Hidayatullah.com– Sekitar dua ratus orang Rohingya, termasuk anak-anak, terbunuh dalam serangan artileri dan drone yang sengaja menarget warga sipil di Maungdaw, negara bagian Rakhine, saat berusaha meninggalkan Myanmar pekan lalu.
Warga sipil sedang berusaha menyelamatkan diri dari kekerasan yang terjadi di Maungdaw, dengan cara menyeberangi Sungai Naf ke wilayah Bangladesh, ketika mereka diserang Senin pekan lalu. Rekaman video yang beredar di media sosial, yang tampaknya diambil setelah kejadian, menunjukkan mayat-mayat dan tas-tas berserakan di tanah, lansir The Guardian Senin (12/8/2024).
Nay San Lwin, salah seorang pendiri Free Rohingya Coalition, yang berbicara mewakili para penyintas, mengatakan para korban sedang melakukan perjalanan dari desa-desa seperti Maung Ni, Myoma Taung dan Myoma Kayin Dan untuk berusaha menyeberang ke negara tetangga, Bangladesh. Serangan drone dimulai sekitar pukul 5 petang pada hari yang sama, kata Nay San Lwin
“Mereka menceritakan kepada saya ada beberapa puluh, sedikitnya tiga sampai empat puluh, bom drone yang dijatuhkan di sana. Mereka mengatakan sedikitnya lebih 200 terbunuh dan sekitar 300 orang terluka. Tidak ada orang yang mengumpulkan mayat. Setiap orang lati menyelamatkan diri. Sebagian sudah sampai di Bangladesh,” papar Nay San Lwin.
Sejumlah penyintas yang berbicara kepada Reuters mengatakan mereka yakin lebih dari 200 orang tewas. Seorang penyintas yang berbicara kepada Associated Press mengatakan 150 orang terbunuh dan banyak lainnya terluka.
Rahim, seorang saksi mata serangan drone tersebut yang meminta supaya nama aslinya tidak diungkap, mengatakan kepada The Guardian bahwa drone beterbangan dari sebuah desa yang diduduki kelompok Arakan Army, dan sering menyerang warga sipil.
Keluarganya luput dari maut karena mereka sudah mengungsi ke desa tetangga sambil mempersiapkan perahu untuk menyeberang ke Bangladesh. Keluarga Rahim berhasil menyeberangi perbatasan pada hari Selasa pukul 4 pagi pekan lalu.
“Kami tidak bisa tinggal di kota ini dan di negara ini, karena kami juga akan dibunuh. Jadi kami berhasil [naik] perahu dan menyeberangi perbatasan pagi itu. Mayat berserakan di mana-mana di tempat itu,” katanya. “Tidak seorang pun bisa pergi ke sana untuk menolong orang-orang yang terluka.”
“Ketika kami melewati tempat itu, beberapa orang masih hidup, tetapi tidak ada bantuan. Saya masih mendengar suara, seseorang berkata kepada [kami]: ‘Saya belum mati, tolong saya’, seperti itu. Tapi tidak ada seorang pun menolong mereka karena semua orang sedang bergegas menyelamatkan nyawa mereka sendiri dan keluarga mereka sendiri.”
Rahim mengatakan salah seorang temannya menaiki perahu kecil untuk mencoba melarikan diri, tetapi perahu itu kelebihan muatan. Kelima anak temannya tewas ketika perahu itu tenggelam.
Arakan Army, salah satu kelompok bersenjata yang berusaha melawan junta militer Myanmar, beberapa bulan terakhir berhasil merebut kontrol wilayah yang cukup luas dari tangan militer di negara bagian Rakhine – tempat tinggal kebanyakan orang Rohingya.
Milisi Arakan Army dan militer Myanmar saling tuduh atas serangan tersebut. Para aktivis berkeyakinan bahwa Arakan Army sebagai pelakunya. Mereka mengatakan bahwa selama berbulan-bulan terakhir milisi itu kerap melancarkan serangan terhadap Rohingya, membunuhi mereka, membakar desa dan merekrut paksa pemuda Rohingya untuk bergabung bersama milisi itu.
Militer Myanmar juga kerap melakukan serangan terhadap warga sipil Rohingya, salah satu kelompok etnis yang paling tertindas di dunia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Arakan Army berusaha menuntaskan urusan mereka dengan militer Myanmar,” kata Nay San Lwin.
Seorang juru bicara Arakan Army mengatakan kepada Reuters, “Menurut penyelidikan kami, anggota-anggota keluarga teroris mencoba pergi ke Bangladesh dari Maungdaw dan junta militer menjatuhkan bom karena mereka pergi tanpa izin.” Teroris yang dimaksud juru bicara Arakan Army itu adalah warga Muslim yang telah bergabung dengan kelompok-kelompok Rohingya bersenjata yang memerangi Arakan Army.
Médecins Sans Frontières (MSF) mengatakan bahwa pada 10 Agustus stafnya di Cox’s Bazar, Bangladesh, merawat 50 pasien yang melarikan diri dari Myanmar, termasuk di antaranya 18 anak. Kebanyakan dari pasien itu mengalami luka akibat serpihan mortir dan luka tembak. Jumlah kedatangan pengungsi dari Myanmar itu mencapai puncaknya pada 6 Agustus, ketika staf MSF merawat 21 orang.
MSF mengatakan para pengungsi menceritakan apa yang mereka lihat dan alami dalam perjalanan.
“Beberapa orang melaporkan melihat orang-orang dibom saat mencoba mencari perahu untuk menyeberangi sungai ke Bangladesh dan melarikan diri dari kekerasan. Yang lain menggambarkan melihat ratusan mayat berserakan di tepi sungai.”
“Banyak pasien yang mengatakan bahwa mereka terpisah dari keluarganya saat dalam perjalanan mencari tempat yang lebih aman dan bahwa orang-orang yang mereka sayangi terbunuh dalam kekerasan. Banyak orang mengatakan mereka takut anggota keluarganya yang masih berada di Myanmar tidak akan selamat.”*