Oleh: Dr. Adian Husaini
Kristen fundamentalis
Membaca visi dan misi GIDI tampak bahwa GIDI termasuk kelompok Kristen fundamentalis. Visi GIDI adalah: “Umat GIDI Masuk Sorga” (The Community of GIDI Enter Heaven). Gereja GIDI percaya bahwa Tuhan berkehendak agar setiap orang yang percaya dan menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi akan masuk sorga…Oleh karena itu, gereja GIDI menekankan pentingnya pertobatan dan menerima Yesus Kristus secara pribadi sebab hanya dengan jalan demikian seseorang bisa memiliki jaminan untuk masuk sorga melalui Yesus Kristus sebagaimana yang difirmankan TUHAN. “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).
Sedangkan misi GIDI adalah penginjilan, pemuridan, pembaptisan, dan pengutusan. Penginjilan, maksudnya: “Memberitakan Injil Yesus Kristus kepada segala suku bangsa, menjangkau jiwa-jiwa yang terhilang dan yang berdosa diselamatkan. (Evangelism:Give the Gospel of Jesus Christ to every nation, reaching lost souls, and having the sinful saved)”. Sedangkan Pengutusan adalah: “Mengutus misionaris lokal, nasional dan internasional untuk memberitakan Injil Kristus serta mendirikan jemaat-jemaat lokal diantara segala suku bangsa.”
Kolaborasi antara kaum Kristen fundamentalis dengan Zionis Israel sudah lazim terjadi di AS. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok Kristen Zionis (Zionist Christian). Dalam bukunya, The High Priests of War (Washington DC: American Free Press, 2004), Michel Colin Piper memaparkan koalisi kelompok neo-konservatif di AS yang melibatkan berbagai tokoh politik, aktivis Yahudi, dan pemuka Kristen fundamentalis. Diantara nama-nama terkenal yang disebut adalah: Richard Perle, William Kristol, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Rupert Murdoch; juga ilmuwan dan kolomnis terkenal seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer, dan tokoh-tokoh Kristen fundamentalis seperti Jerry Falwell, Pat Robertson, dan Tim LaHaye. Menurut Philip Golub, seorang wartawan dan dosen di University of Paris VIII, kelompok ini telah berhasil menjadikan Presiden Bush sebagai kendaraan untuk menjalankan satu kebijakan berbasis pada ‘unilateralism’, ‘permanent mobilisation’, dan ‘preventive war’.
Pada Maret 2003, Piper diundang berceramah di Zayed Center for Coordination and Follow-Up, Abu Dhabi. Ceramahnya mendapat liputan luas di media-media Arab. Ketika itu, menjelang serangan AS atas Irak, Piper sudah mengingatkan, bahwa serangan atas Irak dilakukan atas pengaruh lobi Israel, dalam kerangka mewujudkan impian kaum Zionis untuk membentuk “Israel Raya” (Greater Israel/Eretz Yisrael). “President Bush seems to be driven by Christian fundamentalism and strong influence of the Jewish lobby,” kata Piper.
Kelompok Kristen fundamentalis menggunakan legitimasi ayat-ayat Bible dalam mendukung Israel. Kalangan Kristen ini membenarkan hak historis Israel atas Palestina dengan menggunakan dalil Bible, Kitab Kejadian 12:3: “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”
Karena itu, jangan heran, jika ayat Bible itu (Kejadian, 12:3), juga dipasang pada spanduk-spanduk GIDI di Tolikara. Sebagian mereka juga percaya, bahwa Yesus Kristus akan datang untuk kali kedua (the second coming of Christ), setelah bangsa Israel sempurna menguasai Tanah Yang Dijanjikan (The Promised Land). Jadi, koalisi antara Kristen fundamentalis dengan Yahudi dan negara Israel, merupakan koalisi teologis, meskipun sering dimanfaatkan untuk tujuan politis.
Cengkeraman atau pembajakan kelompok neo-konservatif terhadap politik AS sebenarnya meresahkan banyak umat manusia. Mereka sedang menjalankan satu skenario besar “Perang Global”, dengan menempatkan Islam sebagai musuh utama peradaban dunia. Dalam bukunya, Painting Islam as The New Enemy, (Kuala Lumpur: Crescent News: 2003), Abdulhay Y. Zalloum, juga memberikan gambaran cukup baik tentang peran dan skenario kelompok neo-kon dalam membentuk “Tata Dunia Baru” pasca Perang Dingin. “The New World Order”, simpulnya, adalah rekayasa hegemoni sebuah “American Empire”. Itu dibuktikan dengan berbagai dokumen yang disusun oleh tokoh-tokoh kelompok ini, seperti Rancangan Pertahanan yang disusun oleh Paul Wolfowitz berkaitan dengan Tata Dunia Baru: “Our first objective is to prevent the reemergence of new rival.”
