Disharmoni hubungan Nawaz Sharif dengan militer
Keputusan KPU Pakistan menyatakan partai Nawaz Sharif (PML-N) menang dalam pemilu tahun 2013 dan ia pun terpilih sebagai PM dengan jumlah kursi mayoritas di parlemen. Sekalipun baik PTI dan PAT menolak keputusan KPU tersebut dan long march pun digelar untuk membatalkan keputusan itu. Banyak pengamat yang menilai bahwa dengan modalitas pengalaman yang cukup sebagai PM dan kemenangan telak partai PML-N dalam pemilu, menjadikan Nawaz Sharif merasa tidak perlu terlalu bergantung kepada militer. Selama setahun pemerintahannya, kerap terjadi ketidaksepahaman dengan kebijakan yang diambil oleh pimpinan militer. Seperti program normalisasi hubungan Pakistan dengan India untuk kepentingan bisnis, kehadiran Nawaz dalam pelantikan PM India Narendra Moodi, keberpihakan Nawaz dalam penegakan hukum atas pelaku penembakan wartawan senior TV swasta Geo, Hamir Mir, membuka dialog antara pemerintah dengan kelompok ekstremis Taliban, pelaksanaan operasi militer (Zar-e-Azab) di Provinsi Waziristan Utara dan lainnya. Sekalipun banyak pengamat menilai bahwa disharmonisasi tersebut bermula dari langkah pemerintah dalam membuka kasus hukum yang menjerat mantan Presiden dan sekaligus COAS Pervez Musharraf.
Terkait dengan aksi long march yang berlangsung cukup lama di Islamabad kali ini, sejak awal Nawaz Sharif sebenarnya sangat berharap militer bisa bersikap tegas terhadap para demonstran. Namun terlihat dari beberapa pernyataan yang disampaikan oleh COAS, Jenderal Raheel Sharif, dirasa sangat normatif dan cenderung tidak mengambil sikap yang menunjukan pembelaannya kepada pemerintah. Terhadap demonstran baik PTI dan PAT pun militer tidak melakukan langkah-langkah represif, namun hanya berupa himbauan untuk tidak digunakannya cara-cara anarkis.
Perkembangan terakhir yang dimuat di media-media Pakistan, bahwa untuk menghindari dead-lock, Nawaz Sharif meminta militer untuk menjadi mediator dialog antara pemerintah dan massa PTI dan PAT. Sebuah langkah yang sangat dikritik oleh para politisi termasuk partai-partai aliansi yang masih mendukung pemerintah. Sempat terjadi lempar opini tentang apakah usulan melibatkan militer sebagai mediator dialog lahir dari usulan PTI dan PAT atau pemerintah. Karena bagi Pakistan yang baru saja berhasil merestorasi pemerintahan dari sistem militeristik yang diktatorsip kepada sistem sipil demokrasi, melibatkan militer dalam proses penyelesaian krisis politik dianggap sebagai sebuah langkah mundur.
Menempuh jalur dialog
Sejauh ini pemerintah masih berharap agar krisis politik yang terjadi dapat diselesaikan melalui dialog. Sekalipun Nawaz Sharif merasa yakin bahwa dengan pengunduran dirinya dari jabatan PM, hanya akan menambah krisis yang ada dan mencederai sistem demokrasi parlementer sesuai dengan konstitusi Pakistan. Sementara itu, masih bertahannya para demonstran di red zone dan semakin keras melancarkan aksi protesnya, menunjukan tuntutan yang mereka ajukan sangatlah prinsipil.
Dalam kondisi dimana pemerintah sulit melakukan titik temu atas masalah politik, jalur mediasi dari sistem demokrasi seharusnya dibangun bersama-sama partai politik lainnya yang sebenarnya masih cukup banyak yang mendukung pemerintah. Langkah pemerintah yang melibatkan militer untuk mengatasi kebuntuan tersebut, justru terlihat sebagai kepanikan atau sindrom paranoid atas kasus-kasus penggulingan kekuasan yang terjadi sebelumnya. Seolah-olah hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa krisis politik di Pakistan tidak akan dapat diatasi jika tanpa melibatkan campur tangan militer.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sebagaimana diketahui bahwa lebih dari separuh sejak 67 tahun Pakistan merdeka, perpolitikan Pakistan didominasi oleh rezim militer. Sehingga apabila krisis politik saat ini tidak dapat diselesaikan maka tidak mustahil militer akan kembali berkuasa, dan hal itu merupakan kemunduran besar bagi sistem demokrasi yang tengah dibangun.*
Penulis buku “Colours of Pakistan” dan kandididat Ph.D di IIU Islamabad