Hidayatullah.com—Sidney Jones, Direktur International Crisis Group (ICG), menyatakan bahwa permintaan perpanjangan izin kerjanya di Jakarta telah ditolak dan ia diancam akan diusir dari Indonesia. Sidney Jones berpendapat bahwa ia beserta empat anggota staf lainnya diminta meninggalkan Indonesia karena pemerintah menganggap laporan-laporannya itu bias. Tetapi jurubicara Deplu, Marty Natalegawa, mengatakan, soal Sidney Jones merupakan soal izin kerja biasa yang telah dibesar-besarkan. Marty Natalegawa mengatakan, pemