Oleh: Abdullah al-Mustofa
Hidayatullah.com | RAMADHAN adalah madrasah yang tepat untuk memperhatikan ketaqwaan diri. Berkaitan dengan ketaqwaan diri ada dua paket amalan yang mesti menjadi perhatian selama menjalani tarbiyah di madrasah ini.
Paket amalan pertama merupakan aspek keshalihan individual. Paket amalan ini tergolong jihad di bulan Ramadhan. Ada dua jihad bagi kaum beriman di bulan suci ini. Jihad pertama diamalkan di siang hari, dan jihad kedua diamalkan di malam hari. Dua jihad ini adalah berpuasa dan qiyamul lail.
“Ketahuilah bahwasanya seorang Mukmin di bulan Ramadhan, terkumpul padanya dua jihad pada dirinya. Jihad di siang hari dengan berpuasa. Jihad di malam hari dengan Qiyamul lail. Maka barangsiapa yang mengumpulkan dua jihad ini, dan memenuhi hak-haknya. maka Allah akan mencukupkan pahala baginya tanpa batas.” (Lathaiful Ma’arif, I/171).
Adapun paket amalan kedua merupakan aspek keshalihan sosial. Satu di antara amalan yang termasuk paket amalan ini – dan yang menjadi fokus dalam tulisan ini – adalah bersedekah.
Pertama, berpuasa di siang hari
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Ayat di atas secara ekplisit menyebutkan bahwa tujuan berpuasa di bulan Ramadhan adalah untuk menjadi pribadi yang bertaqwa.
Kedua, qiyamul lail.
Dua di antara aktivitas qiyamul lail adalah mendirikan sholat malam dan memohon ampun.
كَانُوا قَلِيلا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 17)
Makna firman Allah Ta’ala yang berarti “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.” menurut Al-Hasan Al-Basri sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya adalah mereka (yakni orang-orang yang bertaqwa ketika hidup di dunia mempunyai kebiasaan) mendirikan sholat malam hari dengan keteguhan hati, karenanya mereka sedikit tidur di malam hari. Mereka melaksanakannya dengan penuh semangat hingga masuk waktu Sahur, sehingga mereka memohon ampun di waktu Sahur. Waktu Sahur adalah penghujung malam sebelum fajar shodiq/Subuh.
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 18)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini menjelaskan, ada sebagian ulama berpendapat bahwa mereka (yakni orang-orang yang bertaqwa ketika hidup di dunia mempunyai kebiasaan) mendahulukan shalat sunat di malam hari, sedangkan istigfarnya mereka akhirkan sampai waktu Sahur, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini.
الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
“(yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu Sahur.” (QS. Ali Imron [3]: 17)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan keutamaan beristigfar di waktu Sahur.
Ketiga, bersedekah
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 19)
Ketika menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir menyebutkan bahwa setelah Allah Ta’ala menyifati mereka (yakni orang-orang yang bertaqwa ketika hidup di dunia) sebagai orang-orang yang rajin mengerjakan salat malam hari, lalu menyebutkan sifat terpuji mereka lainnya, yaitu bahwa mereka selalu membayar zakat dan bersedekah serta bersilaturahmi.
Hal ini ini dipertegas oleh ayat ke-17 surat Ali Imron. Ketika menafsirkan terma “al-munfiqiina” dalam ayat ini Ibnu Katsir mengatakan, yaitu menafkahkan sebagian dari harta mereka di jalan-jalan ketaatan yang diperintahkan kepada mereka, silaturahmi, amal taqarrub, memberikan santunan, dan menolong orang-orang yang membutuhkannya.
Semoga setelah selesai menempuh tarbiyah di madrasah ini kita berhasil menjadi lulusan yang berpredikat taqwa, dan mampu mempertahankannya sepanjang tahun. Dan sebagai tanda bahwa kita telah dan tetap berpredikat taqwa adalah kita mudah, senang dan ringan melakukan berbagai amal keshalihan, baik dalam aspek individual maupun aspek sosial, kapan pun dan di mana pun. Wallahu a’lam bish-showab.*
Penulis adalah Ketua Biro Pendidikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kabupaten Kediri