Oleh: Dhurorudin Mashad
Sambungan dari artikel pertama
Hidayatullah.com | PEMIMPIN tertinggi Taliban, Haibatullah Akhunzada, menginginkan pemerintahannya mendukung penyelesaian politik untuk konflik Afghanistan. Setiap peluang pembentukan sistem Islam, perdamaian, dan keamanan yang muncul dengan sendirinya akan dimanfaatkan oleh Emirat Islam Afghanistan.
Ketika bicara kekuasaan pada level negara, Taliban “wajah baru” menjadi tak bisa dipisahkan dari diplomasi dan negosiasi politik. Diplomasi atau perang hanyalah sarana untuk meraih kemenangan.
Bahkan, diplomasi pun hakikatnya merupakan perang dalam wujud lain. Keduanya sama-sama menjadi instrumen politik, yang akan dipakai sesuai kebutuhan dan situasi.
Kedua instrumen tadi tampaknya sedang dijalankan Taliban guna meredam munculnya musuh dari luar di saat Taliban sedang fokus menjinakkan musuh dalam negeri, yaitu pemerintah boneka yang disokong penjajah. Atas pertimbangan itu pula, Taliban dengan sigap menjalin hubungan diplomatik dengan Iran, Rusia, bahkan Cina yang oleh dunia Islam (bahkan Barat) disebut harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM terhadap kaum Muslim Uighur.
Tetapi bagi siapapun kelompok yang antipati pada Taliban, langkah inklusif tadi selalu dicurigai sebagai muslihat untuk mencari simpati. Menurut mereka, pelan tapi pasti Taliban akan kembali ke wajah aslinya, rezim yang oleh negara Islam Iran pernah disebut berwajah Islam abad pertengahan.
Bahkan, tampilnya kembali Taliban disebut akan berpengaruh pada tumbuh suburnya radikalisme di negara-negara lain.
Sudut pandang yang bertolak dari rasa antipati ini jelas sangat bermasalah, sebab analisis yang dilakukan telah digiring oleh imajinasi di kepala. Sikap antipati ketika dijadikan landasan analisis hanya akan melahirkan kesimpulan tak sahih bahkan cacat nalar, sehingga menghasilkan solusi menyesatkan.
Terperangkapnya AS dan sekutunya dalam perang dua dekade di Afghanistan adalah contoh dari hasil analisis tendensius dan menyesatkan. Akibatnya, tak pernah menghasilkan solusi (penyelesaian) secara paripurna.
Pendekatan Empati
Berdasar pengalaman kelam rontoknya kedigdayaan dua Super Power di Afghanistan: Soviet (1979-1989) dan AS (2001-2021), maka langkah yang paling bijak untuk mewujudkan perdamaian Afghanistan adalah empati (baca: bukan simpati). Semua pihak harus menganalisis Taliban melalui pendekatan empati. Yakni melihat Afghanistan dari sudut pandang masyarakat Afghanistan, melihat Taliban dari sudut pandang kaum Taliban. Untuk itu semua pihak perlu memahami kultur dan karakter yang melandasi perilaku Taliban.
Meskipun AS dan sekutunya membenci Taliban –yang karenanya “seluruh dunia” ikut memusuhinya– tetapi faktanya Taliban didukung mayoritas masyarakat Afghanistan. Atas dasar itu, AS dan berbagai kekuatan antipati perlu mulai memahami seluk beluk Pashtunwali dan menyikapi Taliban sesuai dengan prinsip tadi.
Barat harus berbicara dengan Taliban dengan menggunakan prinsip Pashtunwali. Sebab, seorang pemimpin suku Pashtun yang terhormat tidak bisa “menegakkan wajah” jika dia melanggar norma Pashtunwali.
Sikap kaku Taliban yang tidak menyerahkan Usamah bin Laden kepada AS di tahun 2001 misalnya, juga didasarkan pada premis ini. Padahal sikap itu harus ditebus dengan penyerangan oleh AS dan sekutunya.
Pimpinan Taliban saat itu, Mullah Omar, tak punya pilihan selain mematuhi Pashtunwali. Jika tidak, dia akan menghadapi pemberontakan di antara jajarannya sendiri.
Masalah bin Laden sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tradisi Islam, tetapi mengikuti prinsip tak tertulis yang telah berusia ribuan tahun. Yakni bahwa seorang Usamah bin Laden adalah tamu yang harus dilindungi, apalagi tamu yang sangat berjasa dalam perjuangan Afghanistan (periode pra-Taliban) ketika melawan penjajah komunis Uni Soviet.
Dalam konteks Pashtun dan atau Taliban, “harus diakui” bahwa kekuatan nilai dan tradisi terkadang lebih kuat daripada kekuatan agama. Oleh sebab itu, ketika menganalisis mereka dengan mencampurkan agama dengan nilai-nilai budaya akan menjadi kesalahan besar. Termasuk kecurigaan bahwa bila Taliban berkuasa, niscaya akan tumbuh subur radikalisme Islam dimana-mana.
Dalam konteks Taliban, analisis tadi sangat menyesatkan, sebab secara historis Pashtun berkarakter nasionalis bahkan etnosentris. Mereka konservatif dalam pendekatan untuk melestarikan dan menjaga Pashtunwali.
Berdasar logika itu, dapat diproyeksikan bahwa Taliban:
- Taliban tak akan pernah mengingkari “wajah baru” yang dijanjikan, sebab komitmen merupakan salah satu inti dari Pashtunwali.
- Tak akan pernah mengekspor tipe “keislamannya”, sebab Taliban adalah Muslim yang Pashtun, sebuah karakter etnis yang tak akan cocok diekspor ke (diterapkan di) wilayah lain. Justru sebaliknya, radikalisme Islam tampaknya akan menjadi subur bila Taliban –yang didukung oleh sebagian besar rakyatnya– selalu dimusuhi dari berbagai sisi. Afghanistan yang tak kunjung stabil justru akan menjadi wahana ideal tempat latihan kaum radikalis untuk melawan kaum kafir.
Sejarah masuknya para pejuang Muslim dari manca negara guna membantu Mujahidin Afghanistan ketika melawan komunis Soviet (sebelum lahirnya Taliban) kiranya menjadi pelajaran berharga. Sebab, seiring mundurnya Soviet dari Afghanistan (tahun 1989), para veteran perang Afghanistan –yang kala itu justru divasilitasi Barat melalui pembentukan Maktab al-Khadimat di negara-negara mereka– akhirnya pulang. Sebagian di antaranya bermetamorfosis menjadi oposan-kombatan terhadap pemerintahnya sendiri. Bahkan sebagian ada yang bergabung dalam jaringan al-Qaeda yang menjadikan Barat sebagai musuh utamanya.*
Baca artikel pertama “Wajah Baru” Taliban
Peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)