Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew mengulangi lagi seruannya agar kelompok Islam moderat memerangi ekstrimis Islam, yang ia sebut telah membuat teror di dunia. Jika tidak, maka AS dan sekutunya akan memerangi kelompok ekstrimis Islam itu. Lee mengingatkan kelompok Islam moderat di dunia jika tak segera mengambil sikap dan memulai memerangi kelompok ekstrimis di masjid-masjid dan sekolah-sekolah muslim, maka yang akan terkena getahnya tidak saja kelompok ekstrimis itu saja, melainkan komunistas Islam secara keseluruhan. Adanya respons dari kelompok moderat ini, kata Lee, juga akan mengurangi jurang pertentangan antara Barat dengan Muslim.
Lee membuat pernyataan itu dalam wawancara dengan BBC East Asia Today, Sabtu (27 Maret 2004), yang juga dikutip oleh Tempo Interaktif. Lee mengatakan, berdiamnya kelompok Islam moderat membuat Islam ekstrimis leluasa meledakan bom seperti di Bali dan di Madrid baru-baru ini yang menewaskan 190 orang. Karena ada reaksi dari kalangan Islam moderat, menurut Lee, mendorong Amerika Serikat dan sekutunya memerangi kelompok ekstrimis Islam itu. Jika bom-bom terus meledak setelah 11 September, Madrid, dan Bali lalu kelompok Islam moderat diam saja, dan bahaya Barat mulai terasa, maka tak akan ada yang menang melawan teroris. “Ini masalah yang sangat berbahaya,” katanya.
Selain Amerika, menurut Lee, negara-negara Eropa juga akan mengambil sikap yang sama menumpas kelompok-kelompok ekstrimis itu. Sehingga tidak bisa disalahkan jika dua kekuatan besar itu kemudian memerangi Islam, karena orang Islamnya sendiri membiarkan aksi kelompok-kelompok Islam garis keras itu. Begitulah pernyataan mutakhir Lee Kuan Yew.
Pernyataan Lee itu tentu bukan hal yang baru. Beberapa kali ia menyatakan sikap senada. Ia pernah meminta agar AS membantu TNI untuk menumpas gerakan yang disebutnya sebagai Islam radikal dan ekstrimis. Berulang kali pula Lee menyerukan kepada dunia akan bahaya Islam militan, radikal, dan sebagainya. Kita tidak terlalu terkejut dengan ucapan tokoh Cina perantauan (Overseas Chinese) yang mutakhir ini.
Meskipun demikian, ucapan Lee perlu menjadi perhatian dan catatan serius kalangan Muslim. Apalagi, ucapan itu diungkapkan dan disebarluaskan di tengah-tengah momentum Pemilu Indonesia tahun 2004, yang memunculkan fenomena baru, meroketnya perolehan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bagaimanapun jargon dan strategi yang digunakan PKS dalam meraih suara, PKS tetaplah akan dipandang Barat sebagai partai Islam yang berkeinginan melaksanakan syariat Islam. Para aktivis dan tokoh PKS dengan mudah akan dituding memiliki hubungan dengan teroris, karena mereka aktif mendukung perjuangan Palestina dan mau tidak mau harus berhadapan dengan Israel yang sekaligus pelindung utamanya, AS.
Siapapun tau, para aktivis PKS dikenal aktif dalam mendukung perjuangan Hamas, yang oleh Israel dan AS sudah dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris. Karena itu, tidaklah heran, jika beberapa waktu lalu, Presiden PKS, Dr. Hidayat Nurwahid juga dikaitkan dengan jaringan teroris, karena organisasi yang dipimpinnya, yakni Yayasan Haramain, dicap punya kaitan dengan organisasi teroris tertentu versi AS dan PBB.
Jika Lee Kuan Yew meminta agar Islam moderat memerangi Islam teroris dan ekstrimis, maka yang perlu dipertanyakan kepada kakek Lee adalah tentang definisinya, siapakah yang disebut sebagai ?moderat? dan siapakah yang disebut sebagai ?ekstrimis? atau ?teroris?. Dalam kamus ?terorisme? definisi ini tidak pernah jelas. Dunia dengan gamblang melihat bagaimana standar ganda diterapkan. Pembunuhan tentara Israel terhadap Syeikh Ahmad Yassin dan tokoh-tokoh Hamas bukanlah termasuk tindakan teror. Dalam kurun waktu 28 September 2000 hingga 8 April 2004, sudah lebih 3.800 warga Palestina yang dibunuh oleh Israel. Satu jumlah yang melampaui korban serangan 11 September 2001.
Jika warga Palestina yang jadi korban, maka itu bukanlah tindakan terorisme. Tetapi jika orang Yahudi atau Amerika dan sekutunya yang jadi korban, maka itu dikatakan terorisme. Padahal, dunia mengakui, Israel adalah penjajah wilayah Palestina, karena terus-menerus melanggar berbagai resolusi PBB yang memerintahkan mereka keluar dari wilayah Palestina yang didudukinya. Sudah terlalu banyak pakar yang mengritik kebijakan AS dalam soal terorisme, yang tidak melihat pada akar persoalan, tetapi terus-menerus menebar permusuhan dan melindungi berbagai tindakan kejahatan sekutu-sekutu atau kroninya, hanya karena menguntungkan politik dan kepentingan-kepentingannya.
Karena itu, kita perlu memahami apa yang ada di balik ucapan Lee Kuan Yew. Sejatinya, dunia Barat, khususnya AS dan sekutunya, sudah mulai ketakutan dan kebingungan dengan kondisi mereka sendiri, yang tidak lagi akur dan bersatu padu. Karena itu, mereka resah. Perdebatan antara Huntington dengan Anthony Giddens beberapa waktu lalu dipublikasikan oleh sejumlah media internasional dengan judul ?Two West? (Dua Barat).
Thomas L. Friedman, dalam kolomnya di International Herald Tribune (3 November 2003), berjudul ?Is this the end of the West?? menulis, bahwa Barat memang telah pecah. AS dan Eropa, khususnya Jerman dan Perancis, telah berbeda dalam banyak hal prinsip. Carld Bildt, mantan PM Swedia, menyatakan, bahwa selama satu generasi, Amerika dan Eropa bersepakat selama puluhan tahun bersama Aliansi Atlantik Utara membangun komitmen bersama untuk menciptakan pemerintahan demokratis, pasar bebas, dan menangkal pengaruh komunisme Uni Soviet. Namun, kini, semua itu sudah berubah. Bagi Eropa, tahun penting adalah 1989 (keruntuhan Soviet), sedang bagi AS adalah 2001 (Tragedi WTC). Eropa dan AS juga gagal untuk membangun visi bersama dalam menghadapi isu-isu global. ?We have also failed to develop a common vision for where we want to go on global issues confronting us,? kata Bildt. Karena itulah, Barat membutuhkan musuh bersama.
Berbagai isu mereka bangkitkan untuk menyatukan visi dan langkah mereka. Isu ?terorisme Islam? merupakan isu yang sensitif bagi Barat, karena pengalaman sejarah yang panjang tentang Islam. Memori kolektif masyarakat Barat ? juga sekutunya, seperti Lee Kuan Yew, yang negaranya terjepit di tengah negeri Muslim — akan dengan mudah dibangkitkan dengan tantangan dan ancaman Islam. Mengapa? Di dunia ini tidak ada peradaban lain yang begitu lama mampu menaklukkan peradaban Barat dan masuk ke jantungnya, selain peradaban Islam. Di Spanyol, umat Islam bertahan hampir 800 tahun (711-1492). Mereka masih sulit melepaskan ingatan, bagaimana Kota Kebanggaan Kristen, Konstantinopel, direbut oleh umat Islam pada 1453. Oleh Sultan Muhammad al-Fatih, Kota itu diubah namanya menjadi ?Islambul? (Kota Islam). Konstantin adalah Kaisar Romawi yang sangat dihormati oleh kalangan Kristen, karena dialah yang pertama kali memberikan kelonggaran kepada kaum Kristen untuk menjalankan agamanya di wilayah Romawi, dengan mengeluarkan Edict of Milan pada 311 M. Maka, dia dijuluki sebagai ?The Great Constantine?. Atas prakarsa dia pula, pada 325 diselenggarakan Konsili Nicaea, yang merumuskan Teologi Kristen resmi, yang masih dijadikan pegangan Gereja hingga kini.
Secara teologis, Islam juga memberikan tantangan besar sejak awal mula, terhadap pondasi dan Kitab Yahudi dan Kristen (Bible). Al-Quran menyebut mereka sebagai kafir ahlul kitab dan karena mereka ingkar kepada kenabian Muhammad maka mereka tidak akan mendapatkan keselamatan. Secara tegas al-Quran menyatakan, mereka yang beriman kepada trinitas sebagai kafir (QS Al-Maidah 72-75). Bahkan, Al-Quran juga secara tegas menyebut bahwa mereka sudah mengubah-ubah kitab suci mereka, sehingga menjadi tidak suci lagi. Bukan hanya itu, al-Quran juga membongkar asas-asas peradaban Barat modern yang berbasis kepada rasionalisme dan menolak wahyu.
Tidak ada satu agama dan kitab suci pun di muka bumi ini, yang membongkar dan mengkritisi habis-habisan unsur-unsur peradaban Barat, sebagaimana peradaban Islam. Karena itu, meskipun sebagian besar masyarakat Kristen Barat telah menjadi ?Kristen-nominal?, namun sentimen keagamaan mereka dan memori kolektif mereka terhadap Islam, masih sangat mudah diungkit dan dibangkitkan. Tidak heran, pasca peristiwa 11 September, umat Islam di berbagai negara Barat menghadapi pelecehan dan serangan, meskipun mereka tidak tahu menahu tentang peristiwa 11 September.
Jadi, pada perspektif politik internasional, demi menjaga kepentingan Barat, khususnya ?American interests?, maka isu ?teroris Islam? terus-menerus dipelihara. Dan memang, ada saja diantara kaum Muslim, yang terpancing atau dengan sadar dan terpaksa melakukan tindakan kekerasan terhadap Yahudi di Palestina atau berbagai penindas kaum Muslim (di Chekhnya, Kashmir, Moro, dan sebagainya). Mereka melakukan itu biasanya sebagai respon. Bom Madrid, misalnya, sangatlah penting nilainya bagi AS untuk meyakinkan sekutu-sekutunya di Eropa akan bahaya ?teroris Islam?. Bom Bali, terbukti memiliki nilai strategis bagi AS untuk mengokohkan imej dunia, bahwa ancaman ?teroris Islam? bukanlah isapan jempol.
Sebenarnya, mayoritas kaum Muslim bukannya membenarkan tindakan bom Bali dan sejenisnya. Yang mereka tuntut adalah keadilan. Jika Imam Samudera dkk dihukum karena membunuh 190-an orang, maka bagaimana dengan Israel atau AS yang membunuh ribuan wanita dan anak-anak di Palestina, Iraq, Afghanistan dan sebagainya? Jika Lee Kuan Yew berteriak tentang bahaya Islam teroris, mengapa dia membiarkan para koruptor dan pelarian Indonesia yang menggondol trilyunan rupiah uang rakyat Indonesia, bersembunyi di Singapura. Mengapa Singapura selalu menolak menandatangai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia? Bukankah terorisme ekonomi memiliki dampak yang jauh lebih dahsyat dari pada terorisme dengan bom tangan? Sebab, terorisme ekonomi membunuh generasi. Jutaan orang sengsara sebab hak-hak hidup mereka dirampas. Kita berharap, tuntutan-tuntutan keadilan semacam ini akan semakin banyak diungkapkan oleh pemerintah Indonesia di masa depan, siapa pun yang menjadi presiden.
Di tengah situasi politik internasional saat ini, yang masih didominasi oleh kekuatan-kekuatan neo-konservativ (terutama Yahudi sayap kanan dan Kristen-Zionis), maka partai-partai Islam yang sedang menanjak naik bintangnya –seperti PKS– perlu sangat cermat, dan tidak tenggelam ke dalam kegembiraan yang berlebihan. Sejumlah kasus menunjukkan, Barat dan kekuatan-kekuatan sekuler-misionaris, tidak pernah berhenti untuk menghancurkan partai-partai Islam. Kasus FIS di Aljazair tahun 1991, menunjukkan bagaimana Barat begitu risau ketika FIS memenangkan pemilu. Necmetin Erbakan, hanya bertahan 18 bulan di pemerintahan Turki.
Awal Januari 1992, militer garis keras di Aljazair membatalkan pemilu, memberangus FIS dan menahan ratusan anggotanya sehingga negara itu terus menerus dalam perang sipil dan menimbulkan korban sampai 80 ribu jiwa. Pembatalan pemilu itu, dimana pemerintahan Bush (senior) menghormati keputusan militer Aljazair, dianggap sebagai suatu keputusan Washington yang membingungkan. Bahkan lebih jauh, ketika militer mengambil paksa pemerintahan Aljir pada Januari 1992, Departemen Pertahanan AS mengatakan hal itu dibenarkan dalam konstitusi Aljazair. Diplomat-diplomat Amerika secara pribadi juga setuju bahwa kemenangan kaum Islamis di Aljazair dapat menimbulkan efek anti Barat dan dapat menimbulkan gejolak yang luas di negara-negara lain. Pemerintahan Bush juga khawatir kemenangan Islam Fundamentalis ini menyeberang ke Afrika.
Menteri Luar Negeri AS di masa pemerintahan Bush, James Baker lebih jelas lagi menyatakan ketidakinginannya melihat hasil pemilu di Aljazair. Sebab ia melihat, FIS adalah sebuah gerakan Islam fundamentalis radikal yang benar-benar anti Barat, anti nilai-nilai demokrasi, kebebasan pasar dan prinsip-prinsip serta nilai-nilai Barat. Baker menyatakan: “Kita tidak bisa hidup dengan gerakan itu (fundamentalis radikal) di Aljazair, sebab kita merasa bahwa pandangan-pandangan fundamentalis radikal bertentangan dengan apa yang kita yakini dan kita dukung dan bertentangan dengan kepentingan nasional AS.”
Sebagai partai Islam yang bintangnya sedang bersinar, PKS haruslah mencermati kasus FIS juga Erbakan. Pernyataan Lee bisa jadi serius. Jika begitu, apakah pernyataan Lee dimaksudkan agar PKS, PPP, PBB, PNUI, PBR, dan lain-lain, diperangi? Yang perlu dicermati adalah bagaimana kiat-kiat dan cara melumpuhkan kekuatan Islam. Mereka memulai dari dasarnya, dari unsur aqidah atau ideologisnya. Justru partai-partai Islam yang meraih suara signifikan kali ini perlu lebih menyadari, bahwa jumlah besar bukan jaminan kekuatan dan kebenaran.
Al-Quran banyak mengingatkan untuk tidak berbangga-bangga dengan jumlah besar. Dalam Perang Hunain, ketika kaum muslim berbangga-bangga dengan jumlah yang besar, justru mereka mendapatkan pukulan hebat dari kaum kafir. (QS 9:25). Jumlah besar, disamping potensi, juga menyimpan kerawanan, terutama dari para infiltran yang berniat tidak baik terhadap Islam. Wallahu a?lam. (KL, 9 April 2004).