Hidayatullah.com | Assalamu’alaikum Warahmatullah wabarakatuh. Pengasuh rubrik yang kami hormati, sekian lama saya baru mengetahui bahwa ada yang namanya zakat profesi. Tetapi ada yang mengganjal di hati kala ingin menunaikannya.
Hal ini karena saya bekerja di luar negeri di sebuah perusahaan asing (milik non-Muslim). Tentu saja sebagai seorang profesional digaji karena keahlian yang saya miliki. Bagaimanakah semestinya saya menjalankan kewajiban zakat ini?
Terima kasih.
Wibisono | Jakarta
Waalaikumsalam Warahmatullah wabarakatuh.
Hal yang lebih penting dari kuantitas harta bagi seorang mukmin adalah aspek kehalalannya. Dan alhamdulillah hati Anda yang berenergi iman telah mendorong Anda untuk memperhatikan aspek primer ini.
Bekerja sebagai karyawan di perusahaan secara fikih termasuk dalam jenis akad ijarah (sewa). Sedangkan ijarah termasuk dalam ruang lingkup muamalah, di mana pada dasarnya hukum muamalah dengan kafir adalah boleh, seperti jual beli, pesan, utang piutang, dan sebagainya. Begitu pula menyewakan diri (bekerja) pada orang kafir. Dalam Shahih al Bukhari dicantumkan bahwa Khabbab r.a berkata:
كُنْتُ رَجُلًا قَيْنًا، فَعَمِلْتُ لِلْعَاصِ بْنِ وَائِلٍ، فَاجْتَمَعَ لِي عِنْدَهُ، فَأَتَيْتُهُ أَتَقَاضَاهُ، فَقَالَ: لاَ وَاللَّهِ لاَ أَقْضِيكَ حَتَّى تَكْفُرَ بِمُحَمَّدٍ، فَقُلْتُ: «أَمَا وَاللَّهِ حَتَّى تَمُوتَ ثُمَّ تُبْعَثَ فَلاَ»، قَالَ: وَإِنِّي لَمَيِّتٌ ثُمَّ مَبْعُوثٌ؟ قُلْتُ: «نَعَمْ»، قَالَ: فَإِنَّهُ سَيَكُونُ لِي ثَمَّ مَالٌ وَوَلَدٌ، فَأَقْضِيكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {أَفَرَأَيْتَ الَّذِي كَفَرَ بِآيَاتِنَا، وَقَالَ لَأُوتَيَنَّ مَالًا وَوَلَدًا} [مريم: 77]
“Khabbab berkata: “Dulu aku adalah seorang tukang besi dan emas, lalu aku bekerja pada Al ‘Ash bin Wa’il lalu upahku aku kumpulkan kepadanya kemudian aku menagih agar dia membayarnya. Dia berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan membayarnya kepadamu kecuali kamu mau mengingkari (kufur) Muhammad ﷺ.’ Aku katakan: ‘Adapun aku, demi Allah tidak akan kufur sampai kamu mati lalu kamu dibangkitkan.’ Dia berkata: ‘Biarkanlah aku sampai aku mati lalu dibangkitkan.’ Aku katakan: ‘Baik kalau begitu.’ Dia berkata: ‘Sungguh aku akan mendapatkan harta dan anak lalu aku akan bayar utang kepadamu.’ Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat QS. Maryam 77 (Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat kami dan ia mengatakan ‘pasti Aku akan diberi harta dan anak.’).”
Tetapi karena jenis-jenis pekerjaan tertentu mengandung potensi negatif terhadap si Muslim, maka ulama memberikan empat syarat. Dua syarat di antaranya ditegaskan al-Muhallab (Ibnu Hajar, Fath al-Bari: IV/452) yaitu:
Pertama, bidang kerja tersebut merupakan pekerjaan yang boleh dilakukan seorang Muslim, seperti membangun rumah, menjadi sopir dan pelayan toko dengan dagangan halal dan sebagainya. Jika pekerjaan tersebut semisal merawat babi, penjaga toko minuman keras, dan sebagainya, jelas tidak halal.
Kedua, tidak mempunyai dampak negatif kepada Islam maupun kaum Muslimin. Contohnya, bekerja di media yang memang ditujukan untuk menebar pemikiran yang salah dan berita yang mendiskreditkan umat Islam. Dan yang sejenis dengan ini adalah bekerja di perusahaan dengan produk halal, tetapi hasilnya digunakan untuk mendukung program-program yang menyerang Islam dan kaum Muslimin.
Ulama lain menambahkan dua syarat tambahan:
Ketiga, terbebas dari aspek kehinaan bagi Muslim di hadapan orang kafir (Ibnu Qudamah, al-Mughni: VI/39). Atas dasar ini ulama melarang seorang Muslim bekerja sebagai pembantu yang bertugas menghidangkan makanan, membukakan pintu mobil, menyiapkan sepatu, dan sebagainya.
Keempat, tidak berdampak menggerus aspek keagamaan pekerja. Misalnya, tidak ada kesempatan shalat wajib, harus membuka aurat, dan sebagainya.
Dengan demikian jika keempat syarat ini terpenuhi, maka tidak masalah mengenai kehalalan hasil dari profesi yang Anda dapatkan. Adakalanya memang terdapat kondisi darurat, di mana seseorang tidak mendapatkan pekerjaan yang memenuhi semua syarat di atas, sementara kebutuhan primer tidak dapat ditunda. Atas dasar itu, seorang Muslim diperkenankan mengambil pekerjaan tersebut, tetapi harus berupaya untuk lepas dari kondisi tersebut. Wallahu a’lam.* (Ustad Abdul Kholik, LC, MHI)