Oleh: Musthafa Luthfi
DALAM sepuluh hari bahkan dua pekan pertama bulan April ini, mata publik Arab tertuju kepada situasi terakhir di Suriah sehubungan dengan inisiatif damai mantan Sekjen PBB, Kofi Anan yang disetujui Dewan Keamanan (DK) PBB yang memberi batas waktu selama 10 hari bagi penghentian pertumpahan darah di negeri Syam itu. Sayangnya, batas waktu tersebut justeru dimanfaatkan terutama oleh rezim berkuasa untuk melakukan eskalasi serangan sebelum batas waktu berakhir pada Kamis (12/04/2012) lalu.
Diperkirakan sejak diputuskannya inisiatif Anan tersebut pada 27 Maret lalu hingga diberlakukannya gencatan senjata pada 12 April, lebih dari seribu orang tewas, sebagian besar adalah warga sipil dan pendemo anti pemerintah. Karenanya, sumber-sumber oposisi menuduh rezim bersikap darah dingin yang tidak akan membiarkan krisis negeri itu selesai tanpa lautan darah yang kian meluas.
“Bayangkan saja sejak inisiatif Anan diputuskan, jumlah korban melebihi seribu orang dan sebagian besar adalah kaum manula, wanita dan anak-anak,“ papar Dr. Abdullah Hajiz al-Shamri, pemerhati internasional kepada harian al-Sharq, Arab, Selasa (10/04/2012). Dengan jumlah korban sangat besar dalam waktu yang sangat singkat tersebut menambah daftar korban sejak tuntutan perubahan meletus lebih setahun lalu mencapai lebih dari 12 ribu orang, menurut banyak sumber.
Banyak pihak sebelumnya menyebutkan bahwa pada 10 April ini adalah hari menentukan bagi Suriah karena pada hari itu adalah batas waktu kesepakatan pelaksanaan enam poin inisiatif damai Anan. Tapi hingga batas waktu berakhir bentrokan dan pembunuhan masih berlanjut meskipun berkurang dibandingkan sebelumnya.
Di antara enam poin inisiatif itu adalah meminta pemerintah menghormati kebebasan berkumpul dan melakukan demonstrasi secara damai yang dijamin oleh undang-undang. Selain itu, menyerukan kepada Suriah untuk berkomitmen menghentikan pertempuran dan dengan pengawasan PBB guna menghentikan kekerasan bersenjata dalam segala bentuk oleh semua pihak untuk melindungi warga sipil serta menstabilkan negara.
Poin lainnya berisi keharusan menghentikan dengan segera penggunaan senjata berat di tengah permukiman warga yang diikuti dengan menarik kembali pengerahan militer yang terkonsentrasi di dalam dan sekitar perumahan penduduk. Komitmen serupa akan dilakukan oleh utusan dari oposisi dan semua unsur terkait guna menghentikan pertempuran.
Selain itu inisiatif tersebut juga menekankan terselenggaranya sebuah proses politik menyeluruh dan pembebasan para tahanan yang ditangkap dengan sewenang-wenang. Sesuai dugaan banyak aktivis negeri itu yang memprediksikan bakal maraknya kembali unjukrasa bila rezim mentaati inisiatif tersebut, terbukti mulai sejak Jum`at (13/04/2012) demo kembali marak menuntut pelengseran rezim yang dibalas dengan serangan oleh pasukan pemerintah menyebabkan puluhan orang tewas.
Sebagaimana diketahui, pemerintah Suriah menyetujui inisiatif tersebut dengan catatan akan melakukan apa yang disebutnya “pembelaan diri“ apabila kelompok anti pemerintah yang diklaim sebagai teroris melakukan aksi kekerasan. Namun secara tersirat pesan tersebut mengindikasikan kelanjutan serangan atas para pengunjuk rasa anti rezim meskipun secara damai.
