Hidayatullah.com | TALIBAN pada Senin mengumumkan berakhirnya perang selama 20 tahun di Afghanistan. Mereka mengklaim kemenangan menyusul pengambilalihan istana kepresidenan di Kabul dan hampir semua kota besar, termasuk Mazar-e-Sharif, Herat dan Kandahar, di tengah keluar pasukan pimpinan AS.
Ketika gerilyawan menyelesaikan pengambilalihan mereka di Afghanistan pada hari Ahad, adalah wajah Mullah Abdul Ghani Baradar, yang muncul di media.
Saat pejuang Taliban memasuki ibu kota Afghanistan, Kabul pada 15 Agustus, video Mullah Abdul diunggah di media sosial. Ia tampak gelisah di depan kamera, kepala biro politik Taliban ini menyampaikan pidato singkat di depan bendera putih Imarah Islam Afghanistan (Taliban).
“Kami telah mencapai kemenangan yang tidak diharapkan. Kita harus menunjukkan kerendahan hati di hadapan Allah,” katanya, tampak terkejut dengan jatuhnya Kabul secepat kilat. “Sekarang saatnya menguji dan membuktikan, sekarang kita harus menunjukkan bahwa kita bisa mengabdi pada bangsa kita dan menjamin keamanan dan kenyamanan hidup,” tambah Baradar seraya menghimbau para pejuangnya untuk tetap disiplin setelah menguasai kota.
Kata-katanya yang lembut tidak menghilangkan ketakutan ribuan warga Afghanistan, yang sebelumnya bergegas ke bandara Kabul untuk menghindari pengambilalihan Taliban.
Baradar, yang telah lama menjabat dengan wajah moderat, kemungkinan akan kembali berkuasa setelah 20 tahun di pengasingan. Fokusnya untuk mendapatkan dukungan rakyat Afghanistan mengingatkan kembali pada hari-harinya sebagai komandan militer, setelah pasukan AS dan pasukan koalisi menggulingkan Taliban pada tahun 2001.
Baradar memerintahkan pada tahun 2009 bahwa prajurit Taliban membawa sebuah buku pegangan kecil tentang bagaimana memenangkan hati dan pikiran penduduk desa, lapor New York Times . “Kode etik” ini, mencakup nasihat tentang bagaimana menghindari korban sipil dan jarang menggunakan serangan bunuh diri untuk menghindari serangan balasan, mencerminkan naluri politik sang mullah bahwa Taliban harus meningkatkan dukungan rakyat setelah pemerintahan mereka yang ‘sangat dicemaskan Barat’ antara tahun 1996 dan 2001.
Diplomat top Taliban
Dia melarikan diri ke Pakistan setelah invasi pimpinan AS menggulingkan pemerintah Taliban dan kemudian ditangkap Pakistan pada tahun 2010. Ia ditangkap dalam sebuah operasi di dekat kota Karachi oleh agen-agen yang tergabung dalam Inter-Services Intelligence (ISI), agen mata-mata Pakistan yang kuat.
Dia difoto dan diarak dengan rantai dalam upaya untuk menunjukkan kepada Washington bahwa pihak berwenang Pakistan menganggap serius perburuan mereka terhadap gerilyawan Taliban.
Ia kemudian dibebaskan pada 2018 ketika AS mengintensifkan upayanya untuk meninggalkan Afghanistan. Ulama itu diterbangkan ke Qatar dan menjadi bagian dari tim perunding Taliban.
“Baradar adalah komandan militer yang sangat berpengalaman dan ahli strategi politik yang tajam dan memainkan peran utama dalam mengorganisir pemberontakan di tahun-tahun pembentukannya,” Kate Clark, anggota Jaringan Analis Afghanistan.
Sejak saat itu, ia menjadi salah satu wajah tokoh Taliban yang paling terkenal, meningkatkan pengaruh diplomatik kelompok itu.
Jika Haibatullah Akhundzada adalah pemimpin keseluruhan Taliban, Baradar lebih dikenal sebagai kepala politik dan wajah paling populer dari kelompok bersenjata itu.
