Oleh: Dr. Adian Husaini
PADA 11-14 Februari 2016, saya mendapatkan kesempatan berkunjung ke Bangkok, memenuhi undangan masyarakat muslim Indonesia di sana. Ada beberapa acara yang saya berkesempatan mengisinya. Diantaranya mengisi Pengajian para ibu, khutbah Jumat, dan pengajian umum di KBRI Bangkok. Tema umumnya adalah tentang pendidikan.
Seingat saya, kunjungan ke Bangkok kali ini adalah yang ketiga. Tahun 1996, saat masih bertugas sebagai wartawan di Harian Republika, saya mendapatkan tugas meliput konferensi Asean-Europe Meeting (ASEM) di Bangkok, menyertai kunjungan Presiden Soeharto. Disamping membahas isu-isu kerjasama dalam bidang perekonomian, peristiwa yang masih saya ingat di arena ASEM adalah mencuatnya masalah Timor-Timur (Timtim).
Di arena ASEM, para wartawan asing terus memburu pihak Indonesia dan Portugal untuk mengkonfrontasi isu seputar kasus Timtim. Seingat saya, Menlu Portugal bersikap lebih agresif dalam mengangkat soal Timtim. Sejumlah orang Timtim juga melakukan aksi demonstrasi di Bangkok. Sebagai wartawan Indonesia, saya merasa ‘jengkel’ dengan posisi Indonesia yang menurut saya terkesan agak pasif.
Memang, pihak Indonesia ketika itu berada pada posisi yang terpojokkan di dunia internasional, dengan tuduhan aneksasi dan pelanggaran HAM. Posisi Indonesia semakin terpojok setelah Tokoh Katolik Timtim, Uskup Belo, mendapat Hadiah Nobel. Masih segar dalam ingatan saya, suatu saat, sejumlah wartawan Indonesia sempat mendesak agar Panglima TNI bersikap tegas terhadap Uskup Belo. Itu terkait dengan wawancara Uskup Belo di Majalah Der Spiegel.
Situs Republika Online (http://www.republika.co.id/9611/03/03BELO.01X.html, 3 Nopember 1996, menurunkan berita dengan judul “Kontroversi Wawancara Der Spiegel Uskup Belo Menolak Berkomentar.” Majalah terkemuka Jerman Der Spiegel dalam edisi 14 Oktober 1996 mengutip pernyataan Uskup Belo yang antara lain menyebut tentara Indonesia telah memperlakukan masyarakat Timor Timur seperti “anjing buduk” (raudige hunde). Ia juga menilai pemerintah Indonesia telah memperlakukan mereka seperti “budak belian” (sklaven).
Uskup Belo juga mengungkapkan apa yang disebutnya penurunan drastis jumlah gereja di Timor Timur akibat Islamisasi. Pernyataan ini berkebalikan dari data statistik yang dikeluarkan oleh Bappeda Tingkat I Propinsi Timtim sendiri: tempat peribadatan Katolik meningkat dramatis dari 86 pada 1974 menjadi 887 pada 1993.
Data wawancara itu bahkan berkebalikan pula dengan isi makalah yang dibuat oleh Uskup Belo sendiri ketika menghadiri “Konferensi Para Uskup se-Asia” di Manila, pada Januari 1995. Uskup Belo mencatat, prosentase umat Katolik Timor Timur meningkat dari sekitar 29 persen pada 1974 menjadi 92 persen pada 1994.
Demikianlah petikan berita tentang Timtim dan Uskup Belo dari situs Republika Online. Di tahun 1996 itu pula, saya sempat mengikuti kunjungan Presiden Soeharto ke Dili, Timtim, meresmikan Patung Kristus Raja, yang sangat megah. Pembuatan patung itu tentunya dimaksudkan untuk mengambil hati rakyat dan tokoh-tokoh Timtim agar tidak mendukung gagasan pemisahan dari Indonesia. Tetapi, kita sama-sama paham apa yang kemudian terjadi. Timtim lepas dan merdeka dari Indonesia. Tak hanya itu, posisi Indonesia pun terus terpojok.
Sebagai wartawan yang mengikuti perkembangan isu Timtim, dari hari ke hari, saya sangat sedih melihat nasib bangsa saya, Indonesia. Saya menilai ada kegagalan diplomasi internasional, meskipun sebagian pejabat Indonesia melihat Timtim memang sudah sepatutnya lepas dari Indonesia, karena dianggap sebagai “kerikil dalam sepatu”. Sepatutnya, para pemimpin Indonesia bisa membandingkan kasus Timtim dengan kasus Palestina. Betapa zalimnya negara-negara besar yang mendukung kemerdekaan Timtim, tetapi tidak mendukung kemerdekaan Palestina. Padahal, pendudukan Israel atas Palestina jelas tidak sah menurut hukum internasional. Jumlah pengungsi Palestina sekitar 4 juta orang. Sementara penduduk Timtim sekitar 700 ribu orang.
Juga, isu-isu keagamaan yang dimunculkan oleh Uskup Belo sangatlah berlebihan dan bahkan bertentangan dengan fakta. Isu-isu agama seperti itu menjadi komoditas politik internasional untuk memancing simpati dunia Barat dan kaum Kristen internasional. Apa pun akhirnya, kasus Timtim ini patut menjadi pelajaran berharga bagi kita sebagai bangsa Indonesia. Kita perlu belajar, agar pemimpin-pemimpin kita ke depan, memiliki kehormatan dan tidak mudah dipermainkan.
Pendidikan keluarga
Dalam acara dialog dan pengajian KBRI Bangkok, saya diminta membahas masalah pendidikan keluarga dan pendidikan secara umum. Pada kesempatan itu saya kembali menekankan, agar kita tidak terjebak dengan paham sekolahisme. Yakni, menyamakan antara sekolah dengan mencari ilmu. Perintah Rasulullah saw adalah bahwa kita wajib mencari ilmu (thalabul ilmi), bukan mencari sekolah (thalabul madrasah). Sekolah pada umumnya tetap diperlukan. Tetapi, ilmu yang wajib dicari itu mungkin ada di sekolah, dan mungkin pula tidak ada di sekolah, tetapi tetap wajib dicari atau diburu.
Karena itu, orang tua wajib memahami, ilmu-ilmu apa saja yang wajib dicari, baik untuk dirinya, maupun untuk anak-anaknya. Tak hanya itu. Orang tua juga wajib mengetahui apakah anak-anaknya mendapatkan ilmu yang benar atau ilmu yang salah di sekolahnya. Misalnya, orang tua wajib mengetahui, jika anak-anaknya diberikan pelajaran tentang asal-usul manusia yang katanya berasal dari hominid (sebangsa kera). Itu jelas tidak benar. Kita telah membahas secara ilmiah kekeliruan teori evolusi asal-usul manusia ini dalam berbagai Catatan sebelumnya.
Begitu juga, misalnya, anak-anak di sekolah masih diajarkan bahwa kebutuhan primer manusia adalah makan, minum, sandang dan papan. Tidak disebut sama sekali kebutuhan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Padahal, manusia terdiri dari jiwa dan raga. Kebutuhan makan dan minum adalah kebutuhan raga manusia. Jiwa manusia tidak memerlukan pecel, rawon, atau tomyam. Jiwa manusia memerlukan ibadah.
Karena itu, jiwa manusia pasti akan mengalami keresahan jika tidak beribadah dan berzikir kepada Tuhannya. Sebab, tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah (QS 51:56). Itulah kebutuhan jiwa. Jika manusia hanya memenuhi kebutuhan raganya dengan makan, minum, dan pemenuhan aneka syahwatnya, maka manusia akan turun derajatnya setingkat binatang (QS 47:12).
Orang tua perlu memahami dan mengkritisi materi ajar yang sangat materialistik dan sekuleristik semacam ini. Dimensi Ilahiyah dibuang dari pelajaran sejarah, fisika, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dimensi Ilahiah diberikan dalam pelajaran agama. Ini pola ajar sekuler yang bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional, untuk membentuk manusia beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia, sebagaimana diamanahkan dalam UU Sisdiknas (UU No 20/2003).
Masih ada contoh lagi dominasi cara pandang materialistik dan sekuleristik dalam sejumlah mata pelajaran di sekolah. Misalnya, konsep tentang negara maju dan negara berkembang. Disebutkan dalam materi ajar tingkat SMP, bahwa “negara maju” adalah negara yang rakyatnya memiliki kesejahteraan atau kualitas hidup yang tinggi. Sedangkan “negara berkembang” adalah negara yang rakyatnya memiliki tingkat kesejahteraan atau kualitas hidup taraf sedang atau dalam perkembangan.
Disebutkan lebih rinci, bahwa “Ciri-Ciri Negara Maju” adalah: (1) Tingkat pertumbuhan penduduk rendah, (2) Kualitas penduduk tinggi dan bersifat merata (pendidikan, kesehatan), (3) Teknologi berkembang baik dan memiliki kemajuan pesat, (4) Pengolahan sumber daya alam dilakukan secara maksimal, (5) Produktivitas Masyarakat Didominasi Barang-Barang Hasil Produksi dan Jasa, (6) Tercukupinya Penyediaan Fasilitas Umum, (7) Kesadaran Hukum, Kesetaraan Gender, dan Penghormatan terhadap HAM Dijunjung Tinggi, (8) Tingkat Pendapatan Penduduk Relatif Tinggi. (http://materiipssmpkelasix-a.blogspot.co.id/2012/03/negara-maju-dan-negara-berkembang.html).* (BERSAMBUNG)
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com