DK PBB sendiri telah menentukan resolusi baru tentang Suriah pada Sabtu (14/04/2012) waktu New York untuk mencoba kembali menekan Damaskus agar melaksanakan inisiatif Anan tersebut secara nyata. Resolusi bernomor 2042 itu juga berisi persetujuan pengiriman 30 orang pengamat militer tanpa bersenjata yang siap diberangkatan dalam beberapa hari mendatang.
Pada saat keputusan itu diadopsi, sedikitnya 20 pengunjukrasa damai dilaporkan tewas oleh pasukan keamanan Suriah sehingga banyak pihak melihat sangat sulit untuk memprediksi kesudahan dari krisis Suriah seminggu atau sebulan bahkan setahun ke depan mengingat inisiatif Anan tersebut bukanlah yang terbaik dibandingkan inisiatif-inisiatif sebelumnya. Yang terpenting sebenarnya adalah iktikad baik dari semua pihak yang terlibat pertikaian di negeri bekas pusat Kekhalifahan Omawi itu.
Belum nampak
Sejauh ini belum nampak iktikad baik dari semua pihak tanpa terkecuali untuk melaksanakan inisiatif mantan Sekjen PBB itu sebagaimana halnya dengan inisiatif-inisiatif sebelumnya yang dapat mengakhiri krisis dengan korban yang lebih sedikit. Rezim misalnya, ingin meluluhlantahkan oposisi agar dapat menguasai kembali seluruh pelosok negeri meskipun menyebabkan korban yang sangat besar.
Di lain pihak, oposisi ingin menjatuhkan rezim sesegera mungkin baik dengan jalan intervensi militer asing maupun revolusi bersenjata atau dengan jalan keduanya. Sehingga laporan tentang komitmen kedua belah pihak melaksanakan inisiatif internasional hanya sebatas basa-basi untuk mengelabui publik semata.
“Intinya, peperangan akan kembali meletus sebab rezim tidak akan membiarkan unjukrasa meluas karena akan mempercepat kejatuhannya. Di lain pihak, oposisi tidak memiliki pilihan lain kecuali melanjutkan perlawanan setelah menderita kerugian besar sehingga mereka tidak akan sudi melihat rezim tetap berkuasa,“ papar sejumlah analis Arab.
Lalu apakah dengan diadopsinya resolusi baru PBB itu, akan dapat menggiring pihak-pihak bertikai untuk benar-benar melaksanakan inisiatif tersebut secara nyata?
Banyak pihak yang tetap pesimis karena disamping inisiatif tersebut dianggap sudah sangat terlambat juga gencatan senjata yang terjadi saat ini diistilahkan oleh media Arab sebagai gencatan hessyah (sangat rapuh).
Secara teori nasib inisiatif Anan itu ada dua kemungkinan yakni pertama, sukses sehingga dapat mengakhiri kekerasan dan disetujuinya penyelesaian politis damai. Kemungkinan kedua adalah berlanjutnya kekerasan sehingga kembali ke titik semula konfrontasi antara rezim melawan rakyat.
Itu secara teori, namun kenyataan di lapangan menurut sejumlah pengamat Arab mengindikasikan hanya satu kemungkinan dengan dua akibat yang mungkin timbul yakni inisiatif tersebut tidak mampu menghentikan kekerasan. Sedangkan akibatnya ada dua kemungkinan yakni pertama masyarakat internasional akhirnya yakin bahwa tidak ada jalan menghentikan tragedi di Suriah selain intevensi militer dan kemungkinan kedua adalah sikap masyarakat internasional terus terpecah sehingga pembantaian tetap berlanjut.
Bencana
Akibat kemungkinan kedua tersebut (perpecahan masyarakat internasional) lebih mendekati kenyataan sebab tidak ada pihak yang merasa gencatan senjata sekarang ini serius sehingga gencatan yang sangat rapuh ini berikut inisiatif tersebut akan segera runtuh. Apa pun dari dua kemungkinan akibat dari kegagalan inisiatif Anan tersebut, bagi rakyat negeri Syam itu tetaplah sebagai bencana dilematis.
