Hidayatullah.com–Pernyataan itu dilontarkan Dr Muhammad Nuh dalam sarasehan pendidikan yang digelar Pengurus Wilayah Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) Jatim dalam rangka pelantikan perhimpunan KB PII Jatim di gedung Bank Jatim Jalan Basuki Rahmad, Surabaya, belum lama ini.
Mantan Rektor Institut Teknologi 10 November (ITS) memaparkan hasil penelitian bahwa ada koefisien korelasi 0,93 persen antara wajib belajar dengan pendapatan per kapita. Sementara antara wajib belajar dengan daya saing koefisien korelasi 0,96 dan wajib belajar dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 0,99 persen.
“Ini berarti, kalau kita ingin meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, ya harus meningkatkan pendidikan. Dan jawabannya tidak ada kata lain selain sekolah,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ini.
Jika dikaitkan dengan kondisi demografi (kependudukan) dimana mulai tahun 2010 hingga 2012 usia produktif lebih besar, menurut Nuh tantangan terbesar bangsa ini adalah meningkatkan pendidikan untuk mencapai kemakmuran bangsa beberapa tahun ke depan.
Sebagai pembanding dalam acara tersebut, Sholahudin Wahid memaparkan lebih banyak menyampaikan masalah kejujuran. Menurut Gus Solah yang juga Ketua dewan kehormatan Keluarga Besar PII, mengatakan kejujuran adalah kunci kesuksesan.
“Pendidikan kita sekarang ini sudah memasuki era ketidakjujuran dan keseriusan dalam penyelenggaraan pendidikan. Ada pengkikisan kejujuran dan moral di dalam dunia pendidikan. Dan ada pula penyelenggara pendidikan tidak serius dalam penggarapan anak didik alias asal jalan,” tambahnya.
Pendidikan belum serius
Gus Solah juga memaparkan kondisi pendidikan swasta yang belum mendapatkan perhatian serius pemerintah. Dari datanya, saat ini ada 90 persen SD milik pemerintah (negeri) namun MI milik pemerintah hanya 10 persen. Sementara SMP negeri 80 persen, tapi MTs negeri hanya 20 persen. Begitu juga dengan SMA negeri yang jumlahnya 70 persen dari SMA yang ada, namun MA negeri hanya 30 persen.
Sementara itu, Soetrisno Bachir, Ketua perhimpunan KB PII Pusat sebagai pembanding terakhir membenarkan adanya korelasi kuat antara pendidikan dan kesejahteraan secara makro. Namun secara mikro, hal itu harus diurai lagi karena kenyataannya mereka yang berpendidikan tinggi banyak yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena minimnya lapangan kerja. Karena itu, menurut Soetrisno solusi yang bisa diambil adalah dengan meningkatkan kewirausahaan.
“Kewirausahaan ini bisa dari keturunan seperti orang Minang, Bugis dan Tionghoa. Tapi juga bisa dilatih dari lingkungan dan wirausaha ini salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan,” tutur Soetrisno.
Jadi kesejahteraan amat tergantung dari tingkat pendidikan dan ketrampilan seseorang dalam bekerja.*