Bagi seorang muslim yang beriman, Ramadhan adalah momentum paling berharga yang sangat dinanti kedatangannya. Ramadhan selalu menjadi idola spiritual yang menggugahkan kerinduan ruang imani dan menyejukkan rasa haus dan dahaga hamba untuk beribadah dan mendekat (taqarrub) kepada sang Khalik secara sempurna.
Aroma kesucian Ramadhan begitu harum dan menyegarkan lamunan alam sadar orang-orang yang beriman, maka tidak heran doa di tengah keharuan dan gulana hati selalu terucap setiap masa dalam ingatan, “Allahumma bariklana fi rajaba wasya’ban wabalighna Ila Ramadhan”. Air mata pun sedetik menetes di tengah kegalauan jiwa di saat bertemu bulan ini.
Di belahan dunia, dari timur dan barat, selatan sampai utara, begitu tumpah ruah ruang rasa keimanan dalam suka cita tatkala Ramadhan menyapa.
Ramadhan bagi seorang mukmin adalah ladang yang begitu banyak menawarkan peluang ibadah yang luar biasa. Nilai pahala sunnah dan wajib berlipat ganda, siapa yang tak tergiur dengan ranumnya ibadah di bulan Ramadhan? Bahkan Allah memberikan ruang sugesti bahwa Ramadhan pintu surga terbuka lebar dan pintu neraka tertutup rapat dan setan pun dibelenggu.
Ramadhan sejatinya membawa berkah bagi kita semua sebagai orang yang beriman dengan sebenar-benar iman. Ramadhan menjadi momentum fundamental perubahan diri, bersuci dalam rengkuhan taubatan nasuha, sebagaimana kehendak Allah dalam firman-Nya: “Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS al-Furqân [25]: 71)
Sangkar Kapitalisme
Dalam beberapa dekade ini, nilai-nilai religius di masyarakat tampak menggembirakan di setiap lini kehidupan. Dan tentu hal ini adalah buah hal yang menggembirakan sebagai hasil dari peran ulama dan para du’at yang menyampaikan nilai-nilai fundamental secara kontinyu dan ikhlas kepada khalayak banyak. Maka tidak heran kemudian kesadaran ke-islaman di masyarakat sangat luar biasa terlihat nyata. Jilbab berkibar, aktifis remaja masjid, kajian keislaman serentak menggeliat di beberapa tempat dan nampak luar biasa.
Dan ketika Ramadhan tiba, geliat dan semangat keislaman semakin mencapai klimaksnya. Semua larut dalam kekhusu’an beribadah kepada Allah SWT. Kegiatan islami di mana-mana bergaung, pesantren kilat, tablig akbar Ramadhan, shalat tarawih, tadarus al-qur’an menjajakan aura ilmu yang tiada tara nikmatnya. Entitas ibadah hamba yang tiada hentinya selama satu bulan penuh di bulan yang penuh berkah.
Namun mari sejenak kita jalan-jalan ke dunia lain di bulan Ramadhan nan mulia ini. Sekejap kita teropong dengan kacamata tauhid imani kita tentang sebuah fenomena yang sebenarnya sangat berlawanan dengah nilai-nilai keislaman kita. Entah itu budaya konsumtif dengan balas dendam syahwat perut akibat seharian puasa, budaya mandi Balimau yang sesungguhnya hanya sia-sia tanpa makna. Dan banyak sebagian di antara kita menghabiskan waktu Ramadhan dengan asyik masyuk nongkrong di depan televisi, dalam aneka kelakuan “kampung Ramadhan” versi para selebritis.
Dan kita hanya termangu terhipnotis kelakuan para selebritis kapitalis dan kita secara tidak sadar menjadi bagian maya dari kelakuan mereka.
Benar memang, Ramadhan bulan berkah (baca: keuntungan) bagi siapa saja. Bahkan termasuk TV dan para selebritis. Program-program TV mendadak “santri” yang selama Ramadhan, dipenuhi artis “berjilbab”.
Hanya patut disayangkan, bahwa perubahan tersebut tidak membawa perubahan yang fundamental, yakni berislam secara kaffah dan berlepas diri dari sistem tambal sulam ala kufur jahiliyah, sehingga wajar ketika Ramadhan berlalu maka selesailah semuanya dan kembali seperti sedia kala.
Selebriti “berjilbab”, sinetron, film, acara televisi selama bulan Ramadhan, bahkan gosip infotainment yang konon katanya dibuat “islami”, tidak lain hanya bungkusan kapitalisme demi mendulang uang.
Padahal, sebelum Ramadhan, para selebritis jarang ada yang berubah secara fundamental keislam-annya. Drama “kemunafikan” yang dipertontonkan ini akan menjelajahi hati. Maka, jika tidak berhati-hati, maka Ramadhan kita menjadi tanpa makna, bahkan jauh dari kemenangan mencapai derajat muttaqien yang kita harapkan.
Jangan sekedar waktu berlalu
Agar momentum Ramadhan kali ini bisa berjalan semaksimal mungkin tanpa berlalu sia-sia, marilah kita azzam-kan (tekadkan) karena belum tentu kita bertemu dengan bulan Ramadhan tahun depan, atau bahkan Ramadhan kali ini belum tentu bisa kita nikmati sepenuhnya.
Seharusnya i’dad (persiapan) dalam menyambut Ramadhan sangat mutlak diperlukan jauh-jauh hari agar buah Ramadhan, yakni derajat ketakwaan dapat kita raih sempurna. Minimal kita memiliki dua persiapan ketika menghadapi bulan Ramadhan ini, yakni persiapan ruh dan jasad (i’dad ruhiyah wa al-jasadiyah) dan persiapan pemikiran/ilmu (i’dad al-fikriyah).
Persiapan yang maksimal, akan mampu menjadi hamba-hamba Allah yang meraih derajat takwa sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sehingga Ramadhan tidak hanya sekedar waktu berlalu begitu saja
Semoga kita bisa meraih Ramadhan kali ini dengan kemenangan. Dan bukan menjadi korban selebritis “di Kampung Ramadhan” media dengan hingar bingarnya, tanpa makna, kecuali hanya mendapatkan haus dan dahaga saja. Naudzubillah
Penulis pemerhati sosial dan pegawai swasta