Sambungan artikel PERTAMA
Tulisan kaligrafi ini kurang lebih bermakna kecintaan akan negeri Maroko dan bangsanya. Kecintaan yang memantik keraguan besar mengingat bahwa kedatangan Prancis dan negeri-negeri penjajah Eropa di benua Asia, Afrika, dan Amerika tidak lain membawa misi eksploitasi sumber daya alam dan perbudakan penduduk aslinya. Lyautey sendiri dikenal sebagai seorang homoseksual dan cukup acuh tidak perduli dengan statusnya tersebut meski hidup dengan istrinya.
Suatu hal yang menjijikan dan paradoks dengan penghormatan yang diberikan padanya dan fakta peletakan makamnya dalam sebuah bangunan bekas Gereja. Inilah salah satu moralitas liberalisme yang menjadikan seorang figur mulia dan besar terlepas dari kerusakan moralitasnya dan melencengnya dari fitrah yang lurus.
Selesai mengitari gedung bekas gereja ini, saya menjelajahi Museum Ketentaraan dan Senjata yang terletak di belakang Dome des Invalides. Di pelataran halaman museum sudah dapat terlihat barisan meriam-meriam yang dahulu dipergunakan dalam peperangan. Didalam museum tertata rapi ribuan perlengkapan perang mulai dari rompi pelindung, pelindung muka, senapan model awal, pedang, senapan busur, tombak, tameng, meriam, miniatur tentara, ksatria berkuda dan lainnya.

Koleksi yang cukup menarik perhatian mungkin adalah koleksi persenjataan Oriental, yaitu senjata-senjata yang digunakan oleh pasukan-pasukan dari dunia Timur seperti Jepang dan juga Indonesia. Koleksi persenjataan Jepang yang terlihat diantaranya pedang samurai, baju perang ala jepang, kipas, belati, senapan, dan lainnya.
Dari Indonesia, tampak koleksi Keris dari tahun 1750 dari daerah Cirebon, Sumatra, Banten, Jawa, Madura, dan Bali.

Koleksi museum ketentaraan ini menunjukkan sebuah upaya pelestarian sejarah dan upaya nation-building yang memang menjadi agenda negara-negara di abad kontemporer saat ini.
Perhatian pada dunia timur pun sudah menjadi hal lazim bagi kekuasaan kolonial Eropa.
Namun meskipun secara legal kekuatan penjajah telah pergi dari negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika, namun penjajahan telah berubah kedalam model yang baru yakni neo-kolonialisme. Neo-kolonialisme mungkin tidak menjajah wilayah secara militer langsung namun mempengaruhi dan ‘menjajah’ dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya melalui kapitalisme, globalisasi dan hegemoni budaya.
Realitanya, penjajahan model baru inilah yang lebih sulit dihadapi karena tidak tampak langsung dan bekerja lewat pengaruh terhadap anak-anak bangsa yang bersedia tunduk pada hegemoni asing.*/Ady C. Effendy, MA