Selama 1200 tahun lebih, Yahudi hidup damai di wilayah Islam, tapi, para ulama tidak pernah berpikir, muslimah dihalalkan menikah dengan laki-laki Yahudi, inilah perlunya tafsir yang benar tentang Perkawinan Beda Agama
Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | DALAM Islam, muslimah secara mutlak diharamkan menikah dengan laki-laki non-muslim. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebab, dalilnya begitu jelas (sharih).
Tetapi, ada sebagian kalangan berani menghalakannya. Bahkan, ada yang menghalalkan perkawinan beda agama dengan menafsirkan al-Quran secara sembarangan.
Tentu, kita patut menyesalkannya. Haramnya pernikahan wanita muslimah dengan pria non-Muslim ditegaskan dalam QS: Mumtahanah:10:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٍ فَٱمْتَحِنُوهُنَّ ۖ ٱللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُوا۟ ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا۟ بِعِصَمِ ٱلْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوا۟ مَآ أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوا۟ مَآ أَنفَقُوا۟ ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ ٱللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kami telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS: Mumtahanah:10)
Tetapi, dengan pendekatan kontekstualisasi, makna ayat tersebut bisa berubah total maknanya. Seorang aktivis gender dan pluralisme agama menulis tentang ayat ini: “Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan dengan sendirinya.”
Argumentasi “kontekstual” semacam itu sangatlah lemah dan keliru. Dengan logika semacam itu, maka ketika damai, seorang Muslimah halal menikah dengan laki-laki non-muslim. Lalu, ketika terjadi perang, nikahnya jadi haram. Dan jika damai lagi, maka nikahnya halal lagi. Jadi, halal-haram ditentukan oleh konteks, bukan tergantung teks.
Argumentasi “kontekstual” semacam ini juga bisa menjadi pemikiran yang “liar”. Contoh: “Mengapa daging babi diharamkan?” Maka, harus dilihat konteksnya, bukan hanya teksnya. Secara sosio-ekonomis, daging babi haram, karena babi adalah binatang langka di Arab ketika ayat itu diturunkan. Padahal, babi saat ini adalah binatang yang sangat menguntungkan jika diternakkan. Karena itu, secara “kontekstual” sosio-ekonomis, ternak babi adalah halal saat ini, karena sangat maslahat bagi umat Islam.
Contoh lain, mengapa khamr diharamkan? Dijawab oleh penafsir yang keliru, bahwa secara kontekstual, Arab adalah daerah panas. Maka, wajar khamr diharamkan. Jika konteksnya berubah (udara dingin), khamr bisa saja dihalalkan.
Nah, inilah contoh tafsir-tafsir yang sembarangan. Sayangnya, hal itu dilakukan oleh orang yang dianggap “ahli agama”.
Untuk memahami kekeliruan tafsir-tafsir “kontekstual” seperti itu, cukup digunakan logika sederhana. Sepanjang sejarah Islam, banyak kondisi dimana kaum Muslim tidak berperang dengan kaum kafir.
Bahkan, selama 1200 tahun lebih, kaum Yahudi hidup damai di dalam wilayah Islam, seperti Andalusia dan Turki Utsmani. Tetapi, selama itu pula para ulama tidak pernah berpikir, bahwa QS 60:10 itu ada kaitannya dengan peperangan, sehingga muslimah dihalalkan menikah dengan laki-laki Yahudi, karena tidak ada peperangan antara Yahudi dengan Muslim.
Contoh lain yang sangat fatal dalam penafsiran model konteksual-historis oleh seorang dosen Fakultas Syariah dalam soal mahar. Dosen itu ditanya tentang kasus perkawinan seorang laki-laki dengan wanita Minang, yang menurut si penanya, maharnya justru diberikan oleh pihak wanita, bukan pihak laki-laki.
Maka dosen itu menjawab: “Wajarlah mahar menjadi kewajiban pihak perempuan karena posisinya di atas laki-laki dalam bersikap dan martabat keluarga. Maka saudara MH Tidak perlu risau, susah, dan gelisah. Justru saudara beruntung tidak dibebani Mahar. Terimalah, sebab ketentuan al-Quran (al-Nisa ayat 4) tidak bersifat mutlak karena semata-mata dipengaruhi budaya di mana Islam diturunkan.
Inilah contoh tafsir yang salah. Sebab, al-Quran itu bersifat lintas zaman dan lintas budaya. Al-Quran adalah mukjizat Nabi terakhir, yang berlaku sampai akhir zaman. Di mana saja, laki-laki tetap laki-laki dan perempuan tetap perempuan. Kewajiban mahar itu diberikan kepada laki-laki dan bukan kepada perempuan. Itu tidak bergantung kepada budaya setempat.
Kita berharap, para cendekiawan yang keliru dalam menafsirkan al-Quran, segera meralat pendapatnya. Sebab, al-Quran ini Kalamullah. Semoga kita diberikan pemahaman yang benar tentang al-Quran dan mampu menerapkannya dalam kehidupan. Aamiin. (Depok, 13 September 2022).*
Penulis pendiri Ponpes Attaqwa (Atqo)- Depok, Jawa Barat. Arsip lain tulisan Dr Adian Husaini bisa diklik di rubrik Catatan Akhir Pekan (CAP)