DEFENISI pendidikan yang unik, belum pernah kita temukan dalam dunia pendidikan pada umumnya adalah definisi yang dirumuskan oleh salah seorang tokoh dunia Islam Syeikh Muhammad Qutub dalam salah karya spektakulernya “Manhajut Tarbiyah Al-Islamiyyah” Nadhariyyah wa Tathbiqan I,II. Beliau menyebut “fannu tasykilil insana ‘aqliyyan, syu’uriyyan, ruhiyyan, wa jismiyyan ila haddi kamali syakhshiyyatih” (seni memformat manusia baik dari sisi intelektualitas, perasaan, spiritual, pisiknya, menuju batas kematangan kepribadiannya secara sinergis).
Menurutnya, kegiatan pendidikan tidak sekedar transfer ilmu. Setidaknya ada tiga komponen fundamental yang menentukan keberhasilan sebuah pendidikan. Yaitu input, proses dan out put.
Jika salah satu unsur dari ketiganya kurang ideal, maka mustahil melahirkan out put yang diharapkan pula.
Puasa Ramadhan memadukan ketiga dimensi tersebut secara sinergis.
Pertama: Input (Sumber Daya Mukmin)
Amantu billah (aku telah beriman kepada Allah SWT). Artinya, sekarang saya telah mengenal siapa Allah SWT, pengenalan (ma’rifat) yang disertai oleh keyakinan. Inilah hakikat keimanan.
Wa aslamtu ilaihi (saya telah berserah diri kepada-Nya secara lahir dan batin). Menyerahkan diri dengan kebulatan hati. Segala perintah dan hukumya aku taati, suruhan-Nya aku kerjakan, larangan-Nya aku tinggalkan, dengan segenap keridhaan. Inilah hakikat keislaman.
Lihatlah doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW ketika menuju ke tempat pembaringan. Yang mengambarkan tentang kepasrahan total.
ِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَأْ وُضُوءَكَ للصَلاةِ، ثُمَّ اضْطَّجِعْ على شِقِّكَ الأَيْمَنِ، ثُمَّ قُلْ: اللهُمَّ إِنِّي اَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ، وَوَجَهْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَ فَوَضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَ أَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَ رَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَ لاَ مَنْجَا منك إَلاّ إِلَيْكََ ، أَمَنْتُ بِكِتَابٍكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ
“Ya Allah sesungguhnya aku menyerahkan jiwaku hanya kepadaMu, kuhadapkan wajahku kepadaMu, kuserahkan segala urusanku hanya kepadamu, kusandarkan punggungku kepadaMu semata, dengan harap dan cemas kepadaMu, aku beriman kepada kitab yang Engkau turunkan dan kepada nabi yang Engkau utus.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Ibnul Qayyim Al Jauziyyah mengatakan: Doa-doa tersebut kita baca menjelang kematian (tidur). Di dalamnya mengandung tiga unsur rukun iman. Iman kepada Allah SWT, iman kepada kitab-kitab-Nya dan iman kepada Rasul-rasul-Nya.
Secara etimologis (kebahasaan) Iman adalah keyakinan yang terhunjam di dalam hati (mu’taqodat). Yang disimpulkan dalam rukun Iman. Sedangkan Islam adalah menyerahkan diri secara lahir dan batin untuk diatur oleh Allah SWT dengan sam’an wa tho’atan (kami dengar dan kami taat), (al-Jawarih – anggota tubuh- ), yang diringkas dalam rukun Islam.
Iman dan Islam, percaya dan berserah diri, adalah dua kalimat yang tidak bisa dipisah-pisahkan untuk selama-lamanya. Percaya saja belum cukup, butuh berserah diri. Dan menyerahkan diri tidak akan sempurna tanpa didasari oleh keyakinan.
Bukti kita percaya, tentulah kita turuti perintah-Nya. Kesimpulan dari keduanya, kepercayaan dan ketundukan terhadap syariat, itulah agama yang benar (dinul haq). Mengakui secara lisan sebagai seorang mukmin, tetapi tidak mengikuti perintah-Nya belumlah dikatakan mukmin.
Sunnah adalah perjalanan, jalan raya lurus yang akan ditempuh, yang telah didahului oleh Nabi SAW dan kita ikuti jejaknya dari belakang. Atau tradisi Rasulullah SAW. Jika kita renungkan dengan logika yang sehat, ada orang yang mengaku percaya, tetapi enggan melakukan perintah, tidak menjalankan isi al-Quran, atau tidak mengikuti sunnah (ittiba’ur rasul), bukanlah disebut mukmin dan muslim. Kepercayaan seharusnya mengantarkan diri untuk tidak keberatan melakukan perintah dan menjauhi larangan.
