Para ulama berbeda pendapat mengenai mengqadha Ramadhan sekaligus puasa Syawal
Hidayatullah.com | SEBAGAIMANA diketahui bahwasannya bahwasannya melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan yang agung.
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ))مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ)) (أخرجه مسلم: 1164, 2/822)
Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu `anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ”Siapa yang melaksanakan puasa bulan Ramadhan, kemudian ia mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka hal itu seperti puasa satu tahun.” (Riwayat Muslim)
Imam An Nawawi menyatakan bahwasannya hadits di atas merupakan dalil yang terang bagi Madzhab Syafi`i, Ahmad serta Dawud dan siapa saja yang sependapat bahwasannya puasa enam hari di bulan Syawal perkara yang sunnah. (Syarh Shahih Muslim, 8/56).
Nah, bagaimana jika seseorang hendak berpuasa enam hari di bulan Syawal, namun di sisi lain ia masih memiliki hutang puasa Ramadhan, dan bermaksud mengqadha`nya sekaligus berniat untuk melaksanakan puasa Syawal?
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, yakni menggabungkan niat antara puasa wajib dengan puasa sunnah.
Madzhab Hanafi
Abu Bakr Al Kasani berkata, ”Kalau berniat dengan puasanya untuk mengqadha` Ramadhan sekaligus puasa sunnah, maka puasa itu untuk qadha` menurut Abu Yusuf sedangkan Muhammad menyatakan bahwa itu untuk puasa sunnah. (Badai` As Shanai`, 2/85).
Madzhab Maliki
Imam Malik memakruhkan melakukan puasa Syawal, karena kekhawatiran bahwa amalan itu dianggap wajib seperti Ramadhan. Namun para ulama madzhab Maliki menegaskan bahwasannya jika tidak ada kekhawatiran mengenai hal itu maka melakukannya tidaklah makruh. (Syarh Mukhtashar Khalil li Al Harasyi, 2/243).
Sedangkan menggabungkan antara puasa wajib dengan puasa Sunnah, Syeikh Muhammad Al Harasy berkata, ”Kalau berpuasa hari Arafah sekaligus berniat untuk mengqadha` dan melaksanakan puasa Arafah secara bersama, maka pendapat yang dhahir, bahwa keduanya dibolehkan. Hal itu diqiyaskan pada siapa yang berniat untuk mendi janabat sekaligus mandi Jumat maka hal itu diperbolehkan sebagaimana qiyas terhadap siapa yang melaskanakan shalat fardhu dengan niat melaksanakan tahiyyat masjid.” (Syarh Mukhtashar Khalil li Al Harasyi, 2/241).
Madzhab Syafi`i
Khatib Asy-Syarbini menyatakan, ”Kalau melaksanakan puasa di bulan Syawal untuk mengqadha` atau karena nadzar atau selain itu apakah memperoleh kesunnahan (puasa Syawal) atau tidak? Aku tidak mengetahuinya disebutkan, namun yang dhahir memperolehnya. Namun ia tidak memperoleh pahala yang disebut, lebih khusus lagi bagi siapa yang terlewat puasa Ramadhan dan ia menggantinya di bulan Syawal.” (Mughni Al Muhtaj, 2/184).
Hal yang sama disampaikan oleh Imam Syamsuddin Ar-Ramli yang merujuk fatwa ayah beliau Syeikh Syihabuddin Ar-Ramli. (Nihayah Al Muhtaj, 3/208).
Walhasil para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Bertaqlid kepada para ulama yang membolehkan tidaklah mengapa. Wallahu a`lam bish shawab.*/Thoriq, lc, MA, pengasuh rubric fikih Majalah Hidayatullah