Hidayatullah.com–Mengapa kita masih mengeluh ketika kita masih bisa menikmati Ramadhan bersama keluarga? Mengapa kita terus menggerutu padahal kita bisa menikmat ramadhan disamping suami, istri dan anak-anak kita?
Nining Hermawang tetap tersenyum mengurus si kecil selama Ramadhan. Tak terlihat kegalauan dalam rautan wajahnya. Padahal Ramadhan kali ini, ia hanya berteman si kecil sementara sang suami tercinta bertugas ke tengah laut di sebuah kapal minyak, jauh dari sanak-saudara.
“Rasa rindu pasti ada, namun dengan doa hadir keikhlasan, semoga Allah menjadi suami di tengah laut sana,” jelasnya kepada hidayatullah.com. Ia berharap di Idul Fitri nanti dia bisa berkumpul bersama sang suami.
Perjalanan cintanya dengan sang suami Rudi Hermawan penuh lika-liku. Bagaimana tidak, walau memang sudah mengenal sejak kecil, saat memutuskan untuk merajut tali kasih rumah tangga, orangtuanya sempat tidak menyutujui niatan kedua insan ini untuk menikah.
“Aduh, dulu ibu mah sempat nggak setuju si Nining nikah sama Rudi. Tukang Mabuk, Rambut Gimbal, tindikan di mana-mana, ragu ibu sama masa depan mereka,” jelas orangtua Nining saat hidayatullah.com di rumahnya yang berada di daerah Duren Jaya Bekasi, Senin (23/072012).
Diiringi gorengan bakwan, lontong dan sajian teh manis panas, sesekali celetukan suara anak-anak kecil, dia menceritakan bagaimana masa lalu Rudi.
“Alhamdulillah, nggak ada yang nyuruh, nggak ada yang marahin tiba-tiba Rudi berubah 180 derajat. Mulai memotong rambut, berhenti mabuk dan melepaskan tindikan telinganya”, tambah Nining menceritakan penuh haru bagaimana hidayah menghampiri sang suami.
Nining mengakui, seburuk apapun masa lalu Rudi, namun ada satu hal istimewa dari suaminya di masa lalu, yaitu ia tidak pernah meninggalkan shalat. Hanya saja kala itu, ia belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan minuman alkohol. Entah apakah ini sebuah petunjuk dari Allah Subhanahu Wata’ala, suatu keajaiban menimpa Rudi.
“Rudi waktu itu overdosis, mabuk berat sampai dia pingsan mengeluarkan busa dari mulutnya. Saat tidak sadar, ruh Rudi waktu itu seperti terpisah, antara mimpi dan tak sadarkan diri di pinggir jalan, ia melihat teman-temannya panik sedang membopongnya,” ujar Nining. Menurut Nining, sebagaimana dicertakan Rudi, dalam kondisi overdosis dan tidak sadar itulah Rudi mengaku di bawah ke pintu-pintu yang penuh dengan goa api, ada ruangan untuk pemabuk, pezina hingga orang-orang yang melalaikan agama.
Setelah kejadian itulah, Rudi berubah secara drastis.
Saat hidayatullah.com menghubungi melalui telepon, dengan penuh canda lelaki yang pernah aktif sebagai musisi underground di Ujung Berung Bandung ini membenarkan cerita tersebut.
Dengan penuh hangat, ua mengatakan, jika tak ada kekuatannya yang bisa menggantikan alasan satu-satunya kenapa dirinya terjaga selain karena Allah Subhanahu Wata’ala dan juga karena anugerah anak pertamamnya yang berumur hampir dua tahun.
Nining dan Rudi pun membagi sedikit kisah dari kapal minyak yang kini menjadi tempat dia bekerja. Menurutnya, Ramadhan di kapal terasa begitu asing. Bagaimana tidak asing, dari total jumlah awak kapal mereka yang beragama Islam tidak lebih dari 10 orang. Dan dari kesepuluh orang itupun hanya sedikit yang menjalankan ibadah puasa, apalagi shalat lima waktu.
Mayoritas anggota kapal yang beragama Nasrani bahkan sering menunjukkan sikap tidak toleran. Mengolok-olok Rudi saat menjalankan shalat limat waktu, bahkan merayu untuk berbuka puasa di petang hari.
“Ya gitulah, gue di sini kalau ngajak shalat berjamaah selalu dibilang sok suci,” jelas Rudi melalui telpon genggamnya kepada hidayatullah.com.
Karena Allah
Begitulah liku-likunya. Meski demikian, hingga kini dia tetap lurus. Terutama jika mengingat senyum si kecil di rumah, bagaikan cermin bagi dirinya untuk mengingat kebesaran Allah dalam hidupnya.
Alhamdulillah, Rudi tak terpengaruh, dan puasanya tetap berjalan rutin tak tergoyahkan. Baginya, doa sang istri adalah kekuatan utama. Dan energi kehidupan dari senyum si kecil selalu menguatkan jiwanya.
Mantan senior punk yang jago main musik metal ini sadar, saat ini hijrahnya sudah bulat. Ia tidak hanya ingin membahagiakan keluarganya di dunia tapi ia juga ingin bertemu dengan Surga Allah kelak.
“Tak ada alasan untuk mengeluh atas jarak yang jauh ini, justru inilah ujian yang menjadi kenikmatan dari Allah, saya jadi mengerti betapa berharganya arti dari sebuah keluarga,” jelas lelaki yang termasuk pendiri komunitas Ghurabaa (Militant Tauhid) ini.
Adakah kesetiaan yang lebih mengharukan selain sebuah ikatan cinta yang dibangun dari sentuhan keimanan?
Setidak Nining dan Rudi telah seidkit mengajarkan kita semua sebuah hal tentang keikhlasan dan rasa syukur yang mendalam. Tak seharusnya kita mengeluh ketika kita masih bisa menikmati Ramadhan bersama keluarga. Dan tak seharusmnya kita terus menggerutu padahal kita bisa menikmat Ramadhan disamping suami, istri dan anak-anak tercinta.
Semoga tak ada nikmat Allah yang kita dustakan di Ramadhan ini. Aamiin.*