Mengakui diri sebagai seorang Islam, padahal tidak menegakkan shalat lima waktu. Enggan mengeluarkan zakat. Seakan-akan harta itu bukan karunia dari-Nya, tetapi hasil kerja kerasnya dalam menerapkan konsep ekonomi. Tidak melakukan puasa Ramadhan. Tidak pergi haji, padahal memiliki kesanggupan. Benarkah pengakuannya ?. lain di mulut, lain pula di dalam hati. Ini namanya munafik. Fenomena tersebut indikator bahwa pengakuannya belum bulat. Iman dan Islam belum merasuk di dalam relung kalbu. Tanyakan pada hati nurani, apa beratnya menjalankan perintah.
Iman tak sekedar pengakuan di mulut. Tak cukup seseorang mengatakan, “asal hatiku sudah percaya dan budi pekertiku dengan sesama sudah baik, ibadah tidak diperlukan !” itu adalah kesalahan besar. Karena iman dan Islam belum muncul di relung hatinya. Islam tak semata-mata kepercayaan dan pengakuan di mulut, ia harus diyakini dan diamalkan.
Kedua: Proses (Nilai Edukatif Huruf Hijaiyah Pada “Ramadhan”)
Dari segi etimologis makna ‘Ramadhan’ adalah membakar. Karena pada umumnya tibanya bulan ke sembilan bulan Qamariyah ini pada musim panas. Makna tersebut mengandung pelajaran berharga, lewat puasa Ramadhan menjadi hangus terbakar dosa-dosa dan kelemahan serta sisi gelap diri kita. Sedangkan sisi terang diri kita mengemuka.
Disamping itu puasa adalah junnah (perisai). Yang bisa memagari pelakunya dari tekanan internal diri.
Dengan perisai tersebut, semoga Allah SWT melindungi kita dari berbagai madharat, memagari kita dari maksiat, dan menjaga kita dari gangguan yang bersumber dari mukmin yang dengki, tipu daya orang kafir, munafiq yang membenci, hawa nafsu yang menggelincirkan dan syetan yang menyesatkan.
Menurut Drs Mudrik Qari’ dalam karya tulisnya, “Menyingkap Rahasia Ramadhan”. Huruf Hijaiyah yang tergabung dalam kalimat Ramadhan, sesungguhnya menggambarkan intitusi madrasatul hayah (sekolah kehidupan) yang dipandu dan dimonitor langsung oleh Allah SWT.
Pertama, huruf “RA” kependekan dari rahmat. Sesungguhnya jati diri yang menonjol pada diri Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ia memiliki 100 rahmat. 99 1/100 disimpan di Lauh Mahfudh. Dan satu persen diturunkan ke dunia. Dengannya langit dan bumu diciptakan dan berjalan secara harmonis. Ibu menyayangi anaknya. Makhluk bisa menjalani kehidupan. Dan dengannya pula para binatang tidak berebutan dalam satu lokasi air minum.
Semua surat dalam al Quran dimulai dengan “bismillahirrahmanirrahim”, kecuali surat at Taubah. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat-Nya sangat agung, dan selalu mengalir kepada semua makhluk-Nya sampai hari kiamat. Dan 99 persen akan diberikan kepada hamba-Nya yang masuk surga.
Pangkal utama tercerabutnya kasih sayang pada diri manusia adalah “Takatsur” (menumpuk-numpuk harta, mengejar jabatan, memperbanyak massa) tidak untuk menegakkan dinul Islam. Tetapi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Jika penyakit ini dirawat akan menimbulkan penyakit turunan, serakah, sombong, dengki dan dendam. Keempat sifat itu yang menjadi pemicu pelanggaran manusia dari masa ke masa.
Kedua, huruf “MIM” kependekan dari maghfirah (ampunan). Maghfirah adalah penjagaan dan penghalang dari jahatnya perbuatan dosa (wiqoyatu syarridz dzunubi ma’a satriha). Seseorang yang beristighfar hakikatnya mohon agar kelemahan-kelemahan yang melekat pada dirinya dikurangi, atau bahkan dihapus.
Konsekwensinya, dengan memperbanyak istighfar berarti kualitas dirinya mengalami perkembangan secara signifikan. Hanyalah orang-orang yang tidak tahu diri, yang tidak beristighfar.
Dari Anas berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: “Wahai keturunan Adam, sesungguhnya apabila engkau berdoa dan memohon ampunan kepada-KU, maka niscaya akan Aku ampuni, apa pun keadaanmu Aku tidak peduli. Wahai keturunan Adam, apabila dosa-dosamu memenuhi langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-KU, maka Aku ampunilah aku. Wahai anak cucu Adam, kalaulah Engkau memiliki dosa seisi bumi ini, kemudian engkau memohon ampun kepada-KU tanpa pernah menyekutukan-KU sedikitpun, maka Aku akan berikan ampunan sebanyak dosa yang engkau bawa.”
