Oleh: Musthafa Luthfi
SELAIN pembantaian biadab yang terus berlanjut di Suriah, perkembangan menarik terkait dengan “musim semi Arab“ yang masih menggelinding, dalam sepekan atau dua pekan belakangan ini adalah “jidaal dustuuri“ (polemik konstitusi) di Mesir dan hasil Pemilu di Libya. Perkembangan di kedua negara Arab di utara benoa Afrika itu cukup melegakan hati publik Arab, setelah sempat menimbulkan rasa was-was.
Terkait dengan polemik konstitusi di Mesir, sempat mencuat kembali dibarengi kekhawatiran akan terjadinya benturan antara militer dengan Presiden menyusul dikeluarkannya dekrit oleh Presiden terpilih Mohammad Mursy Ahad (08/07/2012), yang menolak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan parlemen yang didominasi kubu al- Ikhawanul al-Muslimun (IM) dan Salafy. Presiden Mursy telah menggunakan hak preogatifnya dengan mengeluarkan keputusan membatalkan keputusan MK pada 14 Juni lalu untuk membubarkan parlemen yang sekitar 75 % anggotanya dari kubu IM dan Salafy.
Sebenarnya isu ini sudah mulai mencuat sebelum Pilpres putaran kedua berlangsung, namun tidak begitu mendapat perhatian besar dikarenakan rakyat dan para tokoh negeri Lembah Nil itu sedang disibukkan dengan Pilpres yang berlangsung seru. Dengan perbedaan tipis, Mursy yang menjadi tumpuan kubu revolusi akhirnya dinyatakan menang sehingga setidaknya dapat “mengobati“ kekecewaan kubu revolusi atas keputusan MK yang membubarkan parlemen dan mengembalikan kekuasaan legislatif ke junta militer.
Namun sekitar sepekan setelah dilantik, Presiden Mursy selain ingin berusaha melepas satu demi satu “belenggu“ yang mengerdilkan kekuasaannya akibat putusan MK itu, juga berusaha mengakomodasi tuntutan kubu revolusi yang menolak putusan MK mengenai pembubaran parlemen dan pengumuman perampungan konstitusi, dengan cara mengeluarkan dekrit. Di lain pihak, Mursy juga tidak ingin dikatakan menentang keputusan lembaga yudikatif yang independen sehingga mencantumkannya juga dalam dekritnya agar pemilu baru dilaksanakan setelah 60 hari dari sidang perdana parlemen yang sedianya pada Selasa (10/07/2012).
“Jadi pada perinsipnya Presiden justeru melaksanakan keputusan MK karena meminta parlemen bersidang kembali dan pelaksanaan pemilu baru setelah 60 hari. Bukan sekedar menolak pembubaran secara mutlak,“ papar sejumlah tokoh Mesir pendukung keputusan Mursy. Sementara yang menolak dekrit menilainya sebagai preseden atas sikap yang tidak menghormati keputusan hukum pada saat semua pihak menginginkan terlaksananya supremasi hukum pasca kejatuhan rezim Mubarak.
Terlepas dari polemik tersebut sebenarnya yang sangat dikhawatirkan adalah benturan yang mungkin terjadi antara Presiden dan pendukungnya dengan militer akibat dekrit itu mengingat hubungan antara presiden dan militer yang kurang mesra, bahkan banyak kalangan menyebutnya hubungan yang mengandung “bom waktu“ yang setiap saat bisa meledak yang dapat menggugurkan revolusi rakyat di negeri itu.
Memang terbukti pimpinan militer menegaskan keputusannya untuk membekukan parlemen harus tetap dilaksanakan sehingga dianggap sebagai sinyal bahwa militer tidak akan tunduk begitu saja kepada Presiden Mursy, sekaligus untuk kesekian kalinya, siap membuka front antara rakyat dengan militer. Sikap militer tersebut mendapat reaksi keras dari rakyat, terutama pendukung utama Mursy menyebabkan puluhan ribu warga kembali berkumpul di lapangan Tahrir menentang penegasan militer tersebut.
Al- Ikhwanul al-Muslimun, organisasi paling berpengaruh di Mesir di lain pihak menyatakan siap mengerahkan jutaan massa untuk kembali turun ke jalan melawan kekuasaan militer. Selama ini, militer berdalih membekukan parlemen untuk menegakkan undang-undang sebab parlemen saat ini yang terbentuk dari hasil pemilu tahun lalu tidak sah dan melanggar undang-undang sehingga, militer layak mengambil alih untuk sementara waktu.
