Oleh: Rudi Agung
Sambungan artikel PERTAMA. Dalam artikel sebelumnya menjelaskan, Mandulnya hukum menjadikan rakyat sangat letih dengan suguhan dugaan kasus yang melibatkan Ahok.
***
Investigasi ICIJ, Fifi Lety Indra & Partner ada di Tortola British Virgin Islands. Negara tax haven, sangat seksi menjadi tujuan pelaku pengemplang pajak, pencucian uang, atau kejahatan finansial lainnya. Banyak nama terendus, dari bakal Cagub DKI Sandiago Uno, sampai ipar SBY, Hartono Edhi Wibowo dan Retno Cahyaningtyas.
Kembali ke KPK. Publik tak lupa banyak koruptor jumbo lolos dan pelakunya mabur. Naifnya, mereka aseng non Muslim. Sedangkan koruptor kelas teri dari pribumi dan Muslim, dikejar, dikuliti sampai habis. Tak perlu dicari niatnya.
Tapi membiarkan kasus jumbo Edy Tansil, Sjamsul Nursalim alias Liem Tek Siong Rp 65,4 triliun, Bob Hasan alias The Kian Seng Rp 17,5 trilyun, Usman Admadjaja Rp 35,6 triliun, Modern Group Rp 4,8 triliun, Ongko Rp 20,2 triliun, dan banyak lagi.
Lihat tulisan Hatta Taliwang: KPK dan Penegakkan Hukum Ala Rezim Penjajah! (TeropongSenayan, 2/4/2016). Seolah KPK fokus mengejar koruptor cupu dari latar agama dan orang tertentu saja. Bahkan, terhadap keluarga Cikeas yang tercatat di rekening offshore ICIJ tak juga ditelisik. Padahal data itu sudah tahunan. Apalagi dengan kasus-kasus yang melibatkan aseng.
Bukan rahasia Ahok dibekingi konglomerat taipan, termasuk yang megang proyek reklamasi 17 pulau. Diam-diam Ahok keluarkan izin reklamasi sebelum ada Perda dan amdal. Ini pelanggaran administrasi negara yang berdampak fatal dan jelas punya motif terselubung. ILC pun menguaknya. Cukup bukti bagi KPK mencokok Ahok.
Apalagi yang diberi izin Ahok itu lingkaran korporasi jumbo, yang tentu orientasinya profit. Ia berdalih mengacu Keppres 52/1995. Padahal di Pasal 72 Perpres 54/2008 Keppres itu sudah dicabut. Izin prinsip dari Foke tak diteruskan Jokowi. Tapi, bukan Ahok kalau tak menyalahkan. Media mengabadikan, Ahok sering lari dari masalah DKI dengan menyalahkan. Kasus reklamasi pun menyalahkan Foke dan Ali Sadikin.
Reklamasi teluk Jakarta atau Giant Sea Wall, yang disebut menelan dana Rp 500 triliun itu akan dikerjakan 12 perusahaan. Yakni, PT Muara Wisesa Samudera anak perusahaan Agung Podomoro Group, Salim Group Co, PT Agung Sedayu Group, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Intiland Development, PT Kapuk Naga Indah, PT Taman Harapan Indah, PT Jakarta Propertindo, PT Pelindo, PT Jaladri Eka Paksi, PT Manggala Krida Yudha, perusahaan asal China Fuhai Group. Ini perlu dihentikan!
Dampak reklamasi berpotensi terjadi bencana lingkungan besar. Terutama nasib nelayan dan bahaya laten banjir Jakarta. Tapi Ahok malah bangga memamerkan pembangunan gedung parkir Polda Metro Jaya senilai Rp 80 miliar dari kompensasi reklamasi Podomoro (Aktual, 2/3/2016). Dasar hukumnya apa ya?
Negara ini seolah menjelma menjadi republik korporasi Indonesia. Kinerja Ahok pun sangat bobrok dan rajin membuat kegaduhan, yang mengarah perpecahan. Jakarta makin hancur dipegang Ahok dibanding gubernur sebelumnya, baik data statistik atau lapangan. Tagline Jakarta Baru: ya baru hancur.
Jaadi, apakah KPK berani mencokok Ahok dan membuka kotak pandora taipan di mega proyek reklamasi? Beranikah KPK menelisik izin khusus kepemilikan pulau, pantai, hutan keluarga Ahok? KPK perlu belajar dari Royadin. Dengan integritasnya, berani menegakan hukum ke Sultan HB IX. Bukan lagi kelas Ahok.
Meski pangkat rendah tapi dengan integritas Royadin, Sultan malah angkat topi dan memberi apresiasi tinggi. Kala itu, Royadin tak perlu beralibi mencari niat jahat Sultan! Kini, rakyat bertanya: KPK, ada apa denganmu? Kenapa pula gedung polisi dibangun oleh Podomoro? Padahal Polri punya anggaran sendiri dan dana APBD DKI terbesar di Indonesia. Sekali lagi, dasar hukum apa aparat bisa menerima kompensasi reklamasi dari Podomoro?
Rakyat rindu aparat seperti: Royadin, Hoegeng, R Basa, M Jasin, Maksoem. Bukan aparat pencari niat jahat, yang hartanya bikin rakyat tercekat. Jika dugaan kasus Ahok masih lolos hukum, ini petaka bagi Indonesia. Titik kehancuran Garuda dililit Naga! Sungguh, betapa besar dosa kita pada para pahlawan dan leluhur bangsa. Ayo, KPK!*
Penulis adalah wartawan, Tim Tujuh Kaltara