Oleh: Neng Djubaedah
PERMOHONAN Judicial Reviews (JR) atas Perkara No. 46/PUU-X1V/2016 mengenai Pasal 284 KUHP (zina) Pasal 285 KUHP (perkosaan terhadap perempuan), Pasal 292 KUHP (perbuatan cabul sejenis kelamin terhadap orang belum dewasa) adalah hak setiap warga negara Republik Indonesia yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 284, Pasal 285, Pasal 292 KUHP.
KUHP bersumber pada Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch – Indie diubah menjadi Wetboek van Strafeecht yang dibuat oleh Belanda dan berlaku di Indonesia sejak Januari 1918.
Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dan UU No. 73 Tahun 2958 Wetboek van Strafrecht yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Pasal 284 KUHP yang mengatur hukuman bagi orang di Indonesia yang melakukan overspel atau permukahan atau hunungan kelamin di luar nikah atau zina adalah hanya bagi lelaki yang sedah terikat perkawinan dan perempuan yang sedang terikat perkawinan dengan pasangan zinanya yaitu perempuan bukan isterinya, atau lelaki bukan suaminya.
Uji Materi KUHP Pasal 284,285 dan 292 Penting Selamatkan Moral Bangsa
Artinya, hubungan kelamin di luar nikah yang dilakukan antara bujang dengan gadis atau janda, atau antara duda dengan gadis atau janda yang sama-sama telah dewasa dan dilakukan atas dasar suka sama suka, atau atas persetujuan keduanya, atau atas kerelaan masing-masing pihak, maka hubungan kelamin luar nikah tersebut tidak termasuk tindak pidana zina.
Hal ini berarti KUHP tidak melindungi bujang, gadis, janda, duda yang sama-sama dewasa dan sama-sama suka melakukan hubungan kelamin luar nikah, yang mana zina adalah dilarang dalam Hukum Agama, khususnya Hukun Islam, dan Hukum Adat setempat.
Orang-orang yang melakukan perkawinan yang tidak dicatat atau perkawinan di bawah tangan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Karena itu, Pencatatan Perkawinan, menurut Penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 adalah kewajiban administratif bagi setiap warga negara Indonesia. Demikian pula ketentuan yang dimuat dalam pertimbangan hukum dalam Putusan MK No. 46/PUU-VIII/ 2010, tanggal 17 Februari 2012.
Lalu, bagi orang yang melakukan perkawinan siri, atau perkawinan yang disembunyikan, asalkan perkawinan itu sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, adalah perkawinan yang sah.
Dengan demikian setiap perkawinan yang memenuhi Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 adalah bukan tindak pidana zina, maka terhadap pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan adalah tidak dapat dikenakan Pasal 284 KUHP, apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan perubahan frase atas Pasal 284 KUHP sebagaimana permohonan para Pemohon.
Kecuali terrhadap perkawinan yang tidak atau belum dicatat, atau perkawinan siri yang tidak memenuhi rukun dan syarat mutlak perkawinan, misal pekawinan tanpa wali nikah bagi orang Islan, atau perkawinan tanpa disaksikan oleh dua orang saksi lelaki yang memenuhi syarat, maka perkawinan tersebut adalah tidak sah.
Kumpul Kebo yang dilakukan oleh setiap warga Negara Indonesia memang tidak diatur dalam KUHP, karena itu bagi orang yang melakukan kumpul kebo tidak dapat dilakukan tindakan hukum, kecuali bagi Pegawai Negeri Sipil yang dilarang melakukan hidup bersama antara lelaki dan perempuan sebahai suami isteri tanpa ikatan perkawinan yang sah (Pasal 13 PP No. 10 Tahun 1983 diubah PP No. 45 Tahun 1990).
Sosiolog Dukung Perluasan Makna Zina, Hukum Buatan Penjajah Dinilah Rusak Bangsa Indonesia
Karena itulah para Pemohon mengajukan permohonan JR atas Pasal 284 KUHP adalah untuk memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara Indonesia dari perbuatan zina sesuai Pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945.
Mengenai anggota masyarakat pengahayat kepercayaan sudah diatur dalam Pasal 105 UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan juncto PP No. 37 Tahun 2007 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Bab X tentang Persyaratan dan Tata Cara Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan, Pasal 81 sampai dengan Pasal Pasal 83 (lihat Neng Djubaedah, buku Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Sinar Grafika, 2010).
Jadi .. tidak benar jika para penghayat kepercayaan tidak dilindungi oleh Negara Republik Indonesia di bidang perkawinan.*
Penulis Dosen Hukum Islam di Fakultah Hukum UI