Kofi Anan yang tiba-tiba muncul juga sangat mafhum bahwa misi yang diembannya sulit mencapai target atau dengan kata lain tidak mesti harus sukses. “Apalagi pihak-pihak yang terlibat krisis (rezim dan oposisi) sama-sama menginginkan inisiatif itu gagal untuk bersiap-siap melakukan manuver berikutnya,“ papar sejumlah analis Arab.
Pasalnya, rezim enggan melakukan dialog dengan oposisi yang tidak diakuinya bahkan ingin dihabisi dengan tuduhan kelompok bersenjata ilegal dan teroris. Di lain pihak oposisi pun enggan berdialog dengan rezim yang dianggap pembantai 10 ribu rakyat (sebagian laporan menyebutkan 12 ribu) sejak krisis meletus sekitar 13 bulan lalu dan siap melanjutkan pembantaian dimaksud untuk mempertahankan kekuasaan.
Selain itu, masalah lainnya adalah rezim masih menolak kenyataan yang sedang terjadi di negeri Syam itu sebagai bagian dari badai “musim semi“ Arab yang menuntut perubahan status quo. “Rezim Suriah sejauh ini masih melihat tuntutan perubahan dari rakyat sebagai konspirasi yang didukung pihak luar dan tentara pembebasan yang membelot, tulis harian Al-Shaq, Qatar dalam tajuknya, Kamis (12/04/2012).
Sikap tersebut juga masih dapat dilihat dari sambutan Watap Suriah di PBB, Bashar al-Ja`fari setelah diadopsinya resolusi nomor 2042, yang menyebutkan adanya kelompok bersenjata dan teroris yang mendapat dukungan dari luar untuk mengacau keadaan dan melakukan tindak anarkis. Ia menyebutkan bahwa aksi kelompok teroris telah memasuki babak selanjutnya dengan menargetkan negara, tentara dan universitas-universitas.
Bila kesenjangan sikap antara pihak-pihak yang bertikai tersebut masih melebar bahkan terus melebar, hampir dipastikan bahwa akan sangat sulit untuk mencapai penyelesaian politis seperti yang diharapkan publik Arab pada umumnya. Itu berarti, setiap pihak ke depan akan menjadikan inisiatif Anan ini hanya sebagai upaya untuk “membeli“ waktu guna memperkuat posisi masing-masing.
Itu berarti, pihak-pihak yang bertikai besar kemungkinan hanya ingin memanfaatkan inisiatif tersebut sebagai masa jeda guna mempersiapkan manuver-manuver berikutnya. Di lain pihak, negara-negara besar dan sekitar yang mengusung kepentingan masing-masing juga bersiap-siap mengatur siasat baru guna mencapai target yang diinginkan.
Sebagian pengamat melihat bahwa Rusia yang mendukung rezim Assad secara politis dan militer merupakan satu-satunya negara yang berkapasitas untuk memainkan peran menentukan guna mencari jalan keluar untuk menghindari kemungkinan terjadinya “ledakan“ di kawasan secara keseluruhan. Sebab mereka melihat rezim Suriah masih bersikeras mengedepankan logika militer yang siap mengorbankan ratusan ribu orang lagi baik target mereka sukses atau gagal.
Ibarat benang kusut, krisis di negeri Syam tersebut sudah sedemikian parah ditambah dengan campur aduknya berbagai kepentingan baik di tingkat regional maupun internasional, dan sangat terlambatnya inisiatif damai sebagaimana pengakuan sejumlah wakil anggota DK PBB. Bila demikian halnya, sulit mengharapkan inisiatif Anan ini sebagai dasar penyelesaian final di Suriah kecuali muncul kejutan yang tak terduga.*/Sana`a – Sabtu, 22 Jumadal Ula 1433 H
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman