Sabtu, 10 Desember 2005
Oleh: Adian Husaini
Majalah MEDIA DAKWAH, terbitan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), edisi Desember 2005, menurunkan laporan utama berjudul “30 Tahun Orientalisme di IAIN”. Laporan ini membahas tentang potret dan dampak pembaruan studi agama yang dilakukan oleh Prof. Dr. Harun Nasution, 30 tahun lalu, terhadap pemikiran keagamaan yang berkembang di lingkungan perguruan tinggi Islam, khususnya IAIN/UIN saat ini.
Sosok dan pemikiran Harun Nasution jarang dibahas dalam forum-forum publik. Padahal, dia punya andil besar dalam melakukan perombakan dan pembaruan studi agama, terutama melalui bukunya, “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, yang digunakan sebagai salah satu referensi penting dalam mata kuliah studi Islam di berbagai IAIN. Disamping itu, laporan ini juga membahas tentang sosok cendekiawan Muslim yang gigih dalam mengkritik orientalisme, yaitu Prof. HM Rasjidi.
Sudah 30 tahun lalu, Rasjidi menulis tentang bahaya penggunaan buku Harun Nasution sebagai rujukan mata kuliah studi Islam. Tapi, tidak digubris.
Alkisah, berdasarkan hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Ciumbuluit Bandung, Departemen Agama RI memutuskan: buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” karya Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai “buku yang akan bermanfaat terutama untuk mata kuliah Pengantar Agama Islam – mata kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh
setiap mahasiswa IAIN, apa pun fakultas dan jurusannya”.
Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasjidi menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Rasjidi menulis: “Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan
terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”
Pernyataan Prof. Rasjidi, bahwa buku Harun Nasution SANGAT BERBAHAYA perlu kita garisbawahi. Dalam bukunya, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), Rasjidi memberikan kritik-kritik
yang cukup tajam terhadap buku Harun tersebut.
Harapan Rasjidi agar Depag mengambil tindakan terhadap buku Harun tidak digubris. Menurut Rasjidi, ada dua kemungkinan sikap Depag tersebut: (a) Depag, khususnya Diperta, setuju dengan isi buku tersebut dan ingin mencetak sarjana IAIN menurut konsepsi Dr. Harun Nasution tentang Islam. (2) Pihak-pihak tersebut tidak mampu menilai buku tersebut dan bahayanya bagi eksistensi Islam di Indonesia serta umatnya.
Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak digubris. Rasjidi, yang juga mantan Menteri Agama RI pertama, akhirnya mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Setelah nasehatnya tidak digubris, ia menerbitkan kritiknya terhadap buku Harun tersebut. Maka, tahun 1977, lahirlah buku ‘Koreksi terhadap Harun Nasution’ tersebut.
Kini, setelah 30 tahun berlalu, peringatan dan nasehat Prof. Rasjidi menjadi kenyataan. Ibarat sebagai pembuka pintu, Harun memberi jalan sekularisasi dan liberalisasi yang saat ini datang bagai air bah, menerobos masuk ke dalam arena studi Islam, tanpa bisa dikendalikan lagi. Kerangka pikir
dan metode belajar Islam ala orientalis menjalar ke mana-mana, tanpa diikuti persiapan yang matang untuk menangkalnya.
Isi Buku Harun
Cara pandang dan cara penyajian Harun terhadap agama Islam, memang gaya khas orientalis Barat, yang menempatkan semua agama pada posisi dan fenomena yang sama. Dia, misalnya, menggambarkan proses perkembangan teologi sebagai hasil evolusi, dari dinamisme, animisme, politeisme atau henoteisme, lalu monoteisme, yang dia katakan juga sebagai agama tauhid.
Dalam perspektif evolutif seperti ini, monoteisme dipandang bukan sebagai kebenaran final, karena bisa berkembang, dan menuju pada jenis paham keagamaan lainnya, semisal ateisme. Harun tidak menyebutkan hal ini dalam bukunya.
Tapi, ini adalah konsekuensi logis dari cara berpikir evolutif dalam keagamaan. Padahal, Islam sebagai agama Tauhid bukanlah hasil evolusi pemikiran manusia. Sebab, agama Tauhid berasal dari
wahyu Allah, sehingga sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, konsep agama Tauhid adalah tetap, dan tidak mengalami evolusi. Barat tentu saja tidak mengenal konsep wahyu dalam tradisi pemikirannya, sehingga mereka menempatkan agama sebagai bagian dari gejala budaya yang tumbuh di tengah masyarakat.
Harun juga sangat keliru ketika menyebutkan jenis agama monoteisme – yang dia istilahkan juga dengan agama Tauhid – yaitu Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Agama Islam, Yahudi, dan Kristen, menurutnya, adalah satu rumpun. Sedangkan agama Hindu bukan satu rumpun. Namun, Harun akhirnya mencatat, bahwa Islam dan Yahudi adalah agama monoteis yang murni, sedangkan
Kristen tidak murni monoteis lagi. Benarkah demikian?
Harun sangat menyederhanakan masalah dan mengabaikan masalah yang mendasar tentang perbedaan antara konsep Tuhan dalam Islam dan Yahudi. Konsepsi Tuhan versi Yahudi jelas tidak sama dengan Islam. Konsep Yahudi tentang Tuhan yang satu – beberapa menyebutnya dengan
nama Yahweh – jelas sangat berbeda dengan Islam.
Yahudi memonopoli Tuhan hanya untuk bangsanya sendiri. Bangsa lain tidak boleh menyembahnya.Ini yang dikatakan Harun sebagai jenis henoteisme. Tapi, anehnya, Harun masih tetap memasukkan Yahudi dalam jenis agama monoteisme/tauhid murni.
Juga, gambaran Yahudi tentang Yahweh sangat anthoposentris, dan jauh berbeda dengan gambaran Islam tentang Allah SWT.
Misalnya, dalam 1 Samuel, 15:10, dinyatakan: “Aku menyesal karena Aku telah menjadikan Saul raja, sebab ia telah berbalik daripada Aku dan tidak melaksanakan firman-Ku.” Juga, dalam Kitab Keluaran 32:14 dikatakan: “Dan menyesallah TUHAN karena malapetaka yang dirancang-Nya atas umat-Nya.”
Dalam Keluaran 12:12 pun digambarkan Tuhan yang bercorak manusia itu: “Sebab pada malam ini Aku akan menjalani tanah Mesir, dan semua anak sulung, dari anak manusia sampai anak binatang, akan Kubunuh, dan kepada semua allah di Mesir akan Kujatuhkan hukuman, Akulah, Tuhan.” (teks Alkitab versi LAI, 2004).
Prof. Rasjidi menulis kritiknya terhadap cara Harun dalam menyajikan gambaran tentang agama-agama: “Cara penyajian dalam buku ini adalah cara pengarang Barat yang dalam fikiran mereka menyimpan suatu perasaan bahwa semua agama itu pada dasarnya sama dan merupakan gejala sosial yang dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia. Penganjur kelompok ini adalah
sarjana Perancis yang bernama Emile Durkheim (1858-1917).”
Rasjidi juga mengajukan usulan, agar bagi kaum Muslim, maka ajaran agama harusnya menjelaskan, bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah agama yang terakhir yang mengoreksi agama-agama sebelumnya.”
Jika dicermati, cara yang ditempuh Harun memang tidak menanamkan keyakinan akan kebenaran Islam, sebagai agama yang terakhir. Cara-cara orientalis Barat dalam studi agama tersebar pada berbagai bagian dari buku Harun Nasution tersebut. Masalahnya, Rasjidi memang membentur tembok.
Ketika itu, yang menjadi Menteri Agama adalah Mukti Ali, yang diakui oleh Harun dalam biografinya, sejalan dengan pikiran-pikirannya. Namun, Rasjidi telah sempat mengingatkan: “Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian ilmiyah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin dipudarkan keimanannya.”
Adalah menarik melihat sejarah hubungan antara Harun Nasution dengan HM Rasjidi. Keduanya adalah sahabat lama. Dalam biografi kedua tokoh ini, kisah persahabatan mereka juga digambarkan.
Pada Rabu (7/12/2005) lalu, saya untuk pertama kalinya, bersilaturrahmi ke rumah HM Rasjidi. Jika beliau masih hidup, usianya tahun ini mencapai 90 tahun. Rumahnya yang asri di Jalan Bojonegoro, Jakarta Pusat, ditinggali oleh Ibu HM Rasjidi, yang tahun ini berusia 85 tahun.
Di usianya yang senja, Ibu Rasjidi masih sanggup mengingat dan menceritakan beberapa penggal
kisah hubungan pribadi dan kekeluargaan antara Harun dengan Rasjidi. Tapi, karena melihat ada penyimpangan prinsip dalam masalah agama, Rasjidi memberikan kritiknya yang keras.
Tidak banyak ilmuwan Muslim seperti Prof. HM Rasjidi. Setelah mengenyam berbagai pendidikan tinggi di Barat, akhirnya justru bersikap sangat kritis terhadap Barat dan orientalis. Ia sempat belajar dan mengajar di sarang orientalis di Barat.
Bahkan, ia sempat berdebat dengan seorang dedengkot orientalis di McGill, yaitu Joseph Schacht. Gara-gara mendebat Schacht, Rasjidi sempat ‘diadili’ oleh para orientalis. Tapi, ia dibela oleh orientalis terkenal dari Jepang, yaitu Prof. Isutzu.
Wartawan kawakan Rosihan Anwar melukiskan sosok Rasjidi sebagai “lembut, kalem, dengan suara tenang, soan.” Tapi, tulis Rosihan, “Dibalik wajah dan penampilan demikian terdapat semangat kerja keras bagaikan baja, apalagi persoalan prinsip dan keyakinan yang menjadi urusan.”
Munawir Sjadzali juga mengakui sikap gigih Rasjidi dalam soal-soal prinsip. Ia menulis poengantar untuk buku 70 Tahun Prof. Dr. HM Rasjidi, “Banyak hal yang kita, khususnya para ilmuwan Islam dan cendekiawan muslim seangkatan saya dan angkatan-angkatan sesudahnya, perlu belajar dari Bapak Rasjidi, antara lain keyakinan beliau yang mutlak akan kebenaran Islam, disertai disiplin ilmiah yang tinggi.
Keyakinan beliau yang mutlak akan kebenaran Millah Muhammad dan integritas ilmiah beliau, sering menimbulkan kesan bahwa beliau seorang yang keras dan kaku. Demi ilmu, beliau tidak segan untuk “bertengkar” ilmiah dengan sahabat-sahabat dekatnya.”
Prof. Rasjidi pernah belajar di Darul Ulum dan Universitas Kairo pada awal 1930-an. Tahun 1946, ia diangkat menjadi Menteri Agama RI pertama di bawah Kabinet Sutan Syahrir. Jabatan Duta Besar di beberapa negara juga sempat dienyamnya. Gelar doktor diperolehnya dengan predikat ‘cum laude’ di Universitas Sorbone, Paris. Hebatnya, Rasjidi menyelesaikan doktornya, saat ia menjabat sebagai anggota perwakilan Indonesia di PBB tahun 1950-an, yang ketika itu bermarkas di Paris. Tahun 1956, ia sempat menyelesaikan disertasinya di Sorbonne di bawah supervisi Prof. Louis Massignon, seorang orientalis terkenal.
Dua tahun kemudian, Rasjidi diangkat sebagai Dubes RI untuk Pakistan. Ketika situasi negara sedang dilanda kemelut, Rasjidi memutuskan menerima tawaran untuk menjadi guru besar
(Assiciate Professor) di McGill University. Ia mengajar mata kuliah hukum Islam dan sejarah.
Ketika itulah dia membantu Harun Nasution untuk melanjutkan kuliahnya di Mc Gill. Rasjidi menuturkan, bahwa ia membutuhkan teman di Kanada, karena dia seorang diri.
Saat itu, Harun sedang kesulitan ekonomi. Rasjidi mengatakan padanya, “Datang sajalah ke Kanada, nanti saya carikan jalan.” Di Montreal, Kanada, Harun diajak tinggal di rumahnya. Baru setelah istri Harun menyusul, mereka berpisah.
Rasjidi mengaku tidak terlalu mencermati pemikiran Harun. Ia baru mengetahui corak pemikiran Harun setelah pulang dari McGill. Menurut Rasjidi, Harun –bukan hanya kurang kritis terhadap pemikiran orientalis– tetapi malah mengikuti dan mengembangkannya di Indonesia.
Kata Rasjidi: ‘’Menurut penilaian saya, Harun Nasution kurang kritis dalam menerima kuliah di universitas itu. Di Islamic studies, di negara-negara Barat, pengaruh orientalisme pada umumnya besar.’’
Sederet aktivitasnya di dunia Barat tidak mambuat Rasjidi silau dan terpukau dengan peradaban Barat. Sekembalinya ke Indonesia, ia aktif mengajar, menulis, dan mengkritisi pemikiran-pemikiran dan metodologi studi Islam gaya orientalis yang sering dihadapinya di Barat.
Rasjidi memang memilih jalan pikiran dan hidupnya dalam keyakinan Islamnya. Ia rela berhadapan dengan arus global sekularisme-liberalisme yang mencengkeram begitu banyak cendekiawan kalangan Muslim.
Karena itu, bisa dimengerti jika sosok dan pemikirannya tidak diekspose besar-besaran oleh media massa sebagaimana sosok dan pemikiran Nurcholish Madjid. Dan ketika ia wafat, 30 Januari 2001, media massa pun tidak terlalu gegap gempita memberitakannya.
Namun, emas tetap emas; mutiara tetaplah mutiara; dan loyang tetaplah loyang. Yang asli dan tiruan lama-lama akan ketahuan juga. Rasjidi adalah teladan dan mutiara cendekiawan Muslim yang gigih dan kokoh dalam pendiriannya dalam mempertahankan kebenaran. Ia tidak silau dengan gebyar dan gemerlapnya pemikiran kaum orientalis.
Ia tidak terpukau dengan kulit luar. Ia berani berbeda dan melawan arus pemikiran, dengan resiko disudutkan dan tidak populer. Itulah sosok dan pendirian Prof. HM Rasjidi, putra Yogya kelahiran
Kotagede, 20 Mei 1915.
Andai masih hidup, tahun ini, 2005, adalah tahun yang ke-90, bagi usia Rasjidi. Tapi, Allah mempunyai kebijakan sendiri untuk memanggil salah seorang hamba-Nya. Semoga Allah SWT
menerima amal ibadahnya. Amin. (Jakarta, 9 Desember 2005/hidayatullah.com).
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini adalah kerjasama ke-124 Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com