Para ulama berpendapat bahwasannya tidak wajib bagi seseorang menceraikan istri ketika kedua orang tua memerintahkan hal itu, bagaimana dalilnya?
Hidayatullah.com | DALAM syari`at berbakti kepada orang tua adalah perkara yang diperintahkan. Lantas, bagaimana jika orang tua memerintahkan anaknya untuk menceraikan istri? Apakah harus ditaati?
Dalam masalah ini terdapat beberapa Hadits, di antaranya adalah:
عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَتْ تَحْتِي امْرَأَةٌ أُحِبُّهَا، وَكَانَ عُمَرُ يَكْرَهُهَا، فَقَالَ عُمَرُ طَلِّقْهَا، فَأَبَيْتُ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «أَطِعْ أَبَاكَ وَطَلِّقْهَا» فَطَلَّقْتُهَا. (أخرجه الحاكم في المستدرك وصححه: 2798, 2/ 215)
Artinya: Dari Ibnu Umar –radhiyallahu `anhuma-, ia berkata,”Saat itu aku memiliki istri yang man aku mencintainya, dan saat itu Umar tidak menyukainya. Maka Umar berkata,’Ceraikan dia.’ Namun aku menolaknya. Maka kejadian itu pun disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, dan beliau pun bersabda,’Tataatilah ayahmu, ceraikan dia.’ Maka aku pun menceraikannya.’” (Riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak, dan ia menshahihkannya. Al Mustadrak: 2798, 2/215)
Meski demikian, para ulama baik salaf maupun khalaf memiliki penafsiran terhadap hadits ini. Dan mereka juga berpendapat dalam hal ini.
Ibnu Abbas dan Ibnu Mas`ud Tidak Menganjurkan untuk Menceraikan sang Istri
Kasus seperti di atas pernah juga terjadi di masa para sahabat. Dari Thalhah Al Asadi ia berkata, ”Suatu saat aku duduk bersama Ibnu Abbas, maka datanglah dua orang dari pedalaman, di mana kedua laki-laki itu mengerubutinya. Salah satu dari kedua lelaki itu pun berkata, ’Sesungguhnya suatu saat aku mencari ontaku, lantas aku singgah di sebuah kaum, lantas aku tertarik pada seorang wanita pada kaum itu. Aku pun menikahinya. Lantas kedua orang tuaku menolak wanita itu bersama mereka. Sedangkan seorang pemuda satunya bersumpah lantas berkata,’Ia menanggung pembebasan seribu budak, seribu hadiah, seribu ekor onta jika ia menceraikannya.’ Maka Ibnu Abbas pun berkata, ’Aku tidak menyuruhmu untuk menceraikan istrimu dan engkau jangan durhaka kepada kedua orang tuamu.’ Lelaki itu pun berkata,’Apa yang aku lakukan dengan wanita itu?’ Ibnu Abbas pun berkata,’Berbaktilah kepada kedua orang tuamu.’” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf: 19059, 4/173).
Dari Abu Abdurrahman ia berkata, ”Di suatu kampung hiduplah seorang pemuda yang tinggal di rumahnya beserta ibunya, sampai sang ibu menikahkannya dengan anak perempuan dari paman pemuda itu. Sampai akhirnya tumbuh kecintaan pemuda itu kepada istrinya tersebut. Lantas sang ibu berkata kepadanya,’Ceraikan ia.’ Sang anak pun menjawab,’Aku tidak bisa melakukannya, aku sangat menyayanginya dan tidak bisa menceraikannya.’ Sang ibu pun berkata, ‘Kalau demikian maka makananmu dan minumanmu bagiku haram, sampai engkau menceraikannya.’ Maka pemuda itu pun melakukan perjalanan untu menemui Abu Darda` yang tinggal di Syam, lantas ia menceritakan keadaannya, lantas Abu Darda` pun berkata,’Aku tidak menyuruhmu untuk menceraikan istrimu dan aku tidak memerintahkanmu untuk mendurhakai kedua orang tuamu.’” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf: 19059, 4/173).
Dalam dua atsar di atas, baik Ibnu Abbas dan Ibnu Mas`ud tidak menganjurkan kepada lelaki yang bertanya agar menceraikan istrinya di saat orang tua lelaki itu memerintahkannya untuk menceraikan istrinya itu.
Pendapat Ulama Madzhab
Ibnu Rif`ah berpendapat bahwasannya jika seorang laki-laki diperintahkan ayahnya untuk mentalak istri, maka hukumnya makruh untuk melaksanakan jika itu didasari atas sikap keras kepala. Juga dimakruhkan ketika kondisi istri baik-baik saja. Hal ini dikarenakan khabar, ’Tidak ada suatu yang halal yang paling dimurkai Allah dari talak.’”( dalam Asna Al Mathalib, 3/264).
Sedangkan dari Madzhab Hanbali, Ibnu Taimiyah menyampaikan, ”Perkataan Imam Ahmad mengenai wajibnya talak terhadap istri dikarenakan perintah ayah dengan syarat adanya keshalihan pada ayah.” (dalam Al Fatawa Al Kubra, 5/491).
As Safarini Al Hanbali juga menyampaikan, ”Dan bertanyalah seorang laki-laki kapada Imam Ahmad radhiyallahu `anhu,’Ayahku memerintahkanku untuk menceraikan istriku.’ Maka Imam Ahmad pun menjawab,’Jangan engkau menceraikannya.’ Laki-laki itu pun bertanya,’Bukanlah Umar memerintahkan putranya Abdullah untuk menceraikan istrinya?’ Imam Ahmad pun menjawab, ’Sampai keshalihan ayahmu seperti Umar.’” (dalam Ghidza` Al Albab, 1/447).
Mentalak Istri Bukan Bagian dari Berbakti kepada Orang Tua
Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa haram mentaati perintah kedua orang tua untuk mentalak istri jika sang suami telah memiliki anak darinya, ”Tidak dihalalkan baginya (suami) mentalak istri (dalam kondisi tersebut) dikarenakan perintah dari ibunya. Namun ia harus berbakti kepada ibunya itu. Sedangkan mentalak istri tidak termasuk berbakti kepadanya.” (dalam Al Fatawa Al Kubra, 3/331).
Al Buhuti dari Madzhab Hanbali menyampaikan, ”Tidak wajib bagi anak laki-laki mentaati kedua orang tua meskipun keduanya memiliki sifat adalah (melaksanakan kewajiban dalam syaria`at serta meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan dari dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil. Serta menjaga dari perkara-perkara yang menjauhkan dari muru`ah) dalam mentalak istrinya. Karena menceraikan istri tidak termasuk berbakti.” (dalam Daqa`iq Uli An Nuha, 3/74).
Walhasil, para ulama berpendapat bahwasannya tidak wajib seorang menceraikan istri ketika kedua orang tua memerintahkan hal itu, karena hal itu bukanlah bagian dari berbakti kepada orang tua. Meski demikian, hendaklah sang anak tetap harus berbakti kepada kedua orang tuanya. Wallahu `alam bish shawab.*