Muslim di Afrika telah mengenal penyembelihan dan makanan halal ratusan tahun, bahkan ketika bangsa Eropa masih mengkonsumsi babi
Hidayatullah.com | ERA tahun 80-90 di Indonesia mulai marak desakan lembaga halal. Era berikitnya, sekitar tahun 2000-an disusul munculnya kajian-kajian, buku-buku bahkan banjir produk-produk halal.
Tapi tahukan Anda, sejak abad ke-12, komunitas Muslim awal di Afrika telah mengenal makanan bahkan diet makanan halal dan penyembelihan halal. Hal ini ditunjukkan setelah penemuan ribuan tulang binatang purba.
Praktik penyembelihan halal telah menjadi hal umum ketika Islam menyebar melalui Ethiopia, saat komunitas Muslim yang hidup berkembang dengan pengaruh impor dan ekspor produk di sekitar Laut Merah, Mesir, India, dan Jazirah Arab, kata temuan para arkeolog.
Arkeolog yang dipimpin oleh Timothy Insoll dari University of Exeter menunjukkan bawah penduduk di wilayah Harlaa, Harar, dan Ganda Harlaa di timur Ethiopia telah memulai makan makanan halal sekitar 400 tahun sebelum masjid besar dan situs pemakaman didirikan di wilayah tersebut , demikian pernyataan yang dirilis oleh University of Exeter, Mei 2020 lalu.
Insoll menjelaskan, bagaimanapun, bahwa pemeluk awal Islam ini mungkin telah membangun masjid lebih kecil yang belum ditemukan. Kesimpulan para peneliti ini setidaknya setelah memeriksa sekitar 50.000 tulang hewan yang berasal dari abad kedelapan atau kesembilan Masehi, menemukan bukti teknik penyembelihan halal yang diduga telah diperkenalkan oleh pedagang Muslim yang safar (bepergian).
Penduduk mungkin telah mengadopsi praktik keagamaan secara pragmatis, kata Insoll. Yang menarik, tidak ada sisa-sisa babi–yang sangat dilarang dalam Islam– diidentifikasi di Harlaa dan Ganda Harlaa, meskipun hewan tersebut mungkin telah dimakan oleh pengunjung atau penduduk non-Muslim.
Peneliti tidak menemukan tulang daging babi, babi hutan, aardvark (babi tanah di Afrika), landak, kelinci, gennet, luwak, dan macan tutul. Sebaliknya, warga Harlaa menyantap ikan laut asin kering yang didatangkan dari kawasan Laut Merah.
Hal ini amat berbeda dengan kebiasaan orang Eropa. Tiga tahun lalu, sekelompok ilmuwan asal Eropa tertarik mengetahui pola diet ratusan tahun lalu, untuk menilik bagaimana kondisi kesehatan manusia saat itu. Proyek yang dipimpin Martin Søe bersama rekan-rekannya dari Universitas Kopenhagen dan Universitas Aarhus, memulai penelitian dengan menggali kotoran kuno dari kakus purbakala.
Dengan meneliti sampel tinja yang berasal dari awal abad ke-11 sampai abad ke-18 di Eropa Utara, termasuk Denmark, Belanda, dan Lithuania, Dengan berbahan sampel berusia 400 tahun, para peneliti dapat mengambil telur parasit untuk analisis DNA, Søe dan timnya akhirnya berhasil menarik kesimpulan makanan yang dikonsumsi manusia Eropa ratusan tahun lalu, termasuk makanan babi.
“Kita melihat orang Eropa Utara mengonsumsi banyak ikan, karena (ditemukan parasit) cacing pita di ikan,” katanya. Sementara itu, sampel yang ditemukan di Denmark dari tahun 1600-an, tim Søe mendeteksi telur cacing pita yang hanya muncul ketika makan babi mentah atau babi setengah matang. Selain cacing pita yang berhubungan dengan ikan dan babi, mereka juga menemukan DNA paus sirip di kakus Denmark pada zaman Viking,” katanya dilansir NPR, Rabu (25/4/2018).
Penyembelihan Halal
Tim, yang dipimpin oleh Profesor Timothy Insoll, dan melibatkan arkeolog Jane Gaastra dari Institut Studi Arab dan Islam Universitas Exeter, menemukan bukti pertama di Afrika untuk penyembelihan halal kuno selama penggalian, di Harlaa, Harar, dan Ganda Harla.
“Kami tidak berharap menemukan tulang dengan kualitas dan kuantitas seperti ini. Mereka terawetkan dengan sangat baik sehingga kami dapat dengan jelas melihat luka dan bukti keausan. Kami juga menemukan tulang di daerah pemukiman dan tempat kerja, ” kata Profesor Insoll di Journal of African Archaeology. “Ini adalah informasi baru yang signifikan tentang identitas agama masyarakat pada saat itu. Ini menunjukkan pada masa awal Islam di wilayah tersebut orang-orang baru mulai mengadopsi praktik keagamaan, sehingga terkadang pragmatis dan tidak mengikuti semuanya.”
Dengan analisis keausan pada tulang, peneliti menemukan masyarakat menggunakan hewan ternak untuk membajak dan membalik batu gerinda. Mereka juga memanfaatkan spesies hewan lain seperti unta, kuda, dan keledai, untuk pengangkut dan membawa barang dagangan dan komoditas lainnya.
Analisis data usia tulang sapi di Harlaa menunjukkan 80 hingga 90 persen hewan bertahan hidup di atas usia tiga tahun, menunjukkan bahwa mereka disimpan untuk susu atau untuk bekerja daripada dibiakkan untuk dimakan.
Teknik penyembelihan halal serupa digunakan di ketiga situs tersebut, menunjukkan pengaruh pedagang Muslim yang tiba di daerah tersebut dan penyebaran Islam ke Harlaa pertama kali, kemudian Harar dan Ganda Harla.
Di Harlaa, peneliti juga menemukan bukti adanya konsumsi ikan laut yang diimpor dari Laut Merah berjarak sekitar 120 kilometer. Ini semua telah diproses sebelum dikirim ke Harlaa, baik dalam bentuk kering atau asin untuk mengawetkannya.
Studi ini menunjukkan bahwa sisa-sisa makanan yang dimakan dapat memberikan informasi yang sangat penting tentang makanan ratusan tahun yang lalu, tetapi juga pengasuh konversi agama, perdagangan, dan penggunaan hewan untuk keperluan transportasi dan pekerjaan di Masyarakat Islam di Afrika yang selama ini banyak diabaikan oleh para arkeolog.
Harlaa didirikan pada abad ke-6 dan ke-7 sebelum Islam masuk ke Ethiopia. Wilayah ini ditinggalkan pada abad ke-15 ketika Harlaa dan Ganda Harlaa didirikan, mungkin karena adanya wabah atau perubahan lingkungan, dan dengan meningkatnya penyebaran Islam, tempat-tempat pertanian yang lebih baik dapat ditinggali.*