Oleh: Musthafa Luthfi
HINGGA saat ini, film yang oleh banyak publik Arab menyebutnya sebagai karya qumamah atau zabalah (sampah) karena dianggap sarana murahan untuk melecehkan simbol kesucian Islam, Innocence of Muslims (IOM) yang diproduksi di AS itu terus menuai kecaman umat Islam di manca negara, terutama di Timur Tengah, karena isinya dianggap melecehkan Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi Wasallam.
Target unjuk rasa di dunia Islam adalah kedutaan besar (Kedubes) AS dan kantor perwakilan lainnya negeri Paman Sam itu termasuk di antaranya Kantor Konsulat di Benghazi, Libya yang diserang dan dibakar sehingga menewaskan empat warga AS, termasuk Duta Besar, Christopher Stevens. Korban jiwa di kalangan pengunjukrasa juga berjatuhan oleh tembakan aparat keamanan yang berusaha membentengi setiap kantor perwakilan AS yang menjadi sarana pelampiasan murka massa.
Di ibukota Yaman, Sana`a misalnya empat orang tewas dalam unjuk rasa sekitar 2.000 pendemo yang menentang video yang menghina Islam itu, Kamis (13/09/2012) setelah polisi melepaskan tembakan peluru tajam dan gas air mata untuk membubarkan massa yang marah dan menyerbu Kedubes AS di kota itu. Seorang pejabat keamanan di Yaman mengatakan selain korban tewas, delapan orang lainnya terluka dalam kerusuhan itu, yang berlangsung hingga larut malam.
Untuk mengantisipasi terulangnya insiden seperti di Benghazi Libya, pasukan elit Angkatan Laut AS (mariner) dilaporkan tiba di Sana`a, Sabtu (15/09/2012) untuk memperkuat pengamanan Kedubes AS terkait kemarahan warga Yaman atas film yang melecehkan Islam itu. Pengamanan terus diperkuat sejak arus demonstrasi kian meningkat di Yaman sebagai reaksi atas film kontroversial melecehkan Islam yang dibuat di AS.
Pengamanan ekstra dengan mendatangkan pasukan elit tersebut disinyalir juga untuk mengantisipasi kemungkinan serangan Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP) setelah keluarnya sebuah pernyataan pada salah satu situs yang digunakan oleh AQAP Sabtu (15/09/2012), menyerukan umat Islam untuk “mengikuti contoh dari Libya, yaitu membunuh Dubes AS. Nasib perwakilan negeri itu di manca negara terutama di dunia Islam tak jauh berbeda sebagai target pelampiasan murka kaum Muslimin.
Film yang dilaporkan dibuat oleh warga Kristen Koptik Mesir radikal yang mukim di negeri Paman Sam itu sedianya bertujuan untuk memecahbelah warga Muslim dan Kristen di Mesir dan dunia Arab pada umumnya. Namun target itu tidak mencapai sasaran bahkan justru sebaliknya yang terjadi, karena warga Koptik termasuk berada di garis depan para pengunjukrasa di Kedubes AS Kairo dan sebagian dari mereka lebih muak terhadap pembuatan film tersebut.
Pasalnya mayoritas warga Koptik Mesir mafhum bahwa dampak bahaya film itu yang akan menimpanya jauh lebih besar ketimbang bahaya yang akan menimpa kaum Muslimin Mesir. Karenanya, mereka sangat mengutuk keras tingkah segelintir penganut Koptik yang mukim di AS tersebut dan menyebut aksi tersebut sebagai melanggar ajaran Koptik.
Di tingkat regional Arab, heboh film IOM itu sempat menyebabkan publik Arab sekilas melupakan situasi berdarah di Suriah bahkan warga setempat dari semua golongan di negeri bekas pusat pemerintahan Khilafah Umawiyah itu pada turun ke jalan mengecamnya. Belum lagi di Iraq sebagai negeri yang paling keras perpecahan sektarian di Arab dewasa ini, film IOM untuk sementara waktu menyatukan mereka terutama di kalangan Syiah dan Sunni yang bersama-sama di jalan-jalan mengutuk keras pelecahan tersebut.
Reaksi spontanitas itu sebagai bentuk pembelaan atas simbol kesucian tersebut, sampai saat ini masih enggan difahami para pemimpin Barat dan para analis mereka sehingga mereka merasa aneh saat Dubes AS dan tiga stafnya terbunuh di Libya yang sempat mereka “bantu” menjatuhkan rezim diktator. Meskipun umat Islam sudah sangat kenyang dengan hinaan dan pelecehan mulai dari penerbitan novel pelecehan atas Islam, karikatur, pembakaran kitab suci, pelecehan atas jasad mereka yang mati syahid, pendudukan wilayah dan penyabotan kota suci Al-Quds, namun mereka tidak akan pernah berhenti bereaksi atas setiap pelecehan baru meskipun bersifat spontanitas.
