1).
Curhat tentang kepahlawanannya pada perang Oktober 1973 sama sekali tidak membuat rakyat simpati dibandingkan dengan derita panjang yang mereka alami selama 30 tahun masa kekuasaannya dengan tangan besi. Rakyat juga sangat mafhum bahwa sebenarnya ada pahlawan sejati perang Oktober yang juga arsitek perang tersebut yakni Jenderal (purnawirawan) Sadadeddin Shazali yang tutup usia sehari sebelum revolusi rakyat itu sukses menumbangkan Mubarak.
Shazali yang mantan Kastaf AB Mesir pada masa perang Oktober dan arsitek utama perang melawan Israel pada 1973 itu, meninggalkan dunia fana ini Kamis (10/1) dalam usia 88 tahun. Tokoh yang menolak Persetujuan Camp David karena menganggap banyak sisi negatifnya bagi Mesir dan Arab itu dilepas dengan upacara kebesaran militer yang dihadiri ribuan orang pada Jum`at atau beberapa jam saja sebelum Mubarak yang pernah memenjarakannya hengkang secara tidak terhormat.
Sang jenderal kharismatik ini menjabat sebagai Kastaf AB Mesir sejak Mei 1971-Desember 1973 dan dianggap sebagai arsitek utama penghancuran benteng tercanggih Israel di Barlev yang saat itu oleh Israel dianggap tidak mungkin ditaklukkan. Pada 1974-1975 ditunjuk Presiden Anwar Sadat sebagai Dubes Mesir di London dan ditunjuk menjadi Dubes Mesir di Portugal untuk masa tugas tiga tahun berikutnya.
Pada 1978, ia mengeritik keras Persetujuan Camp David dengan Israel yang ditandatangani mendiang Presiden Sadat yang akibatnya ia mengundurkan diri sebagai Dubes dan memilih menetap di Aljazair dengan status suaka politik. Di masa kekuasaan Mubarak, tepatnya pada 1992 ia memilih kembali ke Tanah Air, namun setibanya di bandara Kairo langsung ditangkap dan dipenjarakan 3 tahun plus kerja keras oleh rezim Mubarak tanpa lewat proses pengadilan karena dianggap telah dijatuhkan hukuman penjara in absentia pada masa Sadat akibat buku karangannya yang menyudutkan Sadat.
Shazali adalah salah satu tokoh militer paling populer dan mendapat penghormatan tinggi di Mesir. Namun tidak demikian, bagi Mubarak yang mantan bawahannya, sehingga pada masa-masa akhir hidupnya, sang jenderal kharismatik ini tetap menempati rumah sederhana di pinggiran Distrik Mishr Al-Jadidah yang selalu ditempatinya sejak ia menjabat sebagai petinggi militer negeri Piramida itu.
Kehidupan salah satu pahlawan sejati perang 1973 itu pun sangat sederhana karena hanya berasal dari berbagai honor dari tulisannya di sejumlah media massa yang bersedia memuatnya juga dari loyalti beberapa buku karangannya. Betapa pun besar penderitaannya, ia tetaplah pahlawan sejati yang hidup sederhana hingga Yang Maha Kuasa memanggilnya lalu dilepas dengan upacara kebesaran meskipun ia sendiri tak pernah memintanya, bersamaan waktunya, saat sang penguasa diktator melarikan diri dalam kehinaan.
Alhamdulillah, ucapan lainnya yang pantas diucapkan karena revolusi damai rakyat Mesir yang menelan korban lebih dari 300 orang gugur sebagai syuhada akibat kekejaman kepolisian yang dikenal sebagai algojo pada masa kekuasaan rezim Mubarak itu, hanya berlangsung 18 hari. Tidak sampai menunggu hingga 6 bulan seperti yang diinginkan rezim yang berpura-pura tuli atas tuntutan rakyatnya.
Impian hengkangnya penguasa zalim akhirnya terwujud juga dalam waktu yang tidak terlalu lama sehingga banyak warga Mesir yang merasakan seolah-olah pesta hengkangnya rezim Mubarak tersebut seperti mimpi sehingga sebagian warga dengan nada bercanda mengatakan “nehna fil hilmi am fil `ilmi?” (kita sekarang ini mimpi atau dalam alam nyata). Tentunya sebagai orang beriman, semua kejadian ini adalah rekayasa (takdir) Allah yang patut disyukuri, yang telah menjanjikan akan mengganjar kezaliman di dunia sebelum akhirat.
