MASING-masing pasangan dalam rumah tangga tentu mendambakan tampak menarik. Menarik memang sesuatu yang relatif, atau berbeda-beda menurut pandangan setiap orang. Namun yang harus dipegang oleh setiap suami maupun istri adalah, kebutuhan jasmani adalah salah satu kebutuhan inti yang harus terpenuhi.
Perlu diingat bahwa ada perbedaan antara keperkasaan jasmani dan kekuatan hubungan badan suami istri, meskipun ada hubungan yang sangat kuat antara keduanya. Secara teori dapat dikatakan, kekuatan hubungan badan suami istri dapat terwujud dengan adanya kekuatan jasmani. Namun dalam beberapa kasus, seorang istri dapat merasakan kepuasan seksual dengan seorang suami yang kurang mempunyai keperkasaan jasmani.
Kendati pun demikian, yang harus dipegang oleh setiap suami ataupun istri adalah, “saham asmara” akan bertambah dengan adanya rasa saling tertarik satu sama lain.
Perhatikan Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu unsur penting bagi ketertarikan jasmani. Sebagian besar para suami merasa kurang tertarik dengan tubuh istri yang mempunyai berat badan tidak ideal (gemuk). Begitu pula sang istri.
Sebagaimana diketahui, kebugaran tubuh dan berat badan yang wajar sangat mempengaruhi kesehatan jasmani setiap individu. Oleh karena itu diharapkan kepada setiap suami maupun istri yang dikaruniai badan gemuk untuk selalu berusaha mengurangi berat badannya dan berupaya menjaga kebugaran tubuhnya. Hal itu selain dapat menjaga keromantisan rumah tangga, juga dapat membuat warna hidup lebih cerah dan bahagia.
Mempesona
Sebagaimana kita ketahui bersama, berat badan tidak satu-satunya unsur penting dalam mempererat hubungan cinta antara suami-istri. karena banyak hal lain seperti: pakaian, penataan rambut, tata rias dan kepribadian yang sehat juga merupakan faktor yang sangat penting dalam keharmonisan rumah tangga.
Berikut beberapa riwayat dari para ulama yang dapat kita jadikan pedoman bagi keharmonisan rumah tangga:
Ibnu Abbas berkata, “Aku senang berdandan demi istriku sebagaimana aku ingin dia juga suka berdandan untukku,” Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik.’ (al-Baqarah: 228).
Namun tentunya, dandanan seorang suami haruslah sesuai dengan usia dan posisinya. Beberapa ulama berpendapat, “Cara berdandan seorang lelaki tergantung kondisi masing-masing. Terkadang ada beberapa cara berdandan yang sesuai pada suatu waktu, namun tidak pantas di lain waktu. Ada dandanan khusus untuk para kaum muda, dan ada dandanan khusus untuk kaum tua. Juga dalam cara yang tepat memilih pakaian. Semua itu agar dapat membahagiakan istri dan membuatnya bangga dengan suaminya.”
Suatu ketika Rasulullah menetapkan persaudaraan antara Salman dan Abu Darda’. Ketika Salman berkunjung ke rumah Abu Darda’, dia melihat istri Abu Darda’ tidak berdandan semestinya. Lalu Salman bertanya, “Mengapa engkau demikian?” Istri Abu Darda’ menjawab, “Saudaramu itu (Abu Darda’) tidak menginginkan dunia.” (HR Bukhari)
‘Aisyah pernah berkata, “Dahulu, istri `Utsman Ibnu Mazh’un berias dan berdandan, namun sekarang tidak lagi.” Lalu aku bertanya kepadanya, “Apakah suamimu ada?” Istri `Utsman menjawab, “Ada atau tidak sama saja, karena dia tak menginginkan dunia maupun wanita.” (HR Ahmad)
Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Suatu ketika istri `Utsman Ibnu Mazh’un ikut berkumpul bersama istri-istri Nabi dengan penampilan acak-acakan (tidak berdandan)”. Para istri Nabi bertanya, “Mengapa kamu tidak berdandan sementara suamimu adalah orang terkaya di suku Quraisy?”
Istri Ibnu Mazh’un menjawab, “Meski dia orang terkaya, tapi apa artinya bagiku. Setiap siang dia puasa, malamnya beribadah.” Ketika Rasulullah datang, para istri Nabi menceritakan hal itu kepadanya. Kemudian Rasulullah bertemu dengan `Utsman Ibnu Mazh’un dan bertanya, “Apakah engkau mempunyai suri tauladan selain aku?”
Ibnu Mazh’un menjawab, “Tentu tidak, wahai Rasulullah”. Lalu Rasulullah saw menasihatinya, “Bagaimana engkau puasa tiap siang dan beribadah di malam hari, sedangkan keluarga dan tubuhmu itu mempunyai hak? Shalatlah lalu tidur, puasalah lalu buka.”
Setelah kejadian itu, istri Ibnu Mazh’un selalu tampil dengan penuh keceriaan layaknya pengantin baru. Para istri Nabi menjadi heran, “Aduhai, kenapa engkau berubah demikian?” Istri Ibnu Mazh’un menjawab, “Kami telah hidup selayaknya orang lain berbahagia.”
Anas berkata, “Ketika anak Abu Thalhah meninggal, istri Abu Thalhah berpesan kepada keluarganya, `Janganlah kalian beritahu Abu Thalhah. Biar aku saja yang akan bicara.”
Anas melanjutkan riwayatnya, “Ketika Abu Thalhah datang (dari perjalanan bepergian), istrinya menyambutnya dengan hidangan dan riasan tubuh yang begitu istimewa yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Setelah makan dan minum dengan puas, dia mengajak istri bercinta.” Ketika sang istri tahu bahwa Abu Thalhah telah kenyang, bahagia, dan puas, lalu dia membuka pembicaraan dengan berkias, “Wahai Abu Thalhah, jika saja ada suatu kaum yang meminjamkan pekarangannya untuk tempat tinggal kepada orang lain, lalu dia memintanya kembali, apakah si peminjam boleh menolak?”
Abu Thalhah menjawab, “Tentu tidak boleh, karena itu hak si pemilik untuk memintanya kembali.” Tiba-tiba istrinya menyampaikan berita duka kematian anaknya. Mendengar hal itu Abu Thalhah marah dan berkata, “Engkau telah membuatku berpikir ke mana-mana hanya karena engkau ingin memberitahu kematian anak kita?”
Lalu Abu Thalhah bergegas keluar dan berjumpa dengan Rasulullah dan memberitahu kabar kematian anaknya. Kemudian Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Semoga Allah memberkati apa yang telah kalian berdua lakukan malam itu.” Anas mengakhiri riwayatnya, “Setelah itu istri Abu Thalhah hamil.” (HR Muslim).*
Dari buku Membangun Kemesraan dalam Rumah karya Dr. Akram Ridha.