Ibarat magnet, kata yang satu ini mampu menyedot jutaan manusia untuk melakukan apa saja demi mencicipi kata ‘bahagia’ dalam sepenggal hidupnya.
Sayangnya sebagian manusia masih keliru memahami makna yang benar daripada bahagia (happiness). Setidaknya pemahaman tersebut bisa tergambar dari yang tercantum dalam kamus The Oxford English Dictionary (1963).
Kamus yang diakui sebagai standar Internasional itu memberi pengertian sebagai berikut; “good fortune or luck in life or in particullar affair, success, prosperity”. Sedang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (offline), “bahagia” disebut sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala hal yang menyusahkan). Kata bahagia juga bermakna, beruntung atau berbahagia.
Cendekiawan Muslim Adian Husaini, mengatakan, kaum sekular memandang kebahagiaan sebagai sesuatu yang ada di luar manusia. Ia bersifat temporal (sementara), sesuai keadaan yang ada (kondisional) serta bergantung kepada keadaan sekitar manusia.
Orang-orang sekular hanya bisa merasa bahagia sebagai perolehan atas suatu kenikmatan. Kalau ia berkuasa atau meraih sesuatu yang diinginkan, maka di situ ada kebahagiaan. Sedang jika orang itu jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Sebab ia tidak mengakui bahwa kekuasaan dan rezeki itu adalah anugerah dan pemberian mutlak dari Allah semata. Adapun manusia sekedar berusaha secara maksimal dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam ajaran Islam, bahagia adalah kondisi hati. Hati yang dipenuhi dengan cahaya iman sedang ia berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.
Imam Al-Ghazali menerangkan, semua bentuk ketakwaan dan kecintaan kepada Allah adalah buah dari ilmu yang bermanfaat. Sedang seluruh rangkaian ibadah dan amal kebaikan yang mendekatkan diri kepada Allah adalah kebahagiaan bagi orang beriman. Itulah hakikat sebuah kebahagiaan. Bahagia hanya bisa diraih sejak masa di dunia dengan cara mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya.
Senada, Syed Muhamad Naquib al-Attas menegaskan, urusan kebahagiaan tak hanya merujuk kepada sifat badan atau jasmani secara fisik saja. Ia bukan pula sekedar hasil fantasi nalar yang dinikmati di alam pikiran manusia. Tapi bahagia itu merujuk kepada keyakinan dan pengamalan berdasarkan apa yang diyakini tersebut (Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berarakter dan Beradab, 2102)
Lebih jauh, mari berkaca kepada lembaran sejarah, apa yang menjadikan sahabat Bilal ibn Rabah Radhiyallahu anhu (Ra) merasa bahagia? Sedang di saat yang sama Bilal justru sedang menjalani penyiksaan luar biasa oleh Majikannya, Umayyah ibn Khalaf. Apa yang membuat Bilal merasa bahagia dan tak bermasalah ketika dipanggang di tengah terik padang pasir? Apa yang menjadikan Bilal sanggup tersenyum sepanjang hari sedang dirinya “hanya” budak berkulit hitam yang dibebaskan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq? */Masykur Abu Jaulah (bersambung) ..’kimia kehabagiaan‘