Maidan Tahrir
Keberhasilan revolusi rakyat di negeri Lembah Nil tersebut tak terlepas dari kegigihan warga Mesir dari berbagai umur dan profesi yang dimotori kalangan pemuda untuk tetap melakuan i`tishaam (protes sambil menetap) di Maidan Tahrir (Tahrir Square), jantung kota Kairo. Sesuai dengan namanya Tahrir (pembebasan), maka tepat sebagai tempat i`tishaam untuk menuntut kebebasan dan pemulihan harga diri sebagai bangsa besar yang sempat terpuruk di masa Mubarak akibat terlalu tunduk pada dekte AS dan Israel.
Bagi penulis sendiri, Maidan Tahrir adalah bagian dari catatan hidup karena selama 7 tahun mukim di negeri Al-Azhar itu, hampir saban hari melewatinya atau singgah untuk sekedar melepas penat sejenak, setelah melakukan urusan tertentu. Bahkan selama dua tahun (1989-1991) sempat tinggal di Sekretariat PPI yang saat itu bernama HPMI (Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) di Distrik Bab el-Louk yang berjarak hanya 300-an meter dari Maidan Tahrir sehingga di waktu senggang penulis bisa nongkrong di malam hari menikmati indahnya kota Kairo dan Sungai Nil yang terkenal itu.
Karenanya, ketika warga Mesir menyambut gembira tumbangnya rezim, penulis terasa seperti ikut tenggelam juga dalam kegembiraan luar biasa bersama para mu`tashimiin (pemrotes yang setia tinggal) berhari-hari di tempat bersejarah itu. Paling tidak rasa gembira ini dilatarbelakangi pengalaman yang sama dengan para pengunjuk rasa tersebut.
Betapa tidak karena penulis ditakdirkan mengalami masa remaja dan masa muda dibawah pemerintahan tangan besi yang diwarnai KKN pada masa keemasan Orde Baru di Indonesia dan masa keemasan rezim Mubarak di Mesir. Tentunya terlepas dari kediktatoran bagaikan bebasnya tahanan dari penjara bahkan lebih dari itu sehingga tak berlebihan bila semalam suntuk kota Kairo dan kota-kota utama lainnya tidak tidur menyambut kemenangan tersebut.
Terakhir kali penulis menginjakkan kaki di Maidan Tahrir sebelum rezim Mubarak tumbang pada Agustus 2010 atau 6 bulan lalu dan tak pernah terbayang bila rezim ini akan berakhir tragis enam bulan kemudian. Memang pada kunjungan setahun sebelumnya pada Juli 2009, penulis mendengar gaung ketidakpuasan yang makin meluas di kalangan warga Mesir, namun tidak pernah menduga akan sedemikian cepat kejatuhannya.
Bukan warga Mesir saja yang menyambut gembira kejatuhan sang diktator, namun kegembiraan ini meluas di hampir seluruh bangsa Arab mulai dari al-muhit (Maroko di Samudera Atlantik) hingga al-khalij (negara-negara Teluk). Sambutan gembira tersebut ibarat pesan implisit bahwa perubahan di Arab tak terelakkan sehingga pemimpin yang masih terlena dengan kekuasaan tidak bisa lagi menyenyampingkan aspirasi rakyat.
Sejumlah analis Arab menilai bahwa kegembiraan bangsa Arab atas keberhasilan menumbangkan rezim di Mesir pantas disambut secara meluas karena kejadian di negeri itu bukan hanya sebatas revolusi akan tetapi sebuah kebangkitan. “Apa yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa di Maidan Tahrir bukan sebatas revolusi namun kebangkitan sesungguhnya,“ kata Ma`an Bashour.
Lain lagi gambaran kegembiraan Abdul Bari Atwan, analis Arab yang mukim di London dengan mengatakan “pidato yang paling indah yang aku dengar selama hidupku adalah pidato Wapres Mesir, Omar Sulaiman yang mengumumkan pengunduran diri Mubarak dan menyerahkan kendali pemerintahan kepada Dewan Tinggi Angkatan Bersenjata Mesir“.
Pidato itu, menurut Atwan dalam artikelnya di harian Al-Quds yang dipimpinnya, Jum`at (11/2), hanya berisi 12 kata saja namun mampu menebar kegembiraan dalam hati 350 juta bangsa Arab dan 1,5 milyar umat Islam seluruh dunia. Mereka sama-sama menunggu detik-detik bersejarah itu yang menandakan perubahan yang telah lama ditunggu-tunggu.
