Oleh: Salim A. Fillah
ISLAM. Betapa kata ini sederhana lagi sempurna, utuh dan menyeluruh, indah serta menyejarah.
Adalah Imam Al Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah kisah dari Thariq ibn Syihab, bahwa telah datang seorang laki-laki dari kalangan Ahli Kitab Yahudi kepada ‘Umar ibn Al Khaththab. Pria itu lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ada sebuah ayat dalam kitab kalian dan kalian membacanya, sekiranya ayat itu turun kepada kami sungguh akan kami jadikan hari di waktu ayat itu turun sebagai hari raya tiap tahunnya”. Sayyidina ‘Umar bertanya kepadanya, “Ayat manakah yang engkau maksudkan?” Lelaki Ahli Kitab itu menjawab,
“..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan atas kalian nikmat-nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian..” (QS Al Maidah [5]: 3)
Maka, Sayyidina ‘Umar menimpali, “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui hari dan tempat ketika ayat itu turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yaitu ketika hari Jumat bertepatan dengan hari ‘Arafah.”
Lihatlah betapa cemburu seorang Ahli Kitab, pada sebuah penyebutan dan penegasan yang gamblang dari Rabb semesta alam tentang agama yang diridhaiNya. Islam. Jadi nama risalah ini tersurat secara resmi di dalam ayat yang suci, sementara sejauh ini sulit menemukan agama lain yang mendapati namanya termaktub di kitab-kitab mereka. Umumnya, nama sebuah agama berasal dari penisbatan masyhur yang dilakukan oleh manusia dari sosok kunci atau ajaran.
Demikian pula sebutan untuk pemeluk agama ini, diumumkan dari langit dengan penuh kebanggaan, bahwa Allah sendiri yang memberi julukan sejak dahulu. Maka Islam adalah risalah seluruh Nabi dan Rasul, dan Muslim adalah nama untuk para pengikut mereka di sepanjang zaman hingga kelak tiba masa pohon dan batu berbicara tentang musuh kebenaran yang bersembunyi di belakangnya.
“Dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untuk kalian di dalam agama. Ikutilah agama bapak moyang kalian Ibrahim. Allah telah menamakan kalian sebagai para Muslim sejak dahulu, dan begitu pula dalam Al Quran ini, agar Rasul itu menjadi saksi atas kalian dan agar kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah pelindung kalian; sungguh sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS. Al Hajj [41]: 78)
Ialah tali Allah yang terentang teguh menjadi pegangan ummat manusia sepanjang zaman. Maka untuk mewakili matarantai Islam dan Muslim itu, Allah memilih nama Ibrahim ‘Alaihis Salam kekasihNya. Inilah sosok yang ketika Allah perintahkan padanya, “Aslim.. Islamlah engkau!”, bergegas dia menyambut, “Aku berislam pada Rabb semesta alam.” Maka inilah agama yang mudah, luas, dan tegas. Inilah risalah yang sederhana, indah, dan menyejarah.
Bahwa pengertiannya sederhana; yakni sebersahaja Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab ketika ditanya oleh Malaikat Jibril yang menyamar, apa itu Islam, dalam hadits panjang dari Sayyidina ‘Umar yang dibawakan oleh Imam Muslim. Adalah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berrumit-rumit dengan asal kata dan istilah. Tetapi menjawab dengan definisi ‘ilmiah yang ‘amaliah, “Islam itu bahwasanya engkau bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika memampuinya.”
Berpunca jaminan Allah “Kusempurnakan agama kalian” hingga makna ‘amal yang bersahaja dari Rasulullah inilah, kata “Islam” itu telah cukup, utuh, lagi menyeluruh.
Maka memberi sandaran berupa sebuah kata ataupun frasa di belakang kata Islam rasanya tidak perlu, juga merepotkan. Bahkan kata segagah “kaaffah” dan frasa secantik “rahmatan lil ‘aalamiin” pun ketika digandengkan dengannya menjadi “Islam Kaaffah” serta “Islam Rahmatan lil ‘Aalamiin” telah bermasalah sejak pengambilan asalnya.
أَمْ تُرِيدُونَ أَن تَسْأَلُواْ رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَى مِن قَبْلُ وَمَن يَتَبَدَّلِ الْكُفْرَ بِالإِيمَانِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاء السَّبِيلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaaffah.” (QS Al Baqarah [2]: 108)
Dalam susunan ayat ini, kata “kaaffatan.. secara keseluruhannya” adalah kata keterangan untuk “udkhuluu.. masuklah kalian.” Jadi yang kaaffah adalah masuknya. Yakni masuklah secara kaaffah ke dalam Islam. Adapun kata “As Silm.. kedamaian” yang oleh Imam Ath Thabari setelah menyampaikan banyak riwayat tentang tafsirnya dari Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, As-Suddiy, Ibnu Zaid, dan Adh-Dhahhak disimpulkan sebagai “Islam”, di dalam ayat ini berdiri tunggal, tidak diberi sandaran apapun.
Sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Imam Al Baghawi bahwa ayat ini turun tentang sebagian Ahli Kitab yang ketika masuk Islam masih mengagungkan hari Sabtu dan bahkan meminta izin untuk tetap membaca Taurat dalam shalat dengan alasan bahwa ianya adalah Kalamullah; maka tuntutan ayat ini menunjukkan kesempurnaan dan kemenyeluruhan Islam yang menjadikan segala lain tak diperlukan sebab ia telah cukup lagi mencakup.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami utus engkau wahai Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS: Al Anbiya’ [21]: 107)
Pun di ayat ini, kita mendapati bahwa frasa “rahmatan lil ‘aalamiin” adalah keterangan untuk “arsalnaaka.. Kami utus engkau”. Dengan demikian maknanya, rahmat semesta alam itu adalah Rasulullah. Sehingga gabungan kata yang menjadi simpulannya adalah “Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam rahmat bagi semesta alam”, dan bukan “Islam Rahmatan lil ‘Alamin.”
Ini sebagaimana yang disampaikan Imam Ath Thabari dalam Jami’ul Bayan maupun Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkamil Quran, bahwa; “Rahmat ini dalam makna umum dan merata bagi semuanya. Karena lafazh al ‘aalamiin menunjukkan makna mutlak dan menyeluruh, maksudnya rahmat untuk alam manusia, yang mukmin dan yang kafir; untuk alam Malaikat; rahmat untuk alam jin, yang mukmin dan yang kafir; dan rahmat untuk alam hewan.”
“Adapun rahmat untuk yang beriman, maka Allah telah memberikan hidayah kepada mereka, dan menanamkan iman ke dalam hati mereka. Kemudian juga memasukkan mereka ke dalam surga dengan rahmat itu karena mereka telah mengamalkan ajaran yang dibawa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan rahmat untuk orang-orang kafir, yaitu bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak langsung mengadzab mereka di dunia ini seperti Dia telah membinasakan orang-orang kafir sebelum mereka yang telah mendustakan para Nabi dan Rasul dengan penenggelaman dan pembenaman, melainkan menundanya hingga hari akhirat.”
Jadi, jika kata segagah “kaaffah” dan frasa secantik “rahmatan lil ‘aalamiin” pun ketika digandengkan dengan Islam telah bermasalah sejak pengambilan asalnya; kita akan lebih kesulitan lagi memberi argumentasi pada penisbatan Islam terhadap kata lain yang tak diambil dari Al Quran semisal “Liberal”, “Progresif”, atau juga “Timur Tengah” dan “Nusantara.”
***
Islam. Betapa kata ini sederhana lagi sempurna, utuh dan menyeluruh, indah serta menyejarah. Adapun jika kita mentafakkuri tentang Islam di Nusantara, ada hutang besar yang sudah seharusnya kita bayar. Ialah syi’ar dakwah, untuk, oleh, dan dari Nusantara bagi seluruh ummat manusia.
Meski Islam telah hadir di negeri ini sejak abad pertama Hijriah, terlacak dari surat menyurat antara Maharaja Sri Indrawarman dari Kerajaan Sriwijaya dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dan ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, barangkali yang dapat kita catat sebagai masa dakwah paling intensif dan massif di jazirah ini adalah enam abad lalu. Untuk menyebutnya, dalam sejarah peradaban Islam kita dikenalkan dengan istilah Futuhat.
Futuhat inilah pembebasan yang dibawakan oleh Rasulullah dan para sahabat, sebagaimana Allah istilahkan bagi perjanjian Hudaibiyah; “Inna fatahna laka fathan mubiinaa.. Sesungguhnya Kami telah bukakan bagimu kemenangan yang nyata..” (QS Al Fath [48]: 1); kota Makkah “Fa ja’ala min duuni dzalika fathan qariibaa.. Maka Dia jadikan di sebalik itu kemenangan yang dekat..” (QS Al Fath [48]: 27); dan juga seluruh jazirah, “Idzaa jaa-a nashrullaahi wal fath, wa ra-aitannaasa yadkhuluuna fii diinillaahi afwaajaa.. Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia berbondong-bondong memasuki agama Allah.” (QS An Nashr [110]: 1-2)
Melihat ketiga peristiwa tersebut, sungguh indah bahwasanya Allah menunjukkan kepada kita metode-metode bagi Futuhat yang tidak tunggal, apalagi sebagaimana sering dituduhkan yakni melulu melalui peperangan. Tampak bahwa ia bisa berbentuk perundingan damai yang selepas itu membawa begitu banyak kebaikan, atau juga pengerahan kekuatan militer dengan pertumpahan darah yang amat minimal, dan pula perutusan-perutusan yang membawakan kabar gembira, peringatan, seruan, serta cahaya ini ke segala penjuru dunia.* (BERSAMBUNG)
Penulis buku “Lapis-Lapis Keberkahan”. Twitter @salimafillah