Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | LAMAN BBC pada 18 Agustus 2021 menurunkan tulisan berjudul “Who are the Taliban”. Tulisan ini menggambarkan awal tumbuhnya kelompok ini menjadi satu kekuatan agama, politik, dan militer yang kemudian berhasil memimpin Afghanistan tahun 1996-2001.
Tahun 2001, Taliban disingkirkan dari kekuasaan oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat. Selama itu banyak serangan dilancarkan pasukan AS dan koalisinya. Sejumlah tokoh Taliban pun gugur dalam serangan tersebut. Tapi, kini, setelah 20 tahun, Taliban kembali memimpin Afghanistan.
Pasukan AS dan sekutunya pun harus hengkang dari Afghanistan. Peristiwa itu mirip dengan kekalahan AS di Vietnam, dan hengkangnya pasukan AS dari Saigon, Vietnam Selatan. BBC menulis: “The Taliban’s return to rule brings an end to almost 20 years of a US-led coalition’s presence in the country.”
Patut diingat, bahwa penyingkiran Taliban tak lepas dari dimulainya kebijakan politik luar negeri AS yang baru dengan slogan “war against terrorism”. Menurut Samuel Huntington, setelah peristiwa 11 September 2001, maka pencarian musuh baru bagi AS sudah selesai. Musuh baru itu adalah “Islam militan”.
Dalam sub-bab berjudul “The Search for an Enemy” dari bukunya yang berjudul “Who Are We?” (2004), Samuel Huntington mencatat: “Some Americans came to see Islamic fundamentalist groups, or more broadly political Islam, as the enemy, epitomized in Iraq, Iran, Sudan, Libya, Afghanistan under Taliban, and to lesser degree other Muslim states, as well as in Islamic terrorist groups such as Hamas, Hezbollah, Islamic Jihad, and the al-Qaeda network… The cultural gap between Islam and America’s Christianity and Anglo-Protestanism reinforces Islam’s enemy qualifications. And on September 11, 2001, Osama bin Laden ended America’s search. The attacks on New York and Washington followed by the wars with Afghanistan and Iraq and more diffuse “war on terrorism” maka militant Islam America’s first enemy of the twenty-first century.” (hlm. 263). (terjemahan redaksi: “Beberapa orang Amerika datang untuk melihat kelompok fundamentalis Islam, atau Islam politik yang lebih luas, sebagai musuh, yang dicontohkan di Iraq, Iran, Sudan, Libya, Afghanistan di bawah Taliban, dan pada tingkat lebih rendah negara-negara Muslim lainnya, serta dalam kelompok teroris Islam seperti itu. seperti Hamas, Hizbullah, Jihad Islam, dan jaringan al-Qaeda… Kesenjangan budaya antara Islam dan Kristen Amerika dan Anglo-Protestanisme memperkuat kualifikasi musuh Islam. Dan pada 11 September 2001, Osama bin Laden mengakhiri pencarian Amerika. Serangan di New York dan Washington diikuti oleh perang dengan Afghanistan dan Irak dan “perang melawan terorisme” yang lebih menyebar maka Islam militan musuh pertama Amerika abad kedua puluh satu).
Menyusul peristiwa 11 September 2001, AS dan sekutunya kemudian melancarkan serangan besar-besaran ke Afghanistan. Serangan itu mendapat kecaman dari sejumlah ilmuwan, seperti Prof. Noam Chomsky. Koran Tempo (12 November 2001), yang terbit di Jakarta, menurunkan berita berjudul “Noam Chomsky: Lebih Jahat dari Serangan Teroris”.
Profesor linguistik di MIT itu menyimpukan: “Pengeboman Afghanistan adalah kejahatan yang lebih besar daripada teror 11 September.” Pendekatan Barat terhadap konflik Afghanistan adalah pendekatan yang didasari pandangan cupet dan sangat berbahaya. “AS adalah terdakwa negara teroris,” tegas Chomsky.
Dalam kasus Afghanistan, AS sudah tahu siapa Taliban sejak dulu. Seperti diungkap Mackenzie (1999), beberapa jam setelah Taliban menaklukkan Kabul, pada bulan September 1996, Glyn Davies, pejabat pembantu Juru Bicara Deplu AS, menyatakan bahwa AS tidak punya keberatan penerapan hukum Islam versi Taliban di wilayah-wilayah yang dikuasainya.
AS semula berharap, Taliban akan menjadi “buldog” untuk mengamankan proyek pipanisasi minyak dari negara-negara eks-Soviet yang melalui Afghan menuju Pakistan. Berulangkali pejabat-pejabat AS melakukan pertemuan dengan pejabat Taliban. Data kebutuhan minyak AS yang dikeluarkan Energy Information Administration, menunjukkan, pada tahun 2020, AS harus mengimpor minyak sekitar 18,8 juta barrel per hari.
John J. Maresca, Vice President International Relations UNOCAL Corporation, pada tanggal 12 Februari 1998, memaparkan alternatif rencana pipanisasi minyak sepanjang 440 mil melalui Afghanistan. Jalur pipanisasi inilah yang paling menguntungkan. Ia mengakui, UNOCAL telah melakukan kontak dengan semua faksi di Afghanistan untuk memuluskan rencana tersebut.
*****
Sebenarnya, kebijakan AS dalam soal perang melawan terorisme telah mendapat banyak kritikan dari ilmuwan hubungan internasional. Salah satunya adalah Prof. Johan Galtung. Dalam wawancara dengan Harian Kompas (17 November 2002), Prof. Johan Galtung menyatakan: “Dibandingkan dengan serangan yang pernah dilakukan teroris, terorisme negara yang dilakukan AS jauh lebih berbahaya karena menggabungkan fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar.”
Galtung, perumus teori dependensia dan strukturalisme, mengaku telah berkirim surat kepada Presiden Goerge W. Bush yang meminta agar AS mengubah politik luar negerinya, mengakui negara Palestina, meminta maaf karena sering mencampuri urusan negara lain, melanggar hukum internasional, dan tidak menghormati Islam.
“Saya tidak tahu apakah Bush membaca surat itu, tetapi yang dilakukan justru sebaliknya,” kata Galtung. Tentang peristiwa 11 September yang banyak dijadikan pijakan kebijakan luar negeri AS dewasa ini, Galtung memberi saran: “Tangkap pelakunya dan ubah kebijakan luar negeri AS!”
Tahun 1961, sejarawan Arnold Toynbee menulis tentang posisi dan sikap AS yang tidak adil, dan hanya mementingkan kekuatan-kekuatan besar, kaya, dan minoritas umat manusia, sebagaimana yang dulu dilakukan imperium Romawi. Tulis Toynbee: “America is today the leader of a world-wide anti-revolutionary movement in the defense of vested interests. She now stands for what Rome stood for. Rome consistently supported the rich against the poor in all foreign communities that fell under her sway; and, since the poor, so far, have always and everywhere been far more numerous than the rich, Rome’s policy made for inequality, for injustice, and for the least happiness of the greatest number.”
Peringatan Arnold Toynbee dan banyak ilmuwan lain di Barat terhadap kebijakan internasional AS itu sepertinya mulai terbukti. Dalam kasus Afghanistan, akhirnya AS harus menantangani kesepakatan dengan Taliban di Qatar. Padahal, 20 tahun yang lalu, AS seperti tidak menganggap Taliban sama sekali.
Kini, dengan mundurnya AS dan sekutunya dari Afghanistan dan naiknya kembali Taliban ke panggung kekuasaan di Afghanistan, patut kita bertanya: apakah AS sudah lelah dengan kebijakan politik globalnya? Jawabannya, kita tunggu perkembangan berikutnya di Afghanistan dan sejumlah wilayah lainnya.
Apapun, kita berharap, peristiwa terakhir di Afghanistan itu semoga memberikan kebaikan kepada rakyat Afghanistan dan kaum muslimin pada umumnya. Sebab, bagaimana pun, Taliban membawa simbol-simpol Islam.
Karena itu, kesuksesan Taliban dalam memimpin Afghanistan, akan berdampak pada citra Islam secara global. Wallahu A’am bish-shawab. (Depok, 19 Agustus 2021).*
Pengasuh PP Attaqwa College (ATCO), Depok, Jawa Barat