Pemandangan yang mendebarkan tersebut sempat mengundang kekhawatiran besar mayoritas rakyat negeri Piramida itu bahkan umumnya publik Arab yang menilai Mesir sebagai pemimpin perubahan di Arab. Namun kekhawatiran negeri terbesar Arab itu akan mengalami pergolakan berdarah akibat polemik konstitusi itu akhirnya tidak terbukti setelah Presiden Mursy dengan sikap “legowo“ menerima keputusan MK, Rabu lalu ( 11/07/2012).
Sebenarnya Presiden Mursy memiliki sedikitnya dua “kartu“ menghadapi militer, ungkap sejumlah pengamat yakni pertama merangkul semua kekuatan revolusi dan kedua rakyat Mesir yang sudah tidak menerima lagi peran militer dalam politik negara. Namun Presiden lebih memilih “tahdiah“ (cooling down) yang dianggap banyak pihak sebagai “permainan cantik“ sang Presiden untuk mendapatkan simpati banyak pihak atau dengan kata lain “mengalah untuk menang“.
Sikap legowo tersebut justeru akan meningkatkan citra sang Presiden menghadapi upaya militer yang terkesan masih sulit memutuskan untuk kembali ke barak mereka. “Penting untuk ditegaskan bahwa Mesir telah memasuki jalan baru yang tidak akan kembali ke belakang lagi. Proses (reformasi) setelah suasana polemik yang mendebarkan itu cukup menenangkan dan lebih menenangkan lagi bahwa Mesir telah kembali kepada jati dirinya untuk berperan lagi di tingkat regional dan internasional,“ papar sejumlah analis.
Pemilu Libya
Sedangkan perkembangan di Libya yang sempat menimbulkan rasa was-was menjelang Pemilu tentang kemungkinan terjadinya bentrokan bersenjata disebabkan sebagian wilayah ingin pisah dan sebagian lainnya menginginkan bentuk negara federasi, juga berakhir melegakan. Pemilu jurdil pertama sejak sekitar setengah abad terakhir ini pasca 42 tahun kekuasaan tangan besi rezim Qadhafi akhirnya berjalan lancar.
Pada Sabtu (07/07/2012) lalu, sekitar 1,8 juta penduduk negeri kaya minyak di Afrika itu ikut serta dalam Pemilu multipartai pertama setelah sekitar setengah abad berada dalam tekanan rezim yang melarang keberadaan multipartai dan selalu menutup rapat ruang gerak para aktivis Islam. Jumlah tersebut sekitar 70 persen dari total pemilih yang terdaftar untuk Pemilu dalam suasana tenang meskipun kondisi keamanan belum kondusif dengan banyaknya senjata api yang menyebar di tangan warga sipil.
Pemilu yang berjalan tenang dan lancar tersebut tidak seperti dugaan banyak pihak sebelumnya yang menilai pelaksanaan Pemilu itu terlalu cepat dalam kondisi keamanan yang tidak kondusif yang dikhawatirkan dapat menimbulkan bentrokan bersenjata besar. Tapi secara mengejutkan rakyat Libya telah membuktikan kepada masyarakat internasional bahwa mereka memang sudah siap membuka lembaran baru pasca krisis yang memporakporandakan negeri itu.
Memang keberhasilan Pemilu itu tidak bisa dijadikan indikasi satu-satunya bahwa negeri asal pejuang Omar Mukhtar itu sudah benar-benar aman mengingat jalan menuju stabilitas masih cukup panjang dan berliku. Namun, sedikitnya, proses pelaksanaan Pemilu yang berjalan aman tersebut membersitkan harapan bahwa negeri itu berada pada jalur yang tepat menuju pemulihan dan perubahan ke arah yang lebih baik.
Yang mungkin dianggap lebih mengejutkan dari Pemilu tersebut adalah keberhasilan kubu liberal meraih suara terbanyak mengalahkan kubu Islamis yang sejauh ini kemenangan kubu Islamis mewarnai perubahan di negara-negara “Arab Spring“ yang telah melangsungkan Pemilu seperti di Mesir dan Tunisia. Aliansi Kekuatan Nasional (NFA) yang merupakan gabungan 60 partai kecil non idiologi pimpinan mantan PM pada masa rezim Qadhafi, Mahmoud Jibril yang membangkang mengungguli kubu Islamis.