Para intelektual neo-kon, seperti Samuel P. Huntington dan Bernard Lewis, kemudian merumuskan rancangan tata politik internasional berbasis pada teori “clash of civilizations”. Lewis, yang anaknya aktif dalam kelompok lobi Yahudi di AS (AIPAC) –adalah orang pertama yang mempopulerkan wacana clash of civilizations, melalui artikelnya berjudul “The Roots of Muslim Rage” (Akar-akar kemarahan Muslim) di jurnal Atlantic Monthly, September 1990. Artikel ini merupakan persiapan untuk menentukan siapa “musuh baru” Barat pasca Perang Dingin. Dari sinilah kemudian skenario untuk menunjuk “Islam” sebagai musuh atau rival utama Barat ditentukan. Sebelumnya, banyak buku tentang Islam dan Barat yang ditulis Lewis, seperti buku “The Arabs in History” (1950), “The Emergence of Modern Turkey” (1961), “Semites and Anti-Semites” (1986), “The Jews of Islam” (1984), “Islam and The West” (1993). Buku Lewis “What Went Wrong” (2003), dikritik oleh Michel Colin Piper sebagai buku yang secara keji menyerang sejarah Arab dan kaum Muslim. Bukunya “The Crisis of Islam” (2004) juga merupakan buku yang memberikan begitu banyak justifikasi terhadap kebijakan Barat dan Israel terhadap dunia dan kaum Muslim. Gagasan Lewis ini kemudian dipopulerkan oleh Huntington melalui bukunya “The Clash of Civilization and the Remaking of World Order” (1996).
Sejak awal 1990-an, kelompok neo-kon sebenarnya telah merancang satu wacana global dengan “ancaman Islam” sebagai agenda utama Barat. Wacana tentang bahaya fundamentalis Islam digulirkan dengan kencang melalui berbagai penerbitan, baik buku-buku kajian ilmiah maupun media massa. Tahun 1995, Sekjen NATO menyatakan, bahwa “political Islam was at least as dangerous as communism had been to the West.” Namun, sekanario “viktimisasi Islam” itu kurang berjalan lancar. Lalu, terjadilah sebuah peristiwa besar pada 11 September 2001, yang kemudian mengubah peta politik dunia, dan berhasil memunculkan “Perang Melawan Terorisme” sebagai isu utama dalam arena politik internasional. Wacana “Perang Melawan Terorisme” sebenarnya merupakan wacana yang tidak masuk akal. Sebab, kata Noam Chosmsky, dalam buku, “9-11”, (New York: Seven Stories Press, 2001), “We should not forget that the US itself is a leading terrorist state.” Dalam buku “Western State Terrorism” (Cambridge: Polity Press, 1991), dikompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy).
Melalui bukunya ini, Piper berhasil memperjelas apa dan siapa yang sebenarnya berada di balik isu-isu dan peristiwa penting dalam panggung politik internasional saat ini. Lebih menarik, ditampilkan juga dalam buku ini foto-foto para tokoh neo-konservatif. Dunia Islam perlu menyadari, bahwa sebuah skenario ‘Perang Global’ (Global War) dengan menjadikan kelompok Islam sebagai musuh utama, telah dijalankan oleh kelompok neo-kon, dengan menjadikan Presiden George W. Bush dan politik AS, sebagai kendaraan mereka. Politik “viktimisasi Islam” (menjadikan Islam sebagai kambing hitam) merupakan upaya pengalihan dari masalah sebenarnya yang dihadapi pemerintah AS. Politik ini tidak memberi kesempatan masyarakat AS untuk secara kritis menilai kegagalan atau kesuksesan pemerintahnya, sebab mereka senantiasa dijejali dengan berbagai informasi media-media jaringan neo-kon yang mengisukan akan datangnya serangan teroris Islam.
Dengan menyimak kiprah kelompok Kristen fundamentalis di AS dan kerjasamanya dengan Zionis Israel, seperti yang terjadi di AS itu, maka tidak terlalu susah untuk memahami, mengapa posisi GIDI di Papua terlihat begitu istimewa. Mereka adalah penguasa. Mengapa kelompok yang jelas-jelas berpikiran radikal, intoleran, bahkan melakukan penyerangan terhadap kaum Muslim saat melakukan shalat – bahkan terjadi di Markas Tentara Nasional Indonesia – tetap sulit tersentuh hukum???
Padahal, kaum fundamentalis atau radikal Kristen itu juga menimbulkan masalah dalam internal Kristen sendiri. Di Indonesia, ada beberapa buku yang sudah diterbitkan seputar Kristen fundamentalis. Misalnya, dalam buku terjemah karya Karl Keating berjudul: Katolik dan Fundamentalisme: Menjawab 13 Serangan Pokok terhadap Gereja Katolik (Jakarta: Fidei Press, 2009), ditulis:
“Dalam perjalanannya dari waktu ke waktu, Gereja Katolik tidak pernah sepi dari serangan-serangan kaum fundamentalis yang merasa keyakinan merekalah yang paling benar dan merekalah satu-satunya Gereja Kristus yang benar. Untuk mendukung serangan-serangan tersebut, mereka berusaha mendasarkan segala sesuatu pada Kitab Suci, pada teks-teks yang mereka terima secara harfiah… Mereka juga memutuskan anti-Katolik. Dalam upaya mereka menyerang Gereja Katolik, mereka mencurahkan banyak upaya untuk menyerang Gereja Katolik, mereka mencurahkan banyak upaya untuk mencaci-maki Gereja Katolik.” (hlm. vii-viii).
Dalam bukunya, Menghadapi Fundamentalisme Biblis (Jakarta: Penerbit Obor, 1996), Martin Harun, OFM menyebut kaum Kristen fundamentalis sebagai “saudara yang terpisah”:
“Pertama-tama perlu disadari bahwa jemaat-jemaat yang berpandangan fundamentalis termasuk saudara-saudara kita, kendati pun saudara yang terpisah. Mereka adalah sebagian dari Tubuh Kristus dan tidak bisa ditolak sebagai “gerakan biblis iblis”, kendati pun mereka kadang-kadang menolak kita sebagai pekerjaan setan.” (hlm. 57).*/ (BERSAMBUNG)
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com