Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Andika Saputra
Memenangkan pertempuran melawan hasrat memampukan manusia menjaga jarak dari tubuhnya. Hasrat tidak lagi menguasai dirinya, justru kini dirinya yang menguasai hasrat. Pertanda dari orang-orang yang lulus dari pendidikan pertama Ramadhan adalah dapat mengontrol kegiatan konsumsi sekedar untuk memenuhi hak tubuh, tidak berlebih-lebihan dan menaati batas-batas konsumsi yang telah ditetapkan Allah. Contoh saja, saat berbuka puasa ia mampu mengendalikan konsumsi sebatas mengisi perut dan membasahi tenggorokan sekedar untuk menegakkan tubuhnya agar dapat beribadah.
Bagi yang kalah dalam pertempuran, bisa jadi ia tetap berpuasa dan merasa telah menundukkan hasrat, tapi yang terjadi justru hasrat meneguhkan kendali terhadap tubuhnya. Hasrat memiliki mekanisme untuk membuat saluran baru jika saluran yang telah ada ditutup. Puasa menutup saluran konsumsi makan, minum dan hubungan suami istri yang mendorong hasrat membuat saluran baru yang berujung pada kegiatan konsumsi yang lain, seperti berbelanja baju atau pergi ke salon untuk mengalihkan perhatiannya dari menahan lapar dan haus. Hasrat semakin menggedor keras ketika waktu berbuka telah dekat dengan mengendalikan lidah untuk mencicipi berbagai jajanan dan mengendalikan perut untuk memakan seluruh yang dilihatnya. Begitu berbuka, hasrat dipompa mengalir deras yang mendorong munculkan kegiatan konsumsi nir-batas hingga tubuhnya terasa berat untuk sekedar tegak beribadah.
Pendidikan kedua, setelah keluar sebagai pemenang dari pertempuran melawan hasrat dan memegang kembali kendali terhadap tubuhnya, Ramadhan mengajak manusia menemukan kembali hakikat kediriannya dengan menyelami kedalaman jiwa. Tubuh yang absen dari perkara konsumsi memungkinkan manusia mengalihkan perhatiannya dari tubuh kepada jiwa. Menyelami kedalaman jiwa bertujuan untuk menyambung kembali tali ikatan dirinya dengan Allah yang telah mengendor bahkan terputus sebagai akibat dari terhanyut dan tenggelam dalam persoalan tubuh dan kesenangan-permukaan.
Melalui ibadah, yakni ibadah lahir yang diikuti ibadah bathin, tali yang kendor kembali kencang dan tali yang putus kembali tersambung. Ramadhan memungkinkan percepatan bagi umat Islam untuk mengikat-erat kembali dirinya kepada Allah melalui intensitas ibadah yang lebih tinggi daripada bulan-bulan lainnya.
Melalui peningkatan ibadah, Ramadhan mendidik umat Islam untuk menyelaraskan kembali tubuh dan jiwanya. Berpuasanya tubuh untuk membendung hasrat diikuti berpuasanya jiwa untuk membersihkan segala penyakit bathin.
Hasil dari ibadah yang beriringan adalah kesatuan antara jiwa dan tubuh dengan jiwa sebagai hakikat manusia dan tubuh sebagai cermin bagi jiwa, sehingga bersihnya jiwa akan terpancar dari tunduknya tubuh. Lenyap sudah kontradiksi antara tubuh dan jiwa, keduanya berwajah tunggal yang disinari cahaya Allah. Tidak ada lagi pemakai jilbab yang jiwanya ingkar kepada Allah dan tidak ada lagi lidah yang fasih mengutip ayat-ayat Ilahi tapi di dalam jiwanya tersimpan niat merusak agama Allah. Para pemenang dari pendidikan kedua mendapatkan kembali statusnya sebagai manusia-religius yang ditandai dengan berkuasanya kembali jiwa terhadap tubuh dan tersambungnya kembali jiwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Pada tingkatan pendidikan yang terakhir, yakni pendidikan ketiga, Ramadhan mendidik manusia untuk menjaga jarak dari dirinya sendiri. Ramadhan tidak lagi mengajak manusia melakukan gerak ke dalam jiwa, tapi gerak ke atas mencapai sumber kehendak jiwa hingga jiwanya lebur di dalam kehendak Ilahi. Bagi orang-orang yang mampu mencapainya, ia melihat jiwa dan tubuhnya sebatas wadah bagi Allah untuk merealisasikan kehendak-Nya di muka bumi. Inilah kondisi ketertundukan total seorang hamba kepada Tuhannya yang ditandai dengan kemampuan menyingkirkan kehendak dirinya yang bersifat personal. Kehendak Allah menjadi kehendak dirinya.
Dalam kondisi ini tidak berarti hasrat hilang, tapi diarahkan semata untuk menuju Allah sebagai satu-satunya Dzat yang patut untuk dihasrati. Kegiatan konsumsi yang dilakukan, begitu juga dengan kegiatan lainnya, memiliki muatan spiritual karena dijadikan sebagai jalan menuju Allah. Dirinya tidak lagi memerlukan kenikmatan-permukaan karena telah digantikan dengan kenikmatan-spiritual sebagai buah kedekatan dirinya dengan Allah.
Luluh lantah sudah Posmodernisme sebab satu persatu pilar penyangganya dirobohkan Ramadhan dengan cara meneguhkan batas, meniadakan kontradiksi, membendung hasrat dan menggali kedalaman.
Inilah solusi konkrit yang dimiliki Islam untuk menjaga fitrah manusia sebagai makhluk-religius; makhluk yang senantiasa terhubung dengan Tuhannya. Perlu dicatat, kemampuan Ramadhan mengakhiri Posmodermisme bersifat potensial. Tinggal dibutuhkan kemampuan dan kesungguhan umat Islam untuk menjadikannya faktual. Kalau saja umat Islam menyambut Ramadhan dengan suka cita, menjalaninya dengan sungguh-sungguh dan menjaga semangatnya pada sebelas bulan setelah Ramadhan, dipastikan mesin budaya Posmodernisme akan terhenti, alam budayanya akan runtuh dan sistem budayanya akan tercecer tak lagi bermakna.
Tidak ada kata penutup yang tepat selain, Ramadhan adalah sangkala kematian bagi Posmodernisme! Mari kita wujudkan! Allahu a’lam bishawab.*
Penulis tinggal di Kartasura