Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | SEORANG saksi mata peluncuran Pesawat N-250 menulis di akun media sosialnya: “GATOT KOCO N250 itu kini dimusiumkan. Ada sedikit gurat kecewa diwajahku..
Teringat 25 Tahun yang lalu. Kala itu.. Presiden Soeharto dan ibu Tien Soeharto berjaket dan bertopi putih dipagi yang cerah tepatnya tanggal 10 Agustus 1995. (Dua) 2 hari setelah tanggal kelahiranku. Begitu pula dengan kami di gedung Tower lantai 9 itu.
Tepatnya di ruangan Mission Operation Control Room. Tempatku bekerja sebagai salah satu staf data processing dan sofware engineering memakai jaket dan topi putih yang sama dengan Pak Habibie dan Pak Presiden. Ada tulisan ‘N-250 First Flight’ di jaket putih kami saat itu.
Pagi itu merupakan momen penting dunia kedirgantaraan Indonesia. Pesawat perdana buatan anak negeri N-250 Gatot Kaca akan terbang untuk pertama kalinya. Pak BJ Habibie yg kala itu masih menjadi Mentri Riset dan Teknologi tampak sibuk. Kami adalah tuan rumah gelar peristiwa bersejarah tanggal 10 Agustus 1995 tersebut. Lokasi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) memang berada di sebelah Bandara Husein Sastranegara.
Berhari hari kami tidak tidur mempersiapkan acara besar ini. Terlihat Pak Soeharto menyalami para pilot yang akan menerbangkan N-250… Suasana tegang terasa ketika mesin pesawat mulai dinyalakan. Gemuruh pesawat mulai terdengar ketika Pilot mulai menyalakan mesin. Pesawat itu melaju pelan, berputar arah kemudian mulai bergerak di landasan pacu. Kencang, semakin kencang dan akhirnya lepas landas membelah awan… N-250 kami akhirnya terbang di atas langit Bandung yang cerah.
Ketegangan kami berubah menjadi tepuk tangan… Sulit melukiskan suasana saat itu. Gembira, terharu, bangga, campur aduk jadi satu. Pesawat N-250 adalah hasil karya anak bangsa. Ini transfer teknologi yang berhasil dari Pak Habibie kepada kami. N-250 mengudara sekitar 55 menit. Berita ini disiarkan hampir ke seluruh dunia.
Sebelumnya sejumlah pengamat penerbangan memprediksi N-250 tidak mampu terbang dan bahkan akan jatuh saat lepas landas.
Tapi mereka keliru, pagi itu Si Gatot Koco terbang gagah membelah angkasa biru. “Ini bukan buatan saya. Ini hasil karya insinyur-insinyur Indonesia,” kata Pak Habibie membanggakan kemampuan anak buahnya.”
*****
Begitulah catatan penting seorang saksi mata dan juga bagian dari pelaku sejarah penerbangan perdana pesawat kebanggaan Indonesia tersebut. Sebagai wartawan yang bertugas di Istana Negara, ketika itu, saya pun mengikuti dengan cermat peristiwa penerbangan perdana pesawat buatan Indonesia tersebut. Perasaan bangga dan gembira pun saya rasakan. Putra-putri Indonesia mampu membuat pesawat terbang yang sangat canggih. Tanggal 10 Agustus kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi!
Tapi, kini, di bulan Agustus 2020, pesawat kebanggaan dan harapan Indonesia itu harus masuk museum. Pada hari Jumat, 21 Agustus 2020, Badan pesawat (fuselage) N250 Gatotkaca tiba di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala (Muspusdirla), Yogyakarta, pukul 05.10 WIB.
Kompas.com melaporkan: “Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsma TNI Fajar Adriyanto mengatakan, Muspusdirla menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi pesawat yang digagas Presiden Indonesia ketiga, BJ Habibie itu.”
Kata Fajar, “Sebagai pertanda bahwa bangsa Indonesia mampu membuat pesawat terbang dengan teknologi canggih, yakni fly by wire.” Memang, Pesawat N250 memiliki sejumlah keungulan dibandingkan dengan saingannya ATR 72 (Perancis), De Havilland-Q 400 (Kanada) dan MA60 (Cina). Pada 1989 BJ Habibie memperkenalkan N-250 di Paris Airshow Le Bourget Paris. Saat itu, dunia tercengang dengan pesawat N250 yang dirancang oleh putera-puteri Indonesia.
“Dengan publikasi tersebut, para pesaing N-250 begitu was-was. Ditambah dengan N250 menerapkan begitu banyak teknologi mutakhir serta sejumlah perusahaan penerbangan lokal telah memesan pesawat canggih tersebut,” ujar Fajar.
Tahun 1997, N250 dan CN235 Pamer Kekuatan di Paris Air Show di Le Bourget Paris. Menurut Fajar, N250 Gatotkaca diberangkatkan dari Bandung ke Paris sejauh 13.500 kilometer. Pesawat singgah di beberapa negara dan menempuh 30 jam penerbangan.
Tahun 1998, karena krisis moneter hebat, proyek N250 terpaksa dihentikan. “Tahun 1998 proyek N250 berhenti ketika Indonesia menandatangani kerja sama dengan IMF,” kata Irlan Budiman, Plt Sekretaris Perusahaan PT DI kepada Kompas.com, (12/9/2019).
Irlan mengatakan, penghentian proyek pengembangan N250 merupakan salah satu klausul kerja sama Indonesia dengan IMF. “Dihentikannya mungkin karena faktor politis. Pada saat itu dalam perjanjian IMF dengan Indonesia ada klausul untuk penghentian pendanaan proyek N250,” kata dia.
Sebenarnya, pesawat N250 PA1 dan PA2 telah menempuh 850 jam dari 1700 jam uji terbang yang direncanakan untuk sertifikasi tipe (type certificate). Tapi, akhirnya, proyek pembuatan N250 harus dihentikan, dan pesawat itu masuk museum, menjadi koleksi ke-60 museum Dirgantara di Yogyakarta. (https://nasional.kompas.com/read/2020/08/21/19240821/pesawat-n250-gatotkaca-dimuseumkan-begini-sejarah-perjalanannya?page=all)
*****
Jadi, kini, N250 telah masuk museum. Ia menjadi sejarah! Benarkah proyek N250 dihentikan karena faktor politis, seperti dikatakan Irlan Budiman?
Sekitar tahun 2003, saat sedang studi S-3 di ISTAC-IIUM, saya bertemu dengan seorang profesor Malaysia. Ia pakar pesawat terbang. Ia paham kondisi IPTN dan juga menampung beberapa mantan karyawan IPTN di perusahaan tempat ia bekerja. Menurut dia, Indonesia memang tidak dibiarkan memiliki industri pesawat terbang sendiri. Tapi ia tak menyebut, oleh siapa itu!
Tahun 1996, Samuel Huntington menerbitkan buku terkenalnya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Ada catatan kecil dalam buku itu: “If Malaysia and Indonesia continue their economic progress, they might provide an “Islamic model” for development to compete with the Western and Asian Models.”
Semoga kaum muslimin dan bangsa Indonesia menyadari bahwa mereka adalah potensi besar yang diperhatikan dunia! Karena itu, jangan saling bertengkar dan bergaduh, yang akhirnya justru melemahkan umat dan bangsa muslim terbesar ini! Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 22 Agustus 2020).*
Penulis pengasuh Pondok Pesantren At-Taqwa Depok