Oleh: Francis Ghiles
MENINGKATNYA kedudukan China sebagai salah satu kekuatan besar dunia tampaknya sebagian besar hanyalah istilah mereka sendiri. Hal ini terbukti benar jika dilihat dari kacamata ekonomi, dan juga jika kita membicarakan tentang kebijakan luar negeri China.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, China sudah beberapa kali telah menunjukkan semacam ketidakjelasan. Khususnya di Timur Tengah dan negara-negara Islam lainnya di Asia, yang merupakan sumber minyak mentah utama bagi Beijing.
Mungkin permasalahan yang paling penting adalah China telah menahan sekitar satu juta etnis Muslim Uighur di Kamp Pendidikan ulang (Re-education Camp) atau juga sering disebut ‘Kamp Cuci Otak’ di Barat Laut Provinsi Xinjiang.
Permasalahan ini akan sangat mungkin membawa konsekuensi yang besar bagi kebijakan luar negeri China.
Beberapa hari belakangan, ‘dinding kesenyapan’ dunia Islam mulai retak karena tekanan yang diderita oleh etnis Muslim Uighur.
Sentimen anti-China pun mulai meningkat di negara-negara tetangga China, yakni Kazakhstan dan Tajikistan, di mana umat Muslim di perbatasan merasakan penderitaan para etnis Muslim Uighur.
Aksi protes juga terjadi di Bangladesh dan India. Serta muncul pula tulisan-tulisan kritis di media-media Pakistan.
Sementara itu, Jerman dan Swedia telah melarang pemulangan etnis Muslim Uighur yang telah mengungsi di sana. Pemerintahan Trump juga sedang mempertimbangkan penjatuhan sanksi bagi China atas kasus di Xinjiang.
Para politikus senior Malaysia pun menjadi yang pertama di antara negara -negara Muslim yang mengutuk kebijakan komunis China ini. Sehingga semua ini semakin menambah tekanan bagi Arab Saudi dan juga Turki (Etnis Muslim Uighur mempunyai bahasa yang mirip dengan bahasa Turki).
China telah mendirikan markas militer luar negeri pertamanya di Djibouti sebagai bagian rencana Belt and Road Initiative (Satu Sabuk dan Satu Jalan/OBOR), semakin meningkatnya aktivitas militer China di luar negeri.
Para elit China mungkin merasa senang apabila dapat menyebarkan model kediktatoran mereka kepada pemimpin negara lain. Namun hal tersebut bisa muncul disertai aksi-aksi balasan dari tempat-tempat yang tidak bisa diprediksi.
Sementara China sedang membangun dan mengelola pelabuhan Gwadar di Pakistan, Jamil Anderlini dari Financial Times mengatakan, “Mereka (China) mengambil resiko untuk memulai penjajahan di Pakistan yang merupakan wilayah terdampak paling besar dari gerakan Belt and Road sekaligus merupakan salah satu basis East India Company pada masa silam.”
“Sebenarnya Pakistan adalah negara yang mendapatkan bantuan dari China. Banyak pihak (di Pakistan) merasa khawatir dengan ketergantungan mereka dengan Beijing, yang di mana Pakistan sudah menjadi ‘negara pelanggan’. Sangat bisa dibayangkan apabila ada serangan militan terhadap infrastruktur China yang tidak bisa ditangani oleh militer Pakistan, sehingga China memutuskan untuk menurunkan ‘tentara pembebasan’ untuk melindungi orang-orang China dan aset mereka,” lanjut Jamil.
China menyadari bahwa pendekatan ekonomi berbeda dengan tongkat sihir. Pada tahun 2011-2012, China harus menyelamatkan 35 ribu rakyatnya di Libya dan hubungan mereka yang sudah terjalin dengan Dewan Nasional tidak menghindarkan mereka dari rezim Libya.
Kejadian ini adalah penyelamatan pertama yang juga terjadi selanjutnya di Suriah, Iraq, dan Yaman. Para pekerja China juga diculik di Sudan Selatan dan di wilayah Sinai.
Apa yang membuat China khawatir adalah para Muslim Uighur dan Chechen juga bergabung dengan para pejuang di Suriah dan Libya.
Benar bahwa China telah mengubah dunia, namun tampaknya mereka lambat untuk memahami bahwa China juga telah mengubah pandangan dunia terhadap mereka.
China tidak hanya akan menyadari bahwa sulit untuk tetap berada di tengah-tengah dalam berbagai konflik di Timur Tengah, namun mereka hanya bisa menyalahkan diri mereka sendiri atas reaksi balasan terhadap kejadian di Xinjiang yang mengusik nilai-nilai keislaman itu sendiri.
Kejadian Xinjiang ini amat berbeda dengan insiden sebelumnya, termasuk fatwa Khomaini terhadap novel Salman Rusydi atau boikot umat Muslim dunia pada 2006 terhadap produk-produk dari Denmark karena gambar kartun yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad ﷺ.
Kamp Pendidikan Ulang yang didirikan China menyebabkan Kongres Amerika membuat laporan yang menyebut kamp itu sebagai “Tempat Penahanan Terbesar di Dunia terhadap etnis Minoritas.”
Kebijakan keras China yang diterapkan di sana di antaranya adalah penahanan tanpa pengadilan, penuh pengawasan, pemberian doktrin politik, penyiksaan, pelecehan dengan alas an ‘menghilangkan unsur ekstrimis’, seperti dikutip The Guardian, sebuah surat kabar Inggris.
Baca: Pemerintah Komunis Wajibkan 11 Ribu Jamaah Haji China Pasang GPS
Organisasi Hak Asasi Manusia di China (CHRD) memperkirakan sekitar 1.1 juta orang atau sebanyak 10% dari populasi Muslim dewasa di Xinjiang tengah ditahan di kamp itu.
Human Rights Watch juga meliris laporan yang menjelaskan lebih rinci bagaimana para penghuni kamp itu diperlakukan.
Pihak China dengan mudahnya menganggap semua etnis Muslim Uighur sebagai pendukung Al-Qaeda dan garis keras. Kebijakan komunis China yang seperti itu adalah cara terbaik untuk membuat para Muslim Uighur semakin radikal.
Bukti-bukti yang semakin banyak menunjukkan bahwa kekerasan di Xinjiang adalah keadaan yang sempurna untuk munculnya aksi-aksi balasan dan keadaan akhir yang semakin tidak menentu.
Saat ini konflik besar abad ke-19 antara Rusia dan Inggris di Asia Tengah sedang dibangkitkan kembali, namun kali ini dengan pemain yang lebih banyak.
Akan sulit bagi China untuk tetap berada di tengah konflik. Tekanan besar China yang diberikan kepada etnis Muslim Uighur dapat betul-betul menunjukkan seberapa besar batas kebijakan luar negeri China yang kuno, yang saat ini juga tengah melibatkan kebijakan dalam negeri yang keras kepada orang-orang Muslim Asia Tengah.*
Penulis adalah associate fellow di Barcelona Centre for International Affairs. Artikel dimuat thearabweekly.com dan alghad.com diterjemahkan Ja’far Auzan Muzakki