Untunglah berbagai fatwa dari lembaga-lembaga Islam terkemuka di tingkat dunia maupun di masing-masing negera Muslim berhasil meredakan kemurkaan umat tersebut seperti fatwa Ketua Persatuan Ulama Muslim Sedunia, Dr. Yusuf al-Qardawi dan Mufti Arab Saudi yang melarang pendudukan dan pembunuhan atas para diplomat AS. Selanjutnya AS dan Barat seharusnya melakukan upaya yang sama dengan cara melarang terulangnya pelecehan serupa.
Mungkin banyak pihak yang melihat bahwa kebebasan berpendapat yang dijunjung tinggi oleh konstitusi negeri yang disebut adidaya itu, tidak ada pengecualian sebab banyak pula buku dan film dianggap melecehkan Isa (diyakini sebagai anak Tuhan bagi kaum Kristiani) dan Bunda Maryam Alaihimassalam. Namun anehnya, hal tersebut tidak melarang dikeluarkannya undang-undang yang mengecam pengingkaran atas kebenaran holocaust Yahudi dan keraguan atas jumlah korbannya.
Bila ada iktikad baik untuk mengatasi masalah pelecehan tersebut, tentunya konstitusi yang bukan sebagai kitab suci dapat saja diamandemen atau diubah sebagian pasalnya yang mengkriminalkan siapa dan pihak manapun yang melecehkan agama. Hal ini perlu dilakukan guna terciptanya hidup berdampingan secara damai antara semua agama sebab masalah keyakinan sangat rentan sebagai penyebab perang secara meluas di masa mendatang.
Dipertanyakan
Selain isi yang sangat melecehkan tersebut banyak pihak juga mempertanyakan timing (pengaturan waktu) tayang dan pengumuman film yang kontroversial tersebut yang dicurigai memang sengaja direkayasa untuk tujuan tertentu terlebih lagi bertepatan dengan peringatan peristiwa serangan 11 September. Sejumlah analis melihat bahwa reaksi umat Islam atas film tersebut sepertinya telah dipelajari dan sesuai prediksi untuk selanjutnya melapangkan jalan menuju target dimaksud.
Sejumlah analis melihat kemungkinan pengaturan waktu tayang tersebut direkayasa bertepatan dengan peringatan peristiwa 11 September untuk memunculkan kembali ketokohan George Bush junior lewat tokoh Capres Partai Republik, Mitt Romney guna mengembalikan lagi kubu yang dikenal dengan sebutan “elang” atau ekstrim kanan. “Mantan gubernur Massachusetts itu dapat mengusung kembali slogan seperti “perang melawan terorisme”, “siapa yang tidak bersama kami berarti lawan kami” dan slogan “Perang Salib”, kembali mencuat lagi, “ papar Khamis al-Thoubi, analis Arab.
Pendapat tersebut boleh-boleh saja karena Capres Romney bersama sejumlah pendukungnya di kubu Republik telah berusaha memanfaatkan heboh film tersebut dengan menuduh pemerintahan Barack Obama terlalu lunak menghadapi serangan atas perwakilan AS.
“Intervensi Mitt Romney bersama pendukungnya terhadap masalah ini untuk kepentingan mereka, bagi kami menyedihkan dan sekaligus mengkhawatirkan,” papar James Zaghbi.
Analis AS keturunan Libanon itu menilai bahwa sikap Capres Republik tersebut mengungkap kenyataan kebijakan neo-konservatif yang didasari oleh dua hal yakni hitam atau putih. “Karena itu mereka akan mengedepankan penyelesaian kekuatan militer dan mengesampingkan penyelesaian diplomasi menghadapi pihak-pihak yang dianggap lawan,” papar Ketua Lembaga AS-Arab itu seperti dikutip harian al-Watan Oman, Ahad (16/09/2012).
“Bila demikian halnya, kebijakan itu sama dengan yang pernah ditempuh mantan Presiden George Bush junior yang menyebabkan berbagai kegagalan serta kekeliruan dalam politik luar negeri AS dan erosi sangat parah terhadap posisi AS di seluruh dunia. Presiden Obama berusaha memperbaiki ketidakseimbangan tersebut, tapi setiap langkah yang dilakukannya, kubu neo-konservatif selalu berusaha menghalangi,” paparnya lagi.
