Oleh: Declan Walsh dan Ben Hubbard
Hidayatullah.com |DALAM beberapa bulan sejak serangan rudal dan pesawat tak berawak atau drone secara luas dipandang sebagai tindakan Iran yang menyebabkan dua fasilitas minyak Saudi membara, putra mahkota Saudi telah melakukan langkah diplomasi yang biasa untuk mendinginkan ketegangan dengan musuh-musuh regionalnya.
Putra mahkota, Mohammad bin Salman, telah meningkatkan pembicaraan langsung dengan pemberontak yang telah diperanginya selama empat tahun, menghasilkan penurunan serangan oleh kedua belah pihak.
Dia membuat gerakan untuk meredakan, jika tidak mengakhiri, blokade ketat yang dia dan sekutunya lakukan pada tetangga kecilnya yang kaya raya, Qatar.
Dia bahkan terlibat dalam perbincangan tidak langsung dengan musuh bebuyutan kerajaan, Iran, untuk berupaya meredam perang bayangan yang berkecamuk di seluruh wilayah Timur Tengah.
Mendorong pergeseran sikap dari konfrontasi ke negosiasi, kata para analis, adalah kesadaran serius bahwa dasar kebijakan Amerika di Timur Tengah – pemahaman bahwa Amerika Serikat akan melindungi industri minyak Saudi dari serangan asing – tidak dapat lagi diambil begitu saja.
Meskipun para pejabat Saudi dan Amerika sepakat bahwa Iran berada di balik serangan 14 September terhadap pabrik pemrosesan minyak petroleum di Abqaiq dan Khurais, menyebabkan pengurangan produksi minyak Arab Saudi untuk sementara, Presiden Trump menanggapi dengan retorika panas tetapi sedikit.
Bagi Saudi, tanggapan panas itu menyadarkan bahwa meskipun puluhan miliar dolar yang telah mereka gelontorkan untuk senjata Amerika – lebih dari $170 miliar sejak 1973 – mereka tidak lagi dapat mengandalkan bantuan Amerika Serikat, setidaknya tidak dengan kekuatan yang mereka harapkan.
Khawatir karena harus berjuang sendiri di lingkungan yang sulit dan tidak terduga, para analis mengatakan, Saudi diam-diam telah berupaya berkomunikasi musuh-musuh mereka untuk mengurangi konflik.
“Saya pikir kita akan melihat serangan 14 September sebagai momen yang sangat berpengaruh dalam sejarah teluk,” kata David B. Roberts, seorang peneliti kebijakan asing, keamanan, pertahanan dan hubungan internasional Semenanjung Arab di King’s College London. Dengan runtuhnya anggapan bahwa Amerika akan melindungi Saudi, Dr. Roberts mengatakan, “mereka menyadari perlunya lebih akomodatif.”
Bagi Amerika Serikat, pergeseran menuju demokrasi adalah paradoks yang canggung. Pemerintah Trump dan Kongres AS telah menekan Saudi untuk mengakhiri perang di Yaman, dan telah mendorong mereka untuk berdamai dengan Qatar, yang sebagian besar sia-sia.
Saat ini, dugaan serangan Iran mungkin telah berbuat banyak untuk mendorong tujuan-tujuan ini daripada tekanan Amerika sebelumnya.
Kebijakan luar negeri Arab Saudi berubah menjadi agresif setelah MBS, saat itu berumur 29, muncul sebagai kekuatan pendorongnya pada tahun 2015. Dia menjerumuskan kerajaan ke dalam perang yang menghancurkan melawan pemberontak dukungan Iran di Yaman; memberlakukan boikot terhadap Qatar, yang dia tuduh mendukung terorisme dan nyaman dengan Iran; dan berjanji menghadapi Iran di seluruh Timur Tengah.
Para kritik mengatakan pangeran muda itu tidak sopan dan keras kepala, dan sebuah kekuatan tidak stabil di wilayah. Apalagi operasi militer Yaman dan Qatar gagal mencapai hasil yang diinginkan.
Perang di Yaman menjadi jalan buntu yang mahal dengan efek samping krisis kemanusiaan yang menghancurkan, sementara Qatar menggunakan kekayaan besarnya dan hubungan internasional lain untuk mengatasi blokade. Sementara serangan kilang minyak menyoroti kerentanan industri minyak Saudi, permata ekonomi negara itu.
Peristiwa-peristiwa itu mengarah pada apa yang dikatakan Rob Malley, pejabat pakar Timur Tengah di pemerintahan Obama, gambarkan sebagai sebuah “semi-kalibrasi” kebijakan Saudi. Kerelaan yang tiba-tiba untuk mengejar diplomasi di Qatar dan Yaman, katanya, “mencerminkan keinginan Saudi untuk memperkuat postur regionalnya di masa kerentanan dan ketidakpastian.”
Para analis melihat kurangnya respon signifikan Amerika terhadap serangan sebagai pukulan pada kebijakan yang dikenal sebagai doktrin Carter, berasal dari tahun 1980, ketika Presiden Jimmy Carter berjanji akan menggunakan kekuatan untuk memastikan aliran minyak bebas dari Teluk Persia setelah Revolusi Islam di Iran dan invasi Soviet atas Afghanistan.
Presiden berikutnya, Demokrat dan Republik, mendukung itu karena menganggap eksport minyak Saudi penting bagi kepentingan Amerika dan ekonomi global.
“Selama saya bekerja di Timur Tengah, itu adalah sebab kami di sana: untuk melindungi aliran minyak bebas,” kata Steven Cook, seorang pakar di Dewan Hubungan Luar Negeri, mengacu kepada periode yang berasal dari tahun 1980an.
Setelah serangan itu, Trump mengirim lebih banyak tentara Amerika ke Arab Saudi untuk mengoperasikan sistem rudal Patriot, dukungan yang jauh dari apa yang diharapkan Saudi dari seorang presiden yang mereka anggap teman dekat dan yang berbagi permusuhan terhadap Iran. Trump memerintahkan, kemudian membatalkan, serangan udara ke Iran.
“Apa yang orang Saudi tidak mengerti,” kata Dr. Cook, “adalah Donald Trump lebih dekat dengan pandangan dunia Barack Obama daripada yang mereka sadari. Ini tentang keluar dari Timur Tengah.”
Reputasi Saudi di Washington telah sangat menderita karena perang di Yaman, blokade Qatar dan pembunuhan penulis Saudi yang kritis terhadap kearajaan oleh agen Saudi di Istanbul pada tahun lalu.
Sementara kemarahan menyebar di Kongres dan bagian pemerintahan lain, Trump terus mendukung kerajaan sebagai sekutu Arab yang penting dan pembeli senjata Amerika yang dapat diandalkan. Tetapi di masa pemilihan presiden yang kurang menentukan, Saudi menyadari bahwa Trump dapat menemukan posisi itu sebagai pertanggungjawaban dengan pemilih, dan presiden baru dapat mengambil pendekatan yang benar-benar berbeda.
“Ini merupakan permintaan yang sulit, bahkan bagi Trump, untuk melindungi Arab Saudi di setiap kesempatan selama kampanye,” kata Emile Hokayem, seorang analis Timur Tengah di Institut Internasional untuk Studi Strategis. “Jadi Saya kira Saudi cukup pintar untuk menurunkan nada mereka untuk sementara waktu.”
Sikap menjaga jarak juga terjadi diantara Arab Saudi dan sekutu terdekat regionalnya, Uni Emirat Arab. Pada Juni, Emirat mulai menarik tentaranya dari Yaman, meninggalkan Saudi dengan beban perang buruk yang sedikit orang percaya mereka akan menang. Pada Juli, Emirat menjadi tuan rumah pembicaraan dengan Iran tentang keamanan maritim, sebuah upaya untuk meredakan ketegangan di Teluk Persia dan menjaga reputasi negara itu sebagai pusat bisnis yang aman.
Para pejabat Saudi tidak menanggapi permintaan untuk mengomentari diplomasi terbaru itu.
Sementara tawaran-tawaran itu belum menghasilkan kesepakatan resmi, itu telah mengurangi ketegangan di wilayah.
Di Yaman, kedua pihak telah membebaskan lebih dari 100 untuk menunjukkan niat baik, dan serangan lintas perbatasan oleh Houthi semakin jarang terjadi. Bulan lalu utusan Persatuan Bangsa-Bangsa ke Yaman, Martin Griffiths, melaporkan penurunan 80 persen serangan udara oleh koalisi pimpinan Saudi selama dua minggu sebelumnya.
Sejak itu, tidak ada penduduk sipil Yaman yang terbunuh dalam serangan udara, kata Radya Almutawakel, kepala Mwatana, sebuah kelompok HAM Yaman.
De-eskalasi baru-baru ini, catatnya, adalah yang pertama yang dihasilkan dari perundingan langsung dengan Houthi. Dia menduga Saudi tidak akan memilih rute itu jika perang terjadi pada saat serangan Abqaiq.
“Mereka tidak akan memilih untuk berbicara dengan Houthi,” katanya. “Mereka akan meningkatkan perang.”
Dalam pertikaian antara Arab Saudi dan sekutu-sekutunya dan Qatar, perkembangan yang ditunjukkan telah jarang tetapi perbincangan yang menenangkan telah melunakkan tepi konflik yang lebih kasar.
Akun-akun media sosial Saudi yang seringkali menghina Emir Qatar, Tamim bin Hamad al-Thani, tidak banyak bersuara. Dan sementara Qatar belum menutup jaringan satelit Al Jazeeranya seperti yang dituntut Saudi, kritik terhadap Qatar dari akun media sosial dan media pro-pemerintah di Arab Saudi telah sepi dalam beberapa bulan terakhir, pernyataan resmi Qatar mengatakan.
Alih-alih menghukum warganya yang bepergian ke Qatar, Arab Saudi saat ini melihat cara lain, dan bahkan telah mengirim tim sepak bola untuk bermain dalam turnamen di Doha, ibukota Qatar. Dan meskipun emir Qatar tidak menerima undangan raja Saudi, Raja Salman, untuk menghadiri pertemuan regional di Arab Saudi pada bulan ini, menteri luar negerinya hadir.
Qatar juga melakukan perkembangan di Washington. Pada awalnya ikut mendukung blokade, menyetujui dugaan Saudi bahwa Qatar mendukung terorisme, dia kemudian berubah haluan. Tahun lalu, dia menyambut emir Qatar di Washington dan bulan ini mengirim putri dan penasihat seniornya, Ivanka Trump, ke sebuah konferensi besar di Doha.
Tetapi antagonism terhadpa Qatar belum melunak di Emirat, yang telah menjadi pemimpin embargo dan yang telah melihat Qatar sangat dekat dengan kelompok Islamis di wilayah. Ketidakpercayaan itu dibalas oleh Qatar, di mana pejabatnya telah berbicara kemungkinan rekonsiliasi dengan Arab Saudi namun tidak dengan Emirat, secara efektif memecah aliansi mereka.
Kemajuan kongkrit adalah yang paling langka ketika taruhannya paling tinggi: antara Arab Saudi dan Iran. Tetapi setelah bertahun-tahun pernyataan panas dan bersaing mendukung pihak yang berbeda dalam konflik regional, pejabat dari Pakistan dan Iraq telah bertindak sebagai perantara untuk pembicaraan tidak langsung yang bertujuan untuk mencegah konflik yang lebih luas.
Masih belum jelas sejauh mana pembicaraan semacam itu akan mengurangi ketegangan, terutama sejak pembukaan resmi Saudi dengan Iran dapat membuat marah Trump, yang telah berupaya mengisolasi dan menghukum Iran.
“Washington tidak akan menganggap baik saluran Saudi-Iran di saat ketika AS sedang berupaya mengisolasi Iran,” kata Malley, pejabat pemerintahan Obama. “Tidak sepenuhnya mempercayai pemerintahan Trump adalah satu hal. Untuk secara terbuka menentangnya adalah hal yang sama sekali berbeda, dan Pangeran Mohammed tidak mungkin melakukan itu.*
Saeed al-Batati dan Shuaib Almosawa berkontribusi melaporkan dari Yaman. Artikel dikutip The New York Times