Prediksi sebelumnya, kubu Islamis bakal unggul mutlak pada Pemilu Libya ternyata tidak terbukti. Karenanya hasil mengejutkan tersebut membuat sebagian analis menyebutkan bahwa hasil Pemilu Libya sebagai awal penyusutan gelombang Islam di negara-negara “Arab Spring“ menyusul adanya kekhawatiran kemenangan demi kemenangan kubu Islamis dapat memunculkan negara agama.
Analisa semacam ini sah-sah saja dalam suasana keterbukaan yang sudah mulai merambah di banyak negara Arab. Namun untuk kasus Libya mungkin perlu dikaji lagi sebab utama, kubu Islamis tidak mampu menyamai keunggulan yang diperoleh saudara-saudaranya di Tunisia dan Mesir.
Hanya yang mungkin perlu dicatat bahwa kemenangan kubu liberal tidak secara otomatis akan menjadikan negeri itu negara liberal sebab umumnya negara-negara Arab masih tetap menjunjung syariah Islam sebagai sumber dari segala sumber hukum. Yang beda, adalah bila kubu Islamis yang menang, upaya negara (pemerintah) dalam penerapan syariah Islam yang dianut mayoritas bangsa Arab akan lebih diperhatikan.
Lima faktor
Kemenangan kubu liberal pimpinan Jibril lebih disebabkan oleh sedikitnya lima faktor. Pertama, mayoritas rakyat Libya adalah menganut aliran sufi yang belum sampai dalam benak mereka apa yang diistilahkan oleh kalangan Barat sebagai Islam politik. Islam politik baru dikenal di kalangan terbatas saja terutama di wilayah timur negeri tersebut.
Adapun faktor kedua adalah warisan bekas rezim Qadhafi yang masih membekas di benak banyak warga Libya. Selama lebih empat dekade masa kekuasaannya, Qadhafi menganggap para tokoh dan aktivis Islam sebagai musuh utama sehingga mereka diperangi Qadhafi dengan kejam disamping oposisi lain tentunya.
Sementara faktor ketiga adalah, gerakan-gerakan Islam yang telah mempersembahkan banyak korban jiwa saat berusaha menjatuhkan rezim Qadhafi secara politis kurang terorganisir sebagaimana halnya IM di Mesir. Gerakan IM Libya baru muncul sebagai kekuatan politik hanya beberapa bulan saja sebelum pelaksanaan Pemilu.
Sedangkan faktor keempat kemenangan kubu liberal diantaranya dikarenakan kubu ini lebih terorganisir dan lebih pengalaman sehingga mereka berhasil memanfaatkan kampanye pemilu dengan cerdik dan menarik berlandaskan sistem kampanye yang digunakan di Barat. Karena sebagian besar tokoh dari kubu ini alumni dari AS seperti pemimpin mereka, Mahmoud Jibril.
Faktor kelima yang tidak kalah pentingnya adalah propaganda media massa terutama media Barat yang terus menerus menyebarkan rasa khawatir terhadap gerakan Islam di kalangan penduduk Libya dan Arab pada umumnya. Propaganda tersebut cukup ampuh menggerakkan banyak warga negeri itu untuk memilih kubu liberal.
Libya dengan penduduk sedikit seharusnya rakyatnya sejak lama hidup sejahtera, mengingat negara ini tergolong kaya dengan penghasilan dari minyak sedikitnya 60 milyar dolar per tahun, namun mungkin termasuk salah satu rakyat Arab yang paling lama menderita dibawah kekuasaan otoriter rezim lama. Tuntutan mereka pun sederhana yakni tercukupkannya kebutuhan pokok mereka, pendidikan dan layanan kesehatan yang memadai.
Karenanya, meskipun hasil Pemilu tersebut diluar prediksi, setidaknya tetap diharapkan sebagai pembuka jalan menuju pemulihan dan perubahan yang lebih baik. Berbagai kendala yang masih menghantui seperti kepemilikan senjata api oleh sipil dan kemungkinan terjadinya benturan antara kubu liberal sebagai pemenang dan kubu Islamis yang kalah dapat diatasi dengan bijaksana apalagi hasil akhir Pemilu tersebut diumumkan menjelang bulan suci Ramadhan, bulan untuk memantapkan kasih sayang.*/ Sana`a, 25 Sya`ban 1433 H
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yogyakarta