Oleh: Zaki Kaf Al-Ghazal
MINGGU ini menandai peringatan delapan tahun konflik di Suriah. Korban jiwa telah mencapai lebih dari setengah juta dan hamper setengah dari populasinya menjadi pengungsi baik di negaranya atau di luar negaranya sampai tahun lalu. Konflik itu telah mengubah kehidupan yang tak terhitung jumlahnya, dan di dunia di mana hampir tidak mungkin terkejut terhadap sesuatu, konflik ini masih memiliki kapasitas yang mengerikan untuk mengejutkan kita.
Sangat disayangkan akar dari perjuangan rakyat Suriah tidak lagi dibicarakan; untuk waktu yang lama, sekarang, fokus narasi resmi telah bergeser ke arah kontra terorisme karena kebangkitan ISIS. Bandingkan, misalnya, dukungan public untuk mencabut kewarganegaraan Inggris Shamima Begum karena bepergian ke wilayah ISIS dan menikahi seorang teroris, dengan keheningan terkait kewarganegaraan Inggris Asma Assad. Ini terlepas dari kenyataan bahwa kehilangan kewarganegaraan menyebabkan Begum tak memiliki negara – sesuatu yang disangkal oleh Departemen Dalam Negeri Inggris, namun kritik hukum atas keputusan kontroversial itu di luar cakupan artikel ini – sementara Asma Assad menikahi seorang pembunuh Massal.
Perjuangan rakyat Suriah dimulai sebagai perpanjangan Arab Spring 2011. Tumbangnya para diktator di Tunisia dan Mesir serta rakyat yang bangkit melawan rezim di Libya, Bahrain dan Yaman, menginspirasi rakyat Suriah. Beberapa anak kecil yang menulis grafiti di tembok-tembok Daraa – “Selanjutnya giliranmu, dokter [Bashar Al-Assad]” – dihukum berat. Alih-alih mereformasi dari dalam, dan memahami kesulitan yang dia hadapi, Presiden Assad merespon dengan cara yang akan dilakukan semua pemimpin kepolisian negara manapun dan menindak keras para demonstran di kota itu yang memprotes penahanan dan penyiksaan anak-anak.
Apa yang terjadi pada minggu-minggu, bulan-bulan dan tahun-tahun setelahnya sangat mengerikan dan telah menodai hati nurani kemanusiaan. Beberapa dekade setelah Holocaust dan genosida Rwanda dan Srebrenica – mantra “Tidak pernah lagi” masih terngiang-ngiang di telinga kita – kita telah menyaksikan ketidakpedulian yang lebih kejam terhadap kehidupan manusia. Dengan Suriah secara perlahan menghilang dari media mainstream, dan kelelahan akibat konflik yang terus merayap, kekejaman yang dilakukan rezim Assad terancam dilupakan atau, lebih buruk lagi, dilegitimasi.
Dalam konteks ini, yang mengkhawatirkan ialah beberapa negara yang baru-baru ini membuka kembali kedutaan mereka dan mendirikan kembali hubungan diplomatic dengan rezim. Sementara kabar baik datang dari pemerintah Inggris yang menolak melakukan langkah yang sama, namun Menteri Luar Negerinya mengakui bahwa, sayangnya, Assad tampaknya masih berkuasa. Realitas dalam kekuatan politik adalah satu hal, dan Assad memiliki sekutu dan pendukung yang sangat kuat di Rusia (anggota tetap Dewan Keamanan PBB), namun dia diubah menjadi tokoh seperti Hirohito. Ini di luar ranah akal sehat, menghadiahkan kebodohannya dan pada akhirnya melahirkan kebencian, yang pada saatnya, cenderung berkontribusi pada ekstrimisme di masa depan.
Serangan-serangan senjata kimia yang Assad lakukan kepada rakyatnya sendiri tidak beralasan tapi, sekali lagi, semakin menjauh dari pengamatan publik. Insiden Ghouta pada Agustus 2013, ketika rezim melancarkan serangan gas pada rakyatnya sendiri, mungkin diperdebatkan juga ketika gelombang konflik benar-benar bergeser dan Assad memahami bahwa dia dapat melancarkan serangan semacam itu dan kebal dari hukum. Fakta bahwa Museum Peringatan Holocaust AS telah mendidik pengunjungnya tentang kekejaman rezim Assad dan betapa mengerikan kondisinya. Di tahun-tahun mendatang, kita akan ditanya mengapa kita hanya diam dan membiarkan ini terjadi; di mana masyarakat internasional?
Kita saat ini sedang menyaksikan, bagaimanapun juga, kemajuan dalam upaya-upaya membawa mereka yang bertanggungjawab pengadilan. Dan hanya beberapa hari yang lalu, dalam langkah terobosan, para pengungsi Suriah di Jordania meminta Mahkamah Pidana Internasional untuk menindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan rezim Assad. Sebuah preseden hukum yang menarik dengan alas an “pemindahan penduduk secara paksa” terlihat untuk memperluas yuridiksi ICC meskipun Suriah bukan anggota Mahkamah dan Rusia akan menghadang semua upaya untuk membawa Assad ke Den Haag di PBB. Tidak ada jaminan ini akan berhasil, namun bagi jutaan rakyat Suriah ini setidaknya menawarkan secercah harapan; ini adalah cahaya di ujung terowongan.
Dengan demikian, setiap upaya untuk memungkinkan Assad mencalonkan diri menjadi kandidat dalam pemilihan presiden yang akan datang di Suriah atau menjadi bagian dari upaya rekonsiliasi politik akan gagal. Secara moral sangatlah patut dicela membiarkan seorang pria yang dianggap penjahat perang oleh rakyatnya tetap menjabat.
Sejarah akan menghakimi mereka yang hanya duduk dan menonton ketika konflik Suriah terbuka. Kita hanya bisa berharap, delapan tahun ke depan, “Tidak pernah lagi” benar-benar berarti “Tidak pernah lagi”.*/
Artikel diambil dari Middle East Monitor (MEMO), diterjemahkan Nashirul Haq AR