Di Minangkabau, lembaga pendidikan Islam yang berfungsi seperti pesantren dikenal dengan istilah surau yang melahirkan cendikiawan ulama bergelar Tuanku
Oleh: Jemmy Ibnu Suardi
Hidayatullah.com | SURAU sebagaimana dijelaskan oleh Sidi Gazalba dalam bukunya Mesdjid, Pusat Ibadat dan Kebudajaan Islam, merupakan unsur dari kebudayaan yang asli dalam kepercayaan asli sebelum datangnya Islam, yang digunakan sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi lelaki Minangkabau.
Dalam bukunya tersebut yang terbit tahun 1962, Sidi Gazalba memberikan uraian panjang tentang peran dan fungsi surau dengan mencontohkan kehidupan masyarakat Mentawai yang masih dalam keadaan asli, dimana bangunan yang sejenis dengan surau masih menjalankan fungsinya dalam kebudayaan dan kepercayaan pra-Islam.
Sebagai kebudayaan asli, surau di Mentawai disebut dengan uma yang merupakan sebuah rumah besar sebagai tempat indu. Di sana berlangsung semua aktivitas kehidupan kaum, di sana juga disimpan semua barang.
Uma juga digunakan sebagai tempat kudus dalam melakukan upacara-upacara keagamaan dan juga sekaligus tempat kediaman.
Dalam perkembangannya, Gazalba mengatakan bahwa tidak semua uma dijadikan tempat kediaman. Ada juga uma yang secara khusus hanya menjadi tempat bertemu, berkumpul, berapat dan tempat tidur bagi bujang dan duda.
Uma ini dinamakan dengan uma galangan, rumah besar sejenis uma ini, banyak juga terdapat di daerah-daerah lain yang merupakan bagian dari kebudayaan asli. Sebut saja uma yang ada di daerah Dayak, Toraja Timur, di daerah Batak dan lain sebagainya.
Di Minangkabau sendiri, rumah besar itu disebut dengan “Rumah Gadang.”
Pada mulanya, surau dalam adat Minangkabau adalah kepunyaan kaum atau indu. Bangunan yang dibuat untuk tempat berkumpul memutuskan mufakat, tempat bermalam bagi perjaka dan duda.
Di bangun berdekatan dengan rumah gadang. Dalam adat Minangkabau, lelaki yang belum menikah tidak disediakan kamar di rumah gadang, kamar yang ada hanya disediakan bagi perempuan dan suaminya.
Begitupun duda yang meninggalkan anak-istrinya, mereka tinggal di surau. Bahkan surau pun tak jarang dijadikan tempat pelarian bagi lelaki di Minangkabau, jika mereka sedang bertengkar dengan orang rumahnya. Istilahnya dalam bahasa Minang disebut baganyi.
Jika seorang suami sedang baganyi dengan istrinya, dia akan menenangkan diri di surau, setelah perasaan tentram, suami akan pulang lagi ke rumah istrinya. Bahkan hingga kini, sering budaya ini dilakukan oleh lelaki Minang.
Ketika Islam datang ke Minangkabau, terjadi Islamisasi terhadap surau. Masuknya Islam bukan menghilangkan peran lamanya, justru peran surau ditambah dan diperkuat, dijadikan sebagai pusat pendidikan Islam, ini adalah taktik dakwah yang bijaksana.
Surau dijadikan tempat yang menjalankan kebudayaan seperti tempat mengaji, memperdalam agama, mempelajari adat, asrama bagi siswa yang belajar agama, tempat merayakan hari-hari besar Islam, tempat upacara keagamaan, tempat suluk, tempat bertemu, berkumpul, rapat, beramah-tamah, tempat tidur bagi para perjaka, penginapan musafir, berkesenian seperti qasidah dan gambus juga tempat latihan silat, ilmu beladiri.
Jadi, fungsi masjid sebagai lembaga kebudayaan, banyak diambil alih oleh surau. Apabila salah satu fungsi surau diatas, yaitu tempat menuntut ilmu menjadi intensif, maka surau akan beralih fungsi menjadi madrasah atau pesantren.
Inilah kemudian yang menjadikan fungsi utama surau dalam peradaban Islam di Minangkabau. Surau dijadikan tempat pendidikan. Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, terminologi pesantren tidak begitu dikenal hingga beberapa dasawarsa terakhir.
Di Minangkabau, lembaga pendidikan Islam yang berfungsi seperti pesantren dikenal dengan istilah surau yang melahirkan cendikiawan ulama bergelar Tuanku, warisan intelektual Syeikhul Islam, Syeikh Burhanudin Ulakan abad 17.
Ketika masa awal kemerdekaan, dari institusi surau banyak melahirkan tokoh-tokoh pemimpin pejuang yang berperan besar dalam politik perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, sebut saja Muhammad Natsir, Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Abdoel Moeis, Bagindo Azis Chan, Buya Hamka dan banyak lagi.
Mereka adalah pemimpin pejuang yang dengan ikhlas berkorban untuk rakyat. Tidak heran jika tokoh-tokoh yang berperan penting dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia tersebut lahir dari rahim pendidikan tradisional surau Minangkabau, karena kehidupan orang-orang yang tinggal di surau begitu dinamis.
Ditanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dari mulai persoalan fardhu ‘ain seperti ilmu tauhid keagamaan sampai soalan fardhu kifayah seperti memilih pemimpin dalam kaum dan mengatur sosial kemasyarakatan di setiap nagari.
Surau memainkan peran penting dalam mengeluarkan produk sosial yang berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menjelang pemilihan pemimpin nasional, Presiden Republik Indonesia 2024, kaum Surau terutama para cerdik cendika, ulama tuanku harus memberikan pengarahan dan pendampingan guideline untuk masyarakat awam, agar menyalurkan aspirasi politiknya di jalan yang benar, sesuai dengan konsep-konsep Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan ikhtiar agar terpilih pemimpin pejuang yang bisa melakukan perubahan untuk bangsa dan negara yang lebih baik. Jangan sampai umat Islam salah memilih pemimpin yang berdampak buruk bagi masyarakat luas secara umum.*
Khadim Surau Miftahul Istiqamah Banten