Sementara kekuasaan Taliban pertama (antara 1996-2001) hanya diakui tiga negara –Pakistan, Arab Saudi, dan UEA– Baradar menemui dengan beberapa pejabat penting asing dalam upaya untuk mengamankan pengakuan global. Pada September 2020, ia mengadakan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri AS saat itu Mike Pompeo, yang masih berharap keluarnya AS secara bermartabat dari Afghanistan.
Bulan lalu, dia memimpin delegasi ke China untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi. Kunjungan yang sekarang membuahkan hasil: Beijing mengatakan pada 16 Agustus bahwa pihaknya menantikan hubungan “persahabatan dan kooperatif” dengan rezim baru Taliban.
Menurut Japan Times, perwakilan Taliban yang dipimpin Mullah Baradar, disambut dari Beijing ke Moskow, di mana Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov bulan lalu menyebut mereka “orang-orang yang berakal.” Kelompok ini memiliki kehadiran media sosial dan tim media responsif yang mengatakan semua hal yang benar: Ia menginginkan pemerintahan yang inklusif, tidak akan membalas dendam pada lawan politik, diplomat aman dan investor tidak akan mengalami kesulitan: “Tidak seorang pun harus khawatir tentang hidup mereka, ”katanya dalam sebuah pernyataan selama akhir pekan.
Mullah Badar terus menggalang dukungan. Tahun 2019, ia mendatangi Indonesia. Bertemu dengan beberapa pihak untum membangun diplomasinya.
Mullah Abdul Ghani Baradar bertemu pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di kantornya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Beranggotakan delapan orang, mereka juga bertemu dengan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla di rumah dinasnya di kawasan Menteng, Jakarta, meminta Indonesia menjadi mediator perdamaian di Afghanistan.

Delegasi ini juga mendatangi kantor Pengurus Besar Nahdaltul Ulama (PBNU) Jakarta. Mereka diterima langsung KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU dan jajaran pengurus lainnya, termasuk Robikin Emhas.
Bagi NU, kehadiran tokoh Afghanistan ini, sebelumnya pada 2014 pernah terjadi. Para ulama Afghanistan telah secara kompak menghimpun diri dalam NUA (Nahdlatul Ulama Afganistan) sebagai awal upaya perdamaian.
Kehidupan di belakang diplomat ulung ini, ada seorang komandan militer yang tangguh dengan sebuah keyakinan agama yang kuat, tentang bagaimana dunia seharusnya.
Pertama Soviet, lalu Amerika
Lahir pada tahun 1968 di desa Weetmak, Abdul Ghani Baradar dibesarkan di kota Kandahar, Afghanistan selatan, tempat kelahiran gerakan Taliban. Dia seorang mujahidin yang berberjuang selama perang 1979 – 1989 untuk mengusir penjajah Uni Soviet (sekarang Russia) dari Afghanistan, yang menarik ribuan pejuang Islam dari seluruh dunia dan mempererat hubungan pribadi antara kelompok jihad Afghanistan. Pada saat inilah dia bertemu Mullah Omar, seorang ulama yang kehilangan satu mata selama pejuangan membebaskan Soviet dan kemudian menjadi pemimpin tertinggi Taliban.
Setelah Rusia diusir pada 1992, Afghanistan jatuh ke dalam perang saudara antara panglima perang yang bersaing. Di tengah kekacauan dan perang saudara yang meletus setelah penarikan Soviet, Baradar mendirikan madrasah di Kandahar bersama Omar.
Dari madrasah-madrasah di Afghanistan selatan dan kamp-kamp pengungsi Afghanistan di Pakistan keduanya kemudian mendirikan gerakan Taliban pada awal 1990-an. Maraknya korupsi di kalangan pejabat dan kekacauan politik pasca perang, popularitas Taliban makin naik di mata publik.
Menurut laporan BBC, kedua pria itu bahkan mungkin telah menjadi saudara ipar setelah Baradar menikahi saudara perempuan Mullah Omar. Baradar, telah menjadi pejuang sepanjang masa dewasanya, kecuali selama lima tahun Taliban menguasai Afghanistan (1996 – 2001).
Dia sudah menjadi tokoh Taliban terkemuka dan memegang posisi wakil menteri pertahanan Afghanistan ketika pasukan AS menyerbu negara itu dan menggulingkan rezim setelah serangan 9/11.
Afghanistan Baru
Selama 20 tahun di pengasingan, Baradar memiliki reputasi sebagai pemimpin militer yang kuat dan operator politik yang halus. Para diplomat Barat memandangnya sebagai orang yang paling resisten terhadap kontrol ISI, dan paling setuju dengan kontak politik dengan Kabul.
Dalam pernyataannya, dia bereaksi terhadap masuknya gelombang pasukan AS dan asing di Afghanistan dan mengatakan bahwa Taliban ingin menimbulkan kerugian maksimum pada Amerika. Dia juga bersumpah untuk melanjutkan “perjuangan” kelompoknya sampai pengusiran musuh dari tanah Afghanistan.

Dunia masih memiliki kesulitan tentang bagaimana nanti pemimpin baru Afghanistan di bawah Mullah Baradar akan memerintah negara itu. Jika melihat sepak terjangnya di dunia diplomasi, Mullah Baradar, yang sering tampil di depan umum sejak mengambil kembali kendali Afghanistan dikenal lebih moderat.
Hal ini bisa disaksikan kembali dalam penampilan pertamanya pada hari Ahad saat menalukkan Kabul. Pemimpin politik berkacamata itu berbicara dengan nada lembut dan mendesak anggotanya tetap untuk tenang, menghindari pertumpahan darah.
Beberapa analis internasional berharap Taliban akan lebih moderat dari sebelumnya. “Jika Taliban menyimpang dan tetap sama, ideologi dan daya tarik mereka akan berakhir,” kata Rashid Ahmad Khan, bekas pengajar hubungan internasional di beberapa universitas Pakistan yang telah menulis banyak tentang kelompok itu selama beberapa dekade. “Jika mereka melemahkan sistem Islam mereka sendiri, mereka akan mengikis otoritas politik mereka sendiri,” tambahnya.
Namun juru bicara Taliban Mohammad Naeem mengatakan Al Jazeera TV, kelompok itu “tidak ingin hidup dalam isolasi’ dan mengajak hubungan internasional yang lebih damai.
Dalam sebuah laporan, setelah merebut Kabul pada hari Ahad, pejuang Taliban bergerak untuk memenangkan penduduk setempat. Seorang pejabat Taliban membagikan pesan WhatsApp, menawarkan nomor telepon yang mudah dihubungi jika ada warga menghadapi ancaman “preman” yang berusaha memanfaatkan kekosongan kepemimpinan. Mereka juga mendirikan pos pemeriksaan di jalan-jalan utama, kata Mohamood Qaderi, seorang mahasiswa Universitas Kabul.
Sementara AS dan sekutunya hari Senin mengatakan pengakuan terhadap pemerintah yang dipimpin Taliban tergantung pada kesediaan kelompok itu untuk menciptakan diskusi inklusif, khususnya mencakup hak perempuan dan kelompok minoritas.
20 tahun bergerilya dan bertahan dalam nafas perjuangannya, Mullah Baradar mungkin akan jauh lebih berpengalaman. Saat pria berusia 53 tahun ini memasuki istana kepresidenan Kabul, dia mungkin mengingat kembali perjuangan di masa lalu, ketika mengangkat senjata mengusir Uni Soviet, dan selanjutnya Amerika.
Sekarang saatnya ia perlu membuktikan visi keagamaannya dipegang teguhnya untuk menjamin ketenangan dan kedamaian. Yang tak kalah penting, kelapangan hati warga dunia, membiarkan rakyat Afghanistan mengatur sendiri jalan hidupnya yang sudah lama menderita.*