Apa yang digambarkan sejumlah analis itu memang tepat adanya. Apalagi perubahan di Mesir juga sebagai tolok ukur bagi seluruh bangsa Arab, meskipun Tunisia, negeri kecil di Laut Tengah yang pertama kali memulainya, namun pengaruhnya tentunya tidak sebesar perubahan di Mesir mengingat negeri Piramida ini memainkan peranan besar di kawasan sekaligus selaku penentu dalam isu sentral Arab dan Muslim (isu Palestina).
Perubahan tersebut juga tidak dipungkiri sebagai salah satu prestasi angkatan bersenjata Mesir yang selama ini dekat dengan rakyat. Setelah sempat terdetik keraguan akan kesungguhannya membela rakyat selama 18 hari masa-masa mencekam, akhirnya para petinggi militer benar-benar menempati janjinya.
Bahkan dalam pernyataan pasca jatuhnya rezim, Dewan Tinggi Angkatan Bersenjata Mesir mengingatkan bahwa tugas yang diembannya selama masa transisi bukan sebagai opsi dari perubahan yang diinginkan rakyat. Itu berarti, dewan ini hanya sebagai pengantar dan fasilitator menuju perubahan sesungguhnya seperti yang diinginkan rakyat setelah itu angkatan bersenjata kembali ke kampnya.
Murni dari dalam
Catatan penting lainnya tentang perubahan di Mesir setelah keberhasilan revolusi putih rakyat itu adalah, bahwa perubahan yang terjadi adalah murni dari dalam. Tentunya hal ini sangat bagus bagi negeri tersebut untuk kembali memainkan peranan penting di kawasan yang sejalan dengan aspirasi bangsa Arab.
Tidak seperti revolusi lainnya yang nampak kentara intervensi asing terutama AS untuk mempercepat kejatuhan rezim semisal kejadian di Brazil atau Indonesia. Mengapa demikian, pasalanya sikap AS demikian kentara plin-plan menyangkut hengkangnya Mubarak sehingga kejatuhannya akhirnya benar-benar ditentukan oleh sikap rakyat pada hari bersejarah Jum`at lalu.
Bila setelah masa peralihan nanti muncul pemerintahan yang benar-benar sesuai dengan aspirasi rakyat maka Barat tidak bisa lagi memanfaatkan negeri ini untuk kepentingan mereka semata seperti yang telah dilakukannya selama 30 tahun di masa rezim lama. Untuk memantapkan kedaulatannya tersebut, sejumlah analis Arab mengingatkan pentingnya bantuan negara-negara petro dolar di Teluk kepada Mesir terutama lewat peningkatan investasinya di negara tersebut agar tidak lagi terlalu tergantung bantuan (baca: pinjaman) Barat terutama AS.
Bantuan negara-negara petro dolar tersebut sangat penting untuk pemulihan kembali harga diri Mesir sebagai negara besar dan penentu di dunia Arab agar masalah Palestina kembali menjadi perhatian dan hak-hak Arab dapat kembali dari tangan penjajah Israel. Tentunya, perubahan dimaksud tidak dengan sendirinya harus membatalkan persetujuan Camp David, namun persetujuan tersebut harus diubah sehingga berbagai sisi negatif dalam persetujuan itu tidak lagi mengorbankan kepentingan bangsa Arab.
Menyangkut persetujuan Camp David tersebut, sejak dini Barat sudah mewanti-wanti agar pemerintahan baru Mesir nanti tidak membatalkannya seperti yang disampaikan Kanselir Jerman, Angela Merkel. Besar kemungkinannya tidak akan dibatalkan namun yang hampir dipastikan bahwa Mesir akan menuntut sejumlah perubahan agar tidak menjadi penghalang nantinya dalam memperjuangkan hak bangsa Arab terutama Palestina.
Akhirnya satu lagi impian yang patut diwujudkan pasca perubahan tersebut yaitu terciptanya solidaritas di kalangan negara-negara Muslim kawasan yang idealnya adalah terciptanya persekutuan segi tiga Arab-Iran-Turki yang telah lama ditunggu-tunggu, setelah selama ini persekutuan dimaksud hanya ditujukan ke negara Zionis Israel. Memang mewujudkan impian tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun tidak ada yang tidak mungkin selama ada political will di kalangan para pemimpin kawasan. */Sana`a, 9 Rabi`ul Awal 1432 H
Penulis adalah pengamat dunia Islam, tinggal di Yaman