Dalam kitab ‘Al Bahrur Raiq Fii Az Zuhdi wa Ar Raqaiq oleh Dr. Farid, hal : 107, menyebutkan bahwa hadits di atas mengandung tiga faktor penting datangnya maghfirah.
Ketiga, huruf “DHADH” kependekan dari “dhi’fun” (berlipat ganda).
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Salman ra. katanya :
خَطَبَناَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي اَخِرِ شَعْبَانَ وَقاَلَ
“Rasulullah Saw pada hari terakhir dari bulan Sya’ban berkhutbah di hadapan kami, maka beliau bersabda:
“Wahai manusia, sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang agung lagi penuh berkah, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, bulan yang Allah SWT telah menjadikan puasa-Nya suatu fardhu dan qiyam (shalat tarawih) pada malam harinya tathawwu’. Barangsiapa mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dengan suatu pekerjaan kebajikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di bulan yang lain. Dan barangsiapa menunaikan suatu fardhu di dalam bulan Ramadhan, samalah dia dengan orang yang mengerjakan tujuh puluh fardhu di bulan yang lain. Ramadhan itu itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu pahalanya adalah surga. Ramadhan itu adalah bulan memberikan uluran tangan dan bulan Allah menambah rezeki pada orang mukmin di dalamnya. Barangsiapa memberi makanan berbuka di dalamnya kepada seseorang yang berpuasa adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosa-dosanya dan kemerdekaan dirinya dari mereka. Orang memberikan makanan berbuka puasa, baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakan puasa itu, tanpa sedikitpun berkurang.”
Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, tidaklah kami semua memiliki makanan berbuka puasa untuk orang-orang yang berpuasa!.”
Maka Rasulullah Saw bersabda: “Allah SWT memberikan pahala ini kepada orang yang memberikan sebutir kurma, atau seteguk air, atau sehirup susu. Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barangsiapa yang meringankan beban dari hamba sahaya (pembantu rumah tangga), niscaya Allah SWT mengampuni dosanya dan memerdekannya dari neraka. Karena itu perbanyaklah empat perkara di bulan Ramadhan. Dua perkara untuk kamu menyenangkan Tuhanmu dan dua perkara lagi untuk kamu membutuhkannya. Dua perkara yang kamu lakukan untuk menyenangkan Allah SWT, ialah mengakui dengan sesungguhnya, bahwa tidak ada Tuhan (yang eksis) melainkan Allah dan mohon ampun kepada-Nya. Dua perkara lagi yang kamu sangat membutuhkannya, ialah mohon sorga dan berlindung dari neraka. Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berpuasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air telagaku dengan minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga ia masuk surga.” (At-Targhib II : 217-218).
Keempat, huruf ALIF. Yakni ‘amina minannar’ (aman dari siksa neraka). Pada bulan ini pintu surga di buka secara luas, sedangkan pintu-pintu neraka di tutup. Sesungguhnya tiga kegiatan, thalbul ‘ilmi (mencari ilmu), taqarrub kepada Allah SWT (ibadah), dan mengerahkan tenaga untuk berjuang di jalan-Nya.
Kelima, huruf “NUN” yang berarti Nur, cahaya. Puasa tidak sekedar menahan lapar dan dahaga. Justru yang terpenting adalah memelihara panca indra dan indra keenam dari kontaminasi dosa. Jika instrumen manusia tersebut terpelihara kesuciannya, lulusan Ramadhan akan menjadi manusia yang tercerahkan kehidupannya. Keadaan dirinya bagaikan kain putih (fithrah). Condong kepada perbuatan yang dikenali hati (ma’ruf), kejujuran, kasih sayang, dan mengingkari perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani (munkar).
Bagaikan bayi yang baru lahir. Menyejukkan dan sedap di pandang mata. Karena wajahnya menampakkan kepolosan (cahaya). Tidak ada yang disembunyikan.
Kupu-kupu yang berterbangan menghisap saripati bunga, memang indah dipandang. Padahal kupu-kupu yang indah itu berasal dari ulat. Ulat adalah sejenis binatang yang menjijikkan. Bulu-bulunya sangat membahayakan. Jika menyentuh kulit seseorang akan menimbulkan kegatalan yang tak terperikan.
Dengan mengendalikan nafsu lewat pelaksanaan ibadah puasa selama sehari penuh, kita menjadi manusia baru. Berpuasa Ramadhan menjadi manusia yang bermental seperti kupu-kupu. Sungguh puasa Ramadhan merupakan training untuk memformat diri menjadi manusia baru. Mukmin yang muttaqin.
Meski demikian, perumpamaan orang beriman tak seperti ulat, bila ia hinggap di daun yang segar, maka tempat yang dihinggapi digulung dan dihabiskan, sedangkan dirinya semakin gemuk. Tidak pula seperti lalat, ia senang di tempat yang kotor dan pergi kemana saja selalu membawa penyakit. * (bersambung)
Shalih Hasyim. Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah