SEKALIPUN akhir Ramadhan masih menyisakan waktu dua pekan lagi, sudah mulai banyak orang ‘meninggalkan’ fokus ibadah. Di antara mereka ada yang sibuk menyiapkan kue lebaran, baju baru, peralatan baru, dan semua serba baru. Apalagi semakin akhir Ramadhan, serbuan iklan semakin seru.
Entah bagaimana awalnya, akhir Ramadhan atau tepatnya lebaran identik dengan baju baru. Banyak orang gelisah, pusing, bahkan mungkin galau kalau lebaran tidak punya baju baru. Padahal Allah Subhanahu Wata’ala tidak melihat manusia melainkan pada ketakwaannya. Tapi aneh, tidak banyak yang gelisah kalau-kalau keluar dari “madrasah Ramadhan” dengan tidak menggunakan baju takwa.
Baju takwa adalah baju yang harus kita miliki. Soal baju baru boleh kita berupaya memilikinya tapi jangan salah, baju takwa harus diprioritaskan.
Ingat dan harus dipahami bahwa Ramadhan adalah ‘pasar besar” yang menjual baju takwa dari-Nya. Jika kita gagal memilikinya, sungguh tiada patut kita berbangga memasuki Syawal sekalipun kita telah memiliki baju baru.
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاساً يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشاً وَلِبَاسُ التَّقْوَىَ ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa, itulah yang paling baik.” (QS. Al al’raf [7]: 26).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman bahwa yang paling mulia di antara kita adalah yang paling bertakwa (QS. 49 : 13). Oleh karena itu sebelum benar-benar berpisah dengan Ramadhan kita harus semakin berusaha agar kita benar-benar memiliki baju takwa. Karena sebaik-baik bekal adalah takwa (QS. 2 : 197).
Makna Bekal
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menuturkan, Muaqtil bin Hayyan berkata bahwa setelah ayat “dan berbekallah kamu” di-turunkan, maka bangkitlah kaum Muslimin yang miskin. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, kami tidak memiliki sesuatu yang dapat kami jadikan bekal”.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Berbekallah kamu dengan sesuatu yang dapat menutupi kehormatan wajahmu dari direndahkan oleh manusia dan sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.” (HR. Ibnu Abi Hatim).
Jadi berbekal takwa tidak berarti meninggalkan dunia. Umat Islam harus punya ghirah untuk senantiasa memperbaiki diri mulai dari kondisi iman sampai pada perbaikan ekonomi. Sebab Islam tidak mengajarkan melainkan agar umatnya menguasai dunia sesuai dengan amanah dari-Nya sebagai seorang khalifah (QS. 2 : 30).
Di samping itu Allah juga tidak menghendaki umat Islam larut dalam ibadah tanpa upaya keduniaan. Sama sekali itu bukan ajaran Islam. Allah menghendaki agar kita mengejar kebahagiaan akhirat dengan tidak meninggalkan dunia (QS. 28 : 77).
Bersyukur
Bagaimana jika ternyata ada di antara umat Islam yang tidak mampu membeli baju baru, dan hidup dalam kemiskinan. Jangan khawatir dan jangan galau. Allah tidak pernah salah dalam menetapkan segala sesuatu termasuk di dalamnya kemiskinan. Tetapi jangan salah paham, bekerja keras untuk memperbaiki ekonomi itu juga wajib.
Di sinilah perlunya kita mengerti ajaran Islam dengan baik. Kemiskinan harta sejatinya tidaklah begitu masalah jika kita memiliki kekayaan iman. Sebaliknya akan banyak masalah manakala seseorang miskin iman tapi kaya harta.
Oleh karena itu menjelang akhir Ramadhan tidak perlu galau dengan benda-benda. Tapi risaulah bila iman ini tidak semakin baik. Kalaupun kita masih miskin, jangan bersedih teruslah bersyukur dengan berusaha sekuat tenaga menjadi orang yang pandai bersyukur.
Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menuturkan dialog antara Allah Subhanahu Wata’ala dengan Nabi Ismail as. “Carilah Aku pada orang-orang yang patah hati.” Nabi Ismail lalu bertanya, “Siapakah mereka itu ya Allah?” Allah menjawab, “Yaitu orang-orang fakir yang benar.”
Jadi kemiskinan (fakir) bukan aib di mata Allah. Sebaliknya kekayaan bukan kemuliaan di sisi-Nya. Rasulullah saw bersabda, “Aku mengintai ke dalam surga, maka kulihat sebagian besar penghuninya adalah orang-orang fakir. Kulihat ke dalam neraka, yang terbanyak penghuninya adalah orang kaya,” demikian yang dikutip oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddinnya.
Pertanyaanya orang miskin yang mana yang akan masuk golongan penghuni surga itu? Tentu orang miskin yang meneladani Rasulullah dalam segala aktivitas kehidupan. Mereka mendirikan sholat, membaca Al-Qur’an, puasa di Bulan Ramadhan, berjihad di jalan Allah, dan menghindarkan diri dari meminta-minta.
Bahagia Bersama
Betapa indahnya jika umat Islam Indonesia punya visi yang sama membangun ukhuwah Islamiyyah. Tentu tidak akan ada lagi berita seorang pencuri mencuri sesuatu hanya untuk bekal lebaran, ingin membeli baju baru dan sebagainya.
Bagi umat Islam yang berkecukupan bahkan berlebih berkewajiban menolong mereka yang hidup kesusahan. Imam Ghazali berkata bahwa, lebih dari cukup adalah kejelekan dan menahannya adalah penyebab berkurangnya derajat. Dalam Islam sikap seperti itu disebut dengan bakhil. Dan, tiada keuntungan apapun bagi mereka yang bakhil dalam hidupnya.
Sungguh hamba Allah yang dimuliakan adalah mereka yang tidak condong kepada dunia meskipun menguasainya. Dan, sikap seperti itu hanya akan dimiliki oleh mereka yang memiliki baju takwa. Rasulullah saw sangat menganjurkan kita sebagai ummatnya untuk mengambil sikap seperti itu.
Bahkan dalam sebuah Hadits yang termaktub dalam Ihya’ Ulumuddin disebutkan bahwa, “Apabila kalian melihat seseorang telah dikaruniai sifat tenang dan menjauhi dunia, maka dekatilah dia, karena ia memberi hikmah”.
Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan bahwa siapa yang Allah anugerahkan hikmah maka baginya kebaikan yang sangat banyak (QS. 2 : 269). Dan, Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Jika demikian mengapa kita masih galau dengan baju baru dan tidak gelisah jika tidak memiliki baju takwa? Hanya dengan ketakwaan kita semua akan bisa bahagia bersama.
Sempurnakan Ramadhan
Di akhir Ramadhan Rasulullah tidak pernah sibuk mempersiapkan diri dengan berbagai macam hal yang bersifat benda-benda (duniawi). Beliau malah fokus menyempurnakan ibadah Ramadhan di sepuluh hari terakhir dengan melakukan I’tikaf. Bahkan amalan ini beliau lakukan hingga wafatnya.
Lalu, pantaskah kita sebagai umatnya melakukan hal-hal yang tidak dicontohkan oleh beliau. Jika demikian masihkah kita berharap mendapatkan syafa’atnya kelak, sementara selagi di dunia kita tidak pernah berusaha sungguh-sungguh untuk mengikuti sunnah-sunnahnya.
Saudaraku, selagi masih ada kesempatan di Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan ini mari kita kumpulkan bekal takwa sebanyak-banyaknya dengan banyak mengamalkan amalan sholeh yang diteladankan oleh Rasulullah. Semoga Allah memberkahi kita semua, amin. Wallahu a’lam.*