Hidayatullah.com– Jenderal Senior Min Aung Hlaing bertemu dengan Presiden China Xi Jinping untuk pertama kalinya sejak dia naik ke puncak kekuasaan lewat kudeta militer.
Min Aung Hlaing memimpin kudeta 1 Februari 2021 menggulingkan pemerintahan hasil pemilihan umum yang dimenangkan oleh partai pimpinan Aung San Suu Kyi. Sejak itu, militer yang dipimpinnya memerangi puluhan kelompok bersenjata dari berbagai etnis dan kelompok pemberontak – yang sebagian di antaranya memiliki hubungan erat dengan China.
Pertumpahan darah yang dipicu kudeta Min Aung Hlaing mengundang kecaman internasional dan dia diburu International Criminal Court (ICC) atas malapetaka kemanusiaan yang ditimbulkannya. Namun, pada saat yang sama dia memelihara hubungan mesra dengan China dan Rusia.
Min Aung Hlaing menemui Xi Jinping di Moskow pada hari Jumat (9/5/2025), di sela-sela perayaan Hari Kemenangan Rusia atas Nazi Jerman – di Eropa disebut Victory in Europe Day (VE Day) yang diperingati pada tanggal 8 Mei, yang juga merupakan peringatan berakhirnya Perang Dunia II dengan pengakuan kekalahan tentara Nazi Jerman. Moskow merayakannya pada tanggal 9 Mei karena ketika itu wilayah Rusia sudah berganti hari.
Min Aung Hlaing mengucapkan terima kasih atas bantuan kemanusiaan dari China menyusul gempa berkekuatan magnitudo 7,7 pada bulan Maret, lapor media junta The Global New Light of Myanmarseperti dilansir AFP Sabtu (10/5/2025).
Dia juga mengucapkan terima kasih kepada China “atas dukungannya terhadap sikap Myanmar di tingkat regional dan internasional.”
Kantor berita resmi China Xinhua melaporkan bahwa Xi menyatakan dukungan negaranya terhadap Myanmar dalam mengejar pembangunan yang “sesuai dengan kondisi nasionalnya, menjaga kedaulatan, kemerdekaan, integritas teritorial dan stabilitas nasional, serta terus memajukan agenda politik dalam negerinya.”
Xi mengatakan dia berharap Myanmar akan mengambil “tindakan konkret untuk menjamin keselamatan personel, institusi, dan proyek-proyek China di Myanmar, serta mengintensifkan upaya untuk memerangi kejahatan lintas batas.”
Lebih dari 6.600 orang telah terbunuh sejak kudeta, menurut Assistance Association for Political Prisoners, dan jutaan lainnya menjadi pengungsi.
Khawatir kekerasan yang terjadi di tetangganya dapat mengganggu perdamaian regional dan ambisi ekonominya, Beijing dikabarkan telah berupa menjembatani perundingan antara junta Myanmar dan kelompok-kelompok pemberontak utama.
China adalah sekutu utama dan pemasok senjata bagi junta, tetapi para analis mengatakan negara itu juga memelihara hubungan dengan kelompok etnis bersenjata di Myanmar yang menguasai wilayah dekat perbatasannya.
Beijing sejak dulu mengincar negara bagian Shan di utara Myanmar yang kaya sumber daya alam — yang sekarang berada di bawah kendali pemberontak — untuk investasi infrastruktur bernilai triliunan dolar di bawah Belt and Road Initiative.
Meskipun pertemuan Min Aung Hlaing dengan Xi pada hari Jumat adalah pertemuan pertamanya sebagai pimpinan junta, sang jenderal sebelumnya pernah bertemu dengan pemimpin China tersebut di ibu kota Myanmar, Naypyidaw, pada bulan Januari 2020 atau setahun sebelum kudeta.*