Oleh: Muhaimin Iqbal
SUDAH beberapa tahun ini saya amati di hampir setiap berita di seluruh channel televisi nasional kita yang paling banyak muncul adalah berita tentang kasus-kasus korupsi. Untuk beberapa hari memang kadang berganti dengan berita significant lainnya seperti kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100, tetapi setelah itu kembali ke ‘default’ berita – yaitu kasus korupsi. Coba kita ingat berita-berita yang muncul tahun 1970-an, 1980-an sampai awal 1990-an, pasti nuansa yang berbeda yang kita ingat – nuansa ‘pembangunan’-lah yang muncul di berita-berita pada beberapa dekade tersebut.
Bisa saja karena rezim Orde Baru waktu itu lebih mampu ‘mengendalikan’ berita sehingga hanya muncul yang baik-baik, sedangkan saat ini dengan kebebasan pers yang lebih terbuka – pers bebas memberitakan yang mana saja yang mereka mau. Tetapi bagaimana kalau yang layak berita memang hanya yang buruk-buruk seperti korupsi dan kasus kecelakaan pesawat tersebut di atas? Kapan terakhir kita melihat berita peresmian project ini dan itu? Kapan terakhir kita melihat project keberhasilan petani dalam swasembada pangan? Kapan terakhir kita melihat pencapaian di bidang peternakan, perikanan, perkebunan dlsb?
Dalam perjalanan pulang dari arab, para TKW asyik bercerita tentang perlakuan majikannya, kenakalan anak majikannya dlsb. karena memang itulah dunia mereka. Di pos ojek depan komplek rumah, para tukang ojek asyik ngobrolin tentang motor dia, tentang kontrakan rumahnya, tentang mahalnya harga sembako – karena memang itulah dunia mereka.
Pada jam makan siang, para pekerja rajin ngobrolin tentang atasan dia, tentang problem rutin pekerjaan dia, tentang kejenuhannya – semua juga karena itulah dunia mereka. Intinya adalah apa yang muncul secara dominan di permukaan pembicaraan-pembicaraan kita – itulah sesungguhnya yang terjadi pada diri kita, itulah dunia kita.
Maka bisa Anda bayangkan kondisi ini sekarang, jangan-jangan memang tidak ada yang fokus memikirkan pembangunan, tidak ada yang fokus dalam pembinaan petani, nelayan dlsb. – sehingga tidak ada yang layak diberitakan di sektor-sektor ini. Jangan-jangan fokus para pemimpin dan wakil kita memang sibuk ‘memadamkan api’ masalah korupsi yang bermunculan di sana-sini, bukan fokus bagaimana membawa kemakmuran untuk seluruh rakyat di negeri ini.
Ada wisdom dalam bahasa inggris yang kurang lebih berbunyi begini “Losers talk about problems, winners talk about idea, solutions and opportunities” (para pecundang berbicara tentang masalah, para pemenang berbicara tentang ide-ide, solusi dan peluang).
Pelajarannya adalah, karena terlalu disibukkan dengan berbagai masalah – sehingga tercermin dalam pemberitaan-pemberitaan (pembicaraan-pembicaraan) yang ada, maka negeri ini satu langkah lebih dekat menuju negeri yang gagal. Jadi kita harus berusaha sekuat tenaga mengubah tema pembicaraan yang kemudian menjadi berita.
Biarlah masalah-masalah hukum, musibah dlsb. ditangani oleh pihak-pihak yang kompeten untuk ini; sedangkan mayoritas kekuatan bangsa harus dikonsentrasikan untuk berbicara tentang ide-ide, solusi-solusi dan peluang-peluang. Ini bisa dilakukan di tingkat nasional maupun pada tingkat individu atau komunitas.
Bukan berarti mengabaikan masalah, tetapi masalah harus bisa diatasi secara proporsional agar tidak menyita waktu kita sehingga tidak tersedia lagi waktu untuk berbicara tentang ide, solusi dan peluang.
Anda bisa mulai melakukan exercise ini di lingkungan kerja Anda masing-masing. Berhentilah mengeluh dan mulailah fokus pada ide, solusi dan peluang – maka ketika ini yang menjadi budaya, insyaallah Anda akan segera menjadi pemenang – apapun bidang Anda.
Kita adalah apa yang kita bicarakan, maka budayakanlah bicara tentang hal-hal yang positif. Ketika kita terpaksa bicara tentang hal yang negatif atau masalah sekalipun, itu dalam konteks untuk mencari solusinya – sehingga yang negative-pun bisa menjadi positif karenanya. InsyaAllah.*
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar, kolumnis hidayatullah.com