Yang jelas otak intelektual dari rekayas peristiwa seperti ini dan semisal serangan 11 September adalah tokoh-tokoh yang sama, sebab mereka yang telah memiliki pengalaman lama di bidang ini dan mahir merekayasanya. Pengaturan waktunya pun demikian lihai menjelang pertarungan antara dua partai AS (Demokrat dan Republik) dimana para otak intelektualnya ingin memaksakan dua opsi kepada Obama yakni pertama, menyeretnya untuk menggunakan kekuatan kasar dan meninggalkan kekuatan halus (bila ingin tetap menjadi orang nomor satu AS) atau yang kedua meninggalkan posnya.
“Jelas sekali bahwa ada upaya-upaya untuk menyeret rakyat AS kembali untuk mendukung kebijakan-kebijakan sebelumnya yang keliru dengan persiapan yang demikian rapi dan matang. Siapa tahu pelecehan terhadap Islam dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam adalah sekedar mukaddimah saja,” tandas Khamis al-Thoubi lagi.
Lebih berbahaya
Sedangkan terkait dampak yang akan dialami Libya akibat terbunuhnya Dubes dan tiga staf Kedubes AS di Benghazi kelihatannya lebih berbahaya karena dikhawatirkan dapat memunculkan kekacauan yang lebih besar di kemudian hari. Pasalnya berbagai fatwa dan seruan ulama terkemuka untuk menenangkan warga Arab tidak mengurangi niat negeri Paman Sam itu untuk balas dendam atas kematian mereka.
Dilaporkan dua kapal perang negeri adidaya itu serta lebih dari 20 pesawat tak berawak (drone) dan pengiriman sejumlah unit mariner ke Libya sebagai persiapan untuk mengejar pihak-pihak yang dianggap pelaku insiden berdarah tersebut. Keberadaan pasukan, drone dan kapal perang tersebut di wilayah perairan negeri itu bisa memunculkan anggapan bahwa Libya berada dibawah protektorat AS.
Hal ini bisa saja menjadi dalih kelompok-kelompok bersenjata radikal untuk menyerang mereka atau bahkan menyerang pasukan pemerintah yang dianggap bekerjasama dengan pasukan pendudukan asing seperti kejadian sekarang di Afganistan. “Kenyataan ini juga dapat sebagai penyubur munculnya milisi-milisi radikal baru,” papar sejumlah analis Arab.
Apalagi Ketua Kongres Nasional (Parlemen) Libya, Mohamed al-Megaryef tanpa ragu-ragu menyebutkan tentang keterlibatan al-Qaeda terhadap serangan Konsulat AS di Benghazi sehingga perlu menghadapinya dengan tegas. Banyak pihak di Libya menilai seruan untuk memerangi kelompok-kelompok radikal sebagai hasutan sangat berbahaya karena dapat menyeret kepada perang saudara berakibat kekacauan yang lebih besar dari situasi sekarang.
Indikasi pasca insiden berdarah di Benghazi tersebut semakin memunculkan kekhawatiran bahwa Libya bisa saja menjadi Afganistan baru meskipun secara bertahap. AS kelihatannya telah membuka front baru terkait kebijakannya memerangi terorisme dengan fokus utama penyerangan atas kelompok yang dicurigai terkait al-Qaeda dan kelompok-kelompok lainnya yang dianggap radikal terutama dengan menggunakan drone.
Wilayah udara Libya hampir dipastikan akan masuk daftar udara terbuka bagi pesawat tempur tak berawak AS setelah Pakistan, Somalia dan Yaman yang sejauh ini sering juga salah sasaran menyebabkan banyak warga sipil tak berdosa yang menjadi korban. Serangan atas Konsulat AS di Benghazi itu memang perlu dikecam, namun sebaliknya korban sipil akibat serangan drone juga harus dikecam dan diupayakan tidak terulang lagi.
Melihat gelagat dibalik tayangan IOM itu, nampaknya dampak rekayasa film pelecehan terhadap kesucian Rasulullah tersebut akan dibayar mahal pula oleh kaum Muslimin. Karenanya, para pemimpin Islam dituntut untuk mendesak segera dikeluarkan persetujuan internasional yang mengkriminalkan pelaku pelecehan dengan sanksi hukum berat agar tidak terulang lagi pelecehan serupa yang sering dijadikan sarana penyusunan strategi baru yang makin merugikan umat Islam.*/Sana`a, 30 Syawal 1433 H
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Sana’a, Yaman