Hidayatullah.com–Ramadhan kali ini merupakan puasa tahun ke tujuh yang dijalani Olis di negeri orang, yakni Taiwan. Waniata asal Karawang ini bekerja sebagai TKW di sebuah daerah di kota Taipe.
Bagi kebanyakan orang, Ramadhan bulan untuk melatih untuk beribadah dan berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Tapi pernyataan itu tidak berlaku bagi Olis
Bagaimana tidak, untuk menjauh dari makanan yang terdapat unsur haram saja cukup sulit, apalagi untuk beribadah. Butuh perjuangan keras untuk melakukan ibadah,seperti sholat, puasa dan mengaji, apalagi dengan perbedaan agama, adat, dan kebiasaan warga Tionghoa di sini.
Toleransi beragama di Taiwan, kata Olis, sangat kurang,apalagiterhadap TKI muslim.Ia mengatakan dirinya sering di caci maki jika mengaku berpuasa saat Ramadhan. “Majikan saya bilang, kamu jauh-jauh datang ke Taiwan untuk bekerja bukan untuk puasa,” kata wanita kelahiran 1981 ini.
Untuk menu sahur dan buka puasa, hampir sebulan penuh Olis berbuka dengan mie instant buatan Indonesia yang dipesan khusus dari keluarga di Karawang.
“Makanan di sini semuanya pakai angciu, kalau hari biasa bukan bulan puasa saya juga suka kosumsi, habis bagaimana lagi,”imbuh Olis kepada hidayatullah.com, Selasa (01/07/2014)
Maklum, orang Islam di Taiwan sangat minim, kalaupun ada itu bukan dari penduduk asli, berbeda seperti di China masih ada suku Uighur.
Negeri ini mayoritas memeluk Budha, umat Islam hanya 38 ribu jiwa saja, ditambah 150 ribu penduduk musiman dari para pekerja migran asal Indonesia.
Ekstremnya, selama hampir tujuh tahun tinggal di Taiwan,saya tidak pernah mendengar suara adzan yang berkumandang.
“Denger azan dari google saja dan hape yang ada aplikasinya,” tutur Olis yang sudah tujuh tahun belum kembali ke tanah air.
Saat mendapat kerjaan ringan,saya berusaha untuk ibadah, shalat, puasa, tadarusan. Dan itupun saya lakukan saat keluarga majikan tidak berada di rumah.
”Itupun saya lakukan dengan cara sembunyi kaya maling,”ucapnya.
Yang membuat Olis merasa sedih ketika menjelang idul fitri. Ia dikirimi pesan suara gema takbir dari keluarganya di Karawang.
“Spontan saya langsung menangis mendengar gema takbir,”ucapnya.
Ibu beranak satu ini bekerja di Taiwan setelah bercerai dari sang suami 2006 lalu. Untuk menghidupi anaknya yang kini berusia 8 tahun dan keluarganya ia rela bekerja di Taiwan. Entah masih berapa tahun lagi ia harus mencari nafkah di sana.
“Saya nggak tau, bisa 3 atau 5 tahun lagi. Yang jelas saya rindu dengan suasana puasa dan idul fitri di Indonesia, di sini moment itu tidak ada,”pungkasnya sedih.*/Seperti dituturkan Olis kepada wartawan hidayatullah.com