BERABAD-ABAD yang lampau, Islam telah mencapai masa keemasannya. Ilmuwan Muslim di abad ke-10 M, telah sampai ke ambang hampir seluruh penemuan yang ada jauh sebelum Barat tiba di tempat itu. Ibnu Sina atau dikenal pula oleh Barat dengan nama Avicenna, maestro di bidang medis, juga menulis di bidang lain seperti fisika dan filsafat. Ia saat itu sudah menganalisis gerak secara matematis enam abad sebelum Newton melakukannya!
Bagdad saat itu merupakan gambaran kota tersibuk di dunia. Mudahnya akses melalui lalu lintas darat dari setiap sisinya membuat kapal-kapal mengalir keluar dan masuk setiap hari membawa barang dan pedagang dari berbagai belahan dunia seperti China, India, Afrika dan Spanyol. Di dalam kota ini tersimpul simbol kemakmuran: seni, pemikiran, budaya dan teknologi. Inilah gambaran puncak keemasan peradaban Islam.
Namun kini, Islam beserta umatnya dalam keadaan yang memprihatinkan. Sebagian dari mereka masih berupaya lepas dari rongrongan teror dan peperangan di dalam negeri sendiri, sebagian lain menjelma menjadi negara-negara konsumen produk kapitalis, sumber daya mereka disedot baik manusia maupun alamnya, sebagaimana juga terjadi di Indonesia. Sistem riba menjadi primadona, hampir semua negeri-negeri Muslim tunduk dan menjadi bagian tak terpisahkan. Kita tidak lagi mengenal tokoh ataupun ilmuwan Muslim sekaliber Imam al Ghazali ataupun Ibnu Sina. Umat ini sudah jauh tertinggal.
Selepas kapal bernama Khilafah Utsmani di tahun 1924, Islam seolah kehilangan kekuatan untuk menopang dirinya. Negara yang hakikatnya bervisi universal itu akhirnya tercerai berai menjadi banyak negara-bangsa (nation-state). Sejak saat itulah dengan mudahnya musuh-musuh Islam memasuki jantung negeri-negeri Islam yang kebanyakan di benua Afrika dan Asia. Lantas, apa yang harus dilakukan oleh umat Islam?
Hakikat Shaum
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al- Baqarah [2]:183)
Shaum secara harfiah memiliki makna menahan diri. Selama kurang lebih satu bulan, kita dituntut untuk menahan makan, minum dan juga berhubungan suami-istri di waktu-waktu tertentu, atau singkatnya, kita harus menahan diri dari apa-apa yang mampu menjadikan manusia “ada”. Manusia menjadi “ada” karena adanya pasokan energi yang cukup untuk menjaga eksistensinya, pasokan itu berasal dari makanan dan kebutuhan seksual biologis makhluk hidup.
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…” (QS. Al-Baqarah [2]:185)
Di dalam surat al-Baqarah ayat 185, teranglah bahwa Ramadhan adalah bulan turunnya al-Qur’an, sebuah petunjuk dan pemisah antara haq dan batil (furqaan). Dengan demikian jelaslah bahwa kita menahan sifat keduniawian kita agar dapat memberikan jalan bagi al-Qur’an agar masuk ke dalam rongga dada kita.
Dengan masuknya al-Qur’an, seseorang dapat memperoleh kekuatan yang tiada tara. Kekuatan yang mampu mengguncangkan gunung dan membelah bumi sebagaimana tertera pada al-Qur’an:
وَلَوْ أَنَّ قُرْآناً سُيِّرَتْ بِهِ الْجِبَالُ أَوْ قُطِّعَتْ بِهِ الأَرْضُ أَوْ كُلِّمَ بِهِ الْمَوْتَى بَل لِّلّهِ الأَمْرُ جَمِيعاً أَفَلَمْ يَيْأَسِ الَّذِينَ آمَنُواْ أَن لَّوْ يَشَاءُ اللّهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيعاً وَلاَ يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُواْ تُصِيبُهُم بِمَا صَنَعُواْ قَارِعَةٌ أَوْ تَحُلُّ قَرِيباً مِّن دَارِهِمْ حَتَّى يَأْتِيَ وَعْدُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُخْلِفُ الْمِيعَا
“Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentu Al Qur’an itulah dia)…..” (QS. Ar Ra’d [13]:31)
يِا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إَن تَتَّقُواْ اللّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَاناً وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal [8]:29)
Lewat praktek Shaum, seorang mukmin akan dibimbing menuju simpul ketakwaan. Nilai takwa itu akan memisahkan haq dan bathil, mana kelompok orang-orang beriman, mana kelompok orang-orang kafir. Garis batas atau furqaan antara keduanya akan semakin jelas. Shaum akan membangun generasi Rabbaniyah, generasi yang orientasinya hanya kepada Allah ta’ala saja. Hanya kepada-Nya bersandar semua hal termasuk hidup dan matinya manusia. Inilah yang membuat mengapa kaum Muslimin menjadi begitu kuat.
Dengan kekuatannya itu kaum Muslimin mampu menghasilkan simpul peradaban yang luar biasa hebatnya.
Shaum dan Perang Badar
Pada tahun ke-2 Hijriyah, Nabi Shallallu alaihi Wassalam dan para sahabat mendapatkan ujian berupa peperangan melawan pihak Quraisy. Kita mengenalnya dengan nama “Perang Badar”. Tepat pada tanggal 17 Ramadhan bertempat di Badar, kaum Muslimin dengan kekuatan 313 orang menghadapi kaum Quraisy dengan kekuatan 950 orang.
Sebuah perbandingan yang sekilas menguntungkan pihak Quraisy dari sisi jumlah. Inilah pertemuan antara dua pasukan yang keimanannya dipisahkan oleh garis furqaan. Antara keduanya terpisah pula batas geografis antara dua entitas politik, Negara Quraisy Makkah dan Negara Islam Madinah.
Tepat sebelum terjadinya peperangan Badar, di bulan Sya’ban turun syariat mengenai shaum Ramadhan. Ini memberikan gambaran pada kita bahwa umat Islam digembleng terlebih dahulu mentalnya lewat praktek shaum sebelum terjun ke kancah peperangan secara fisik. Lewat ibadah shaum itulah kaum Muslimin mengasah kekuatan mentalnya.
Sejatinya, hanya dari Allah sajalah sumber kekuatan itu. Begitu pula hakikat ibadah shaum yang memang diperuntukkan untuk Allah, tiada hijab antara seorang hamba dengan Allah.
Bagi kaum Muslimin saat itu di Perang Badar, inilah saatnya mereka membuktikan kebenaran iman mereka. Tidak ada lagi tempat kembali, semua siap menyongsong kematian yang mulia, semua siap menjadi syuhada. Begitu dahsyatnya peperangan ini sampai-sampai Nabi pun berdo’a: “Allahumma ya Allah. Quraisy sekarang datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan Rasul-Mu, ya Allah, berikanlah pertolongan-Mu yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini sekarang binasa, maka tak ada lagi ibadah kepada-Mu.”
Akhirnya berkat pertolongan dan curahan karunia dari Allah kaum Muslimin berhasil mengalahkan kaum Quraisy di peperangan itu. Ukuran kemenangan kaum Muslimin tidak bisa diukur dari nilai materi semata, melainkan oleh keimanan yang kokoh di dalam dada. Begitulah cara Allah memberikan kekuatan kepada kaum Muslimin.
Mudah-mudahan lewat ibadah shaum ini kita dapat memperoleh predikat takwa. Mudah-mudahan pula, Umat Islam dapat kembali kepada derajatnya yang semula, meraih kekuatannya dan bangkit sebagai sebuah peradaban, sehingga Islam dapat menjadi subjek aktif, bukan sekedar objek. Aamiin.*
* Penulis sedang melanjutkan studi S2 di Taipei