Hidayatullah.com–Jam menunjukkan 03.34 WIB. Komplek Pasar Baru Terminal Bekasi ini sudah tumpah ruah oleh lusinan pedagang sayur-mayur. Suara bunyi klakson mobil seolah memprotes kemacetan, diselimuti teriakan pengendara motor yang sedang bekejaran dengan waktu.
“Woi…buruan!” teriak seorang pengendara motor pada sebuah mobil bak yang penuh dengan bau amis ikan yang terlalu lama diam di tengah jalan.
Sementara mobil itu sendiri memang tidak bisa bergerak maju sejak didepannya tak cukup ruang karena setengah badan jalan sudah ‘terkapling’ para pejuang ekonomi keluarga dengan setumpuk barang dagangan. Ada tomat, wortel, kangkung, bayam, cabai hingga rempah-rempah lainnya.
Sahur kali ini, saya seperti ada di sebuah pesta rakyat tradisional. Ramai riuhnya menyimpan energi inspirasi. Melihat tukang parkir, seperti tak pernah sombong dengan banyaknya mobil yang dijaganya.
Sementara ibu-ibu berkain kebaya, tetap tegar memanggul berkilo-kilo sayur. Sebelum ia membantingnya tepat di tempat rutin, di mana ia biasa berdagang. Tak ada polisi pamong praja dini hari itu. Tak ada birokrasi pemerintah daerah yang berbelit belit hanya untuk sekedar menjual sayur demi hak hidup dan jatah kemerdekaan mereka atas bangsa ini.
“Gaya dong…mau difoto tuh..,” celetuk seorang pedagang sayur kepada temannya setelah melihat Hadi salah satu fotografer BWCreative sedangkan menemani tim hidayatullah.com mendokumentasikan situasi Sahur di Terminal Bekasi, Rabu (01/08/2012) dini hari.
“Jiaaah kebakar dah tuh poto, kagak ada pantes-pantesnya lu dipoto,” sahut teman yang satu lagi meledek dengan logat Betawi ala makhluk asli Babelan, sebuah daerah di ujung pinggiran Bekasi.
Masih ada canda, masih penuh kekeluargaan. Rumah besar bernama jalanan ini telah menjadi balai rakyat sejati. Keharmonisan kopi hitam, menemani para pecandu rokok kelas berat. Malam seolah telah menjadi siang, dan siang justru menjadi malam. Itulah gaya hidup yang sering mereka lewati.
Merdeka dengan Iman
Ramadhan bagi beberapa dari mereka tak ada bedanya dengan bulan-bulan lainnya. Keluar malam berdagang sayuran, siangnya tidur hingga petang hendak pamit menuntaskan tugas matahari. Demikian cerita seorang pedagang sayur, sebuh saja Ahmad kepada media ini.
“Ya elo kaya puasa aja lo,” ledek lelaki diujung warung kopi itu.
“Ngomong kagak dipikir lo, emang gue harus absen sama elo kalau gue puasa,” balas Ahmad.
Menjelang Imsak tiba, terlihat mulai banyak orang sibuk mengambil makanan bawaan mereka yang telah disediakan dari rumah. Ada nasi yang sudah disiapkan diatas piring. Ada pula hanya sekedar nasi bungkus.
“Sahuuuuurrrr….Sahuuuuurrrr…..Sahuuuuur…..Sahuuuuurr…….” bunyi pukulan panci mirip sebuah perkusi berkolaborasi dengan nada-nada dari besi dari tiang listrik yang dipukul. Kebisingannya menandai alarm seperti ini, bahkan mungkin tidak akan ditemukan di negara canggih seperti Amerika Serikat, Jerman ataupun Jepang.
Menjelang akhir detik-detik Imsak, motor kami melaju ke arah Pasar Proyek Bekasi, sebelum kami masuk ke Jalan Agus Salim untuk menepi di sebuah rumah makan sederhana dan segera menuntaskan Sahur.
Subuh ini, sekali lagi kami melihat wajah-wajah merdeka. Merdeka dalam keimanan dan merdeka menanggung berat hidup dan fenomena kesemrawutan negeri ini dengan segudang masalah.
Kenyataannya, saya melihat kemerdekaan itu tidak datang dari Negara, tapi ia hidup dan tumbuh bersama orang-orang yang mengerti betapa indahnya anugerah penghambaan kepada Allah Subhana Wa ta’ala. Selamat sahur para pejuang-pejuang keluarga di sudut Pasar Baru Terminal Bekasi.*