Setelah 20 tahun, akhirnya AS keluar dari Afghanistan. Evakuasi ini membangkitkan memori pahit saat Negara yang mengaku ‘adidaya’ ini mundur dari kekalahan dalam perang Saigon-Vietnam
Oleh: Dhurorudin Mashad
Hidayatullah.com | TALIBAN kembali mencuri perhatian dunia. Setelah pemerintahannya 20 tahun lalu dirontokkan oleh gempuran pasukan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, pada Agustus 2021 Taliban berhasil tampil lagi memimpin Afghanistan.
AS menggempur pemerintahan Taliban sejak Oktober 2001 hanya bermodal tuduhan telah menyembunyikan Osama bin Laden dan sejumlah petinggi Al-Qaeda. Hal ini terkait serangan terhadap WTC pada 11 September 2001.
Pemerintahan Taliban memang tumbang. Namun eksistensi kelompok santri ini sebenarnya masih kokoh. Ia hanya sejenak undur ke pedalaman, untuk berikutnya kembali bergerak merebut satu demi satu desa dan kota dari tangan pemerintah “bentukan” AS.
Sejak saat itu, AS dan sekutunya terjebak dalam frustrasi panjang. Mereka dipaksa menghadapi energi perlawanan rakyat Afghanistan yang tak kunjung padam.
Amerika tampaknya tak belajar dari pengalaman kelabu Uni Soviet yang dulu bangkrut akibat invasi ke Afghanistan. Persis pada malam Natal 24 Desember 1979, Soviet menginvasi negeri itu atas permintaan rezim komunis Afganistan Nur Muhammad Taraki. Soviet mengerahkan 30.000 tentara dengan didukung tank, senjata berat, dan pesawat tempur.
Soviet akhirnya terjebak dalam perang berkepanjangan. Selama 10 tahun (1979-1989), Soviet kehilangan 14.453 tentara, 118 pesawat, 333 helikopter, dan 147 tank. Biaya yang dikeluarkan juga ratusan juta dollar. Walhasil, 15 Februari 1989 dengan kehilangan muka, Soviet harus angkat kaki dari Afganistan.
Kebangkrutan akibat perang telanjur menjadi salah satu faktor keruntuhan negeri komunis Soviet. Seiring munculnya revolusi damai Glasnost and Perestroika (Perubahan dan Keterbukaan) yang dicanangkan Mikhail Gorbachev tahun 1991.
Jebakan perang melawan Afghanistan akhirnya dialami AS juga. Bahkan, jika Soviet terperosok selama satu dekade (1979-1989), AS justru terperangkap dalam dua dekade (2001-2021) perang.
AS memang memiliki daya tahan lebih lama dibanding Soviet. Sebab dulu Soviet menanggung sendiri biaya perangnya, sedangkan AS melakukan keroyokan. Namun pasukan koalisi AS dan sekutu Baratnya, terbukti tak mampu meredupkan apalagi mengalahkan Taliban.
Sejak operasi militer tahun 2001, lebih dari 3.500 pasukan koalisi tewas, sekitar 2.300 di antaranya tentara AS, dan lebih 450 adalah tentara Inggris. Lebih dari 20.660 tentara AS cedera. Angka itu menjadi lebih besar jika ditambah aparat keamanan pemerintah Afghanistan “bentukan” Amerika, yang sampai tahun 2019 lebih dari 64.100 tewas.
Dari segi ongkos perang, total pengeluaran militer di Afghanistan sampai September 2019 (menurut Dephan AS) mencapai USD 778 milyar atau Rp 11.183 triliun. Jumlah itu masih ditambah biaya proyek rekonstruksi yang –menurut Badan Pembangunan Internasional yang bernaung di bawah pemerintah AS (USAID)— menghabiskan USD 44 miliar atau Rp 632 triliun. Total pengeluaran AS mencapai USD 822 miliar atau Rp 11.815 triliun.
Jumlah itu belum termasuk pengeluaran di Pakistan, sebagai lokasi AS mendirikan pangkalan militer untuk operasi tempur. Anggarannya mencapai USD 978 miliar atau Rp14.056 triliun.
Angka-angka itu akan terus membengkak jika ditambah anggaran periode September 2019- Juli 2021. Apalagi jika diakumulasi dengan pengeluaran sekutu AS di Afghanistan, seperti Inggris dan Jerman yang menghabiskan USD 30 miliar (Rp 431 triliun) dan USD 19 miliar (Rp 273 triliun).
Perang dua dekade ini telah menyebabkan AS dan sekutunya lelah bahkan frustasi. Tak ingin terperosok pada kebangkrutan sebagaimana dialami “mendiang” Soviet, pada 15 Agustus 2021 AS terpaksa angkat kaki dari Afganistan.
Sempat diwarnai insiden bom yang menewaskan 13 tentara di sekitar bandara Kabul, akhirnya AS keluar dari Afghanistan. Evakuasi tersebut tentu membangkitkan kembali memori pahit AS yang mundur dari Saigon-Vietnam, ketika kota itu direbut oleh milisi komunis pada 30 April 1975 silam.*
Peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)