EROPA saat ini sedang mengalami demam Piala Sepakbola UEFA 2016, suatu demam yang pastinya melanda seantero penjuru dunia termasuk tanah air.
Paris, Prancis, terutama sebagai tuan rumah UEFA kali ini tentunya paling bersemangat memaksimalkan kesempatan emas ini. Melihat para pemain tim nasional Prancis yang beragam etnis benak kita pun seakan diajak mengingat kembali kolonialisme salah satu imperium dunia ini.
Dari 23 skuad pemain nasional, tidak kurang tiga belas pemain berasal dari etnis non kulit putih, diantaranya asal Afrika, India Barat dan Laut Hindia. Meskipun terdapat kritik karena pemain keturunan asal koloni Prancis di Afrika Utara, seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia, awalnya tidak mendapat tempat dalam timnas kali ini, namun kemudian seorang pemain ditambahkan karena cedera pada seorang anggota timnas terpilih. Menilik sejarah kolonial dan postkolonial Prancis menggugah rasa penasaran kita karena negara ini merupakan salah satu imperium terbesar abad pertengahan khususnya dibawah Jendral Napoleon.
Selama berada di Prancis, penulis menyempatkan diri mengunjungi Museum ternama di pusat kota Paris, yakni Museum of the Army (Musée de L’Armée) dan makam Napoleon Bonaparte (Tomb of Napoléon), seorang yang sangat terkenal bahkan sampai ada yang menebar rumor keislamannya yang tampaknya sangat spekulatif dan meragukan. Army Museum didirikan tahun 1905 dan menggabungkan Museum Artilery dan Museum Sejarah Ketentaraan Prancis. Koleksi museum mencapai 500,000 objek, mulai dari objek tentara, beragam senjata, tameng, artileri, seragam militer, lambang kepangkatan militer, lukisan, dan miniatur benteng dan barak militer di koloni-koloni Prancis. Meski tidak termasuk museum militer termegah di dunia yang didominasi Amerika Serikat – faktanya tidak ada yang seboros dan seaktif AS dalam berperang di zaman ini–, Museum Ketentaraan ini menggambarkan banyak sejarah kemegahan Prancis abad pertengahan dibawah kepemimpinan Jendral Napoleon.
Terlahir pada Agustus 1769, Napoleon Bonaparte (wafat 1821M) mungkin memang telah ditakdirkan sebagai salah satu jendral terbesar dalam sejarah militer dunia. Bakat kepemimpinan Napoleon semakin terasah dan menjulang selama masa Revolusi Prancis (1789-1799) yang meletus untuk menggulingkan sistem kerajaan dan membangun tradisi politik baru yakni sistem republik.
Dibawah bendera ideologi kebebasan dan demokrasi yang baru muncul dari masa Pencerahan (Enlightenment), berbagai perang revolusioner dilancarkan Prancis dibawah kepemimpinan Napolen awalnya ke wilayah-wilayah Eropa dataran rendah seperti Belanda, Belgia, dan sekitarnya, daratan Italia, Timur dan kemudian meluas ke kawasan Mediterania dan bahkan sebagian wilayah benua Amerika. Keberhasilan militer Prancis ini telah membantu penyebaran ideologi republik, liberalisme dan demokrasi yang hingga saat ini masih merajai sistem ketatanegaraan mayoritas negara di dunia.
Sebuah sistem ideologi yang juga menawarkan norma-norma sosial yang progresif seperti legalisasi homoseksualitas, kesetaraan gender dan pergaulan bebas, legalisasi aborsi, dan ekonomi pasar/ kapitalisme.
Meski awalnya didorong oleh semangat anti kerajaan/ monarki dan pro-republik, Napoleon tidak kuasa menahan ambisi politiknya yang ditopang oleh kejeniusan dan prestasi militernya sehingga kemudian mengangkat dirinya sebagai Kaisar Prancis dan mendirikan sistem kekaisaran yang berlandaskan diktatorisme. Jabatan ini diduduki olehnya selama satu dekade dari 1804 hingga 1814, sebelum akhirnya ia tergulingkan pada Juni 1815 dan diasingkan ke pulau Saint Helena timur kota Rio de Jeneiro dan meninggal disana pada 1821M. Makam Napoleon akhirnya dipindahkan pada tahun 1840 dari Saint Helena ke Prancis dan dimasukkan kedalam Bangunan Gereja Kubah Invalides (Dome des Invalides)
Bangunan Kubah Invalides ini terletak persis di pelataran depan halaman kompleks Les Invalides (Hôtel des Invalides) , yaitu kompleks bangunan yang berisi museum ketentaraan dan dahulunya merupakan tempat tinggal korban peperangan. Memasuki Gedung Kubah (Dome des Invalides) ini pengunjung merasakan peninggalan gereja dimana banyak ornamen, lukisan dan simbol kekristenan.

Tepat di tengah bangunan akan langsung terlihat ruang tengah yang menampilkan makam Napoleon di lantai dasar dengan ornamen-ornamen patung khas Eropa. Bangunan ini juga menyimpan makam-makam perwira dan jenderal Prancis dari masa Revolusi Prancis, hingga masa penjajahan Prancis di Afrika Utara dan Perang Dunia.
Menariknya, terdapat sebuah makam yang ditulis dengan kaligrafi Arab dengan nama Lyautey (1854-1934), yaitu seorang jendral dan penjajah kolonial Prancis yang menduduki Maroko (Maghrib) dan dikenal sebagai pendiri Maroko oleh Prancis.*/Ady C. Effendy, MA, (BERSAMBUNG)