Hidayatullah.com–Sebagaimana umumnya tradisi bulan suci Ramadhan, tenda-tenda jamuan berbuka puasa terbentang luas. Di Mesir, biasanya disebut dengan istilah Maidah ar-Rahman. Tidak hanya di masjid-masjid, di pingiran jalan raya pun tidak jarang akan kita temui jamuan gratis buka puasa ini. Siapa saja boleh ikut berbuka puasa di sana, tak terkecuali kita orang pendatang.
Di tempat ini, makanan pokok Mesir, ‘isy atau seperti roti gandum sudah terhidang di depan kita sebelum adzan Magrib. Terkadang juga dihidangkan nasi yang dimasak ala Mesir. Lauknya juga tidak kalah menggoda. Untuk membuat orang yang berpuasa berbuka dengan enak, maka ayam panggang juga turut disajikan. Ditambah dengan pelengkap lainnya seperti buah, minuman, dan lain sebagainya. Begitulah umumnya hidangan yang disajikan di Maidah ar-Rahman.
Jika suatu saat kita kepepet untuk berbuka puasa. Dan senja sudah mulai menampakkan batang hidungnya. Sementara waktu untuk pulang ke rumah juga sudah tidak sempat lagi karena tinggal beberapa menit lagi adzan Magrib akan berkumandang. Maka kita tidak perlu khawatir. Cukup dengan terus menyusuri tepi jalan, insya Allah akan mendapatkan Maidah ar-Rahman. Jika belum mendapatkan juga, kita bisa bertanya-tanya dengan orang sekitar.
Hal ini juga yang pernah saya rasakan. Kondisi yang sama dengan gambaran di atas, dan akhirnya juga menemukan Maidah ar-Rahman.
Hari itu, saya duduk dikelilingi orang-orang Mesir. Di depan saya duduk seorang anak kecil dengan temannya. Dari penampilannya, mereka emang anak dari keluarga yang kurang mampu. Sementara di samping kiri saya seorang kakek tua dengan jubahnya yang usang. Kebanyakan yang ada di sana memang orang-orang yang kurang mampu. Meski ada juga beberapa orang yang sepertinya berkecukupan turun duduk bersama dengan kami berbuka puasa.
Salah satu orang Mesir lalu membuka pembicaraan kepada saya.
“Kamu asli mana,” begitu tanyanya kepadaku.
Saat saya sebutkan negara Indonesia, bagi orang Mesir nama negara itu sudah tidak asing lagi. Maklum, hubungan Mesir dan Indonesia memang sangat erat dilihat dari sejarahnya. Bahkan orang-orang Mesir banyak yang mengenal Bapak Proklamasi kita, Soekarno. Yang tak kalah menarik, ternyata nama Soekarno juga diabadikan menjadi nama sebuah jalan di salah satu distrik di Mesir.
Selanjutnya, hidangan seperti yang saya jelaskan di atas tadi satu per satu sudah disajikan di atas meja. Potongan ayam yang cukup besar untuk porsi satu orang, dengan nasi yang dimasak khas Mesir dihidangkan di atas meja makan. Tak lupa pernak-pernik makanan lainnya.
Akhirnya, adzan yang ditunggupun berkumandang. Sangat terasa nikmatnya saat berbuka puasa. Buka bersama dengan orang Mesir di Maidah ar-Rahman memiliki nuansa tersendiri.
Saya perhatikan orang Mesir di sekeliling sangat lahap sekali menyantap hidangan di atas meja.
Belum sempat habis makan ayam bakar, nampaknya perut sudah tak kuat karena kekenyangan. Dari pada mubazir, saya tawarkan sisa makanan saya itu kepada anak kecil di depan saya.
Rupanya, dengan cepat dia mengiakannya. Tapi rupanya, makanan tersebut tidak langsung dimakan. Rupanya dia bawa pulang.
Begitulah memang gambaran orang-orang yang kurang mampu di Mesir, sangat membutuhkan uluran dermawan sekali. Syukurnya tidak sedikit juga dermawan yang ada di Mesir.
Maidah ar-Rahman di Mesir benar-benar menunjukkan barakahnya bulan Ramadhan. Di sini juga terlihat suasana yang sangat harmonis antara si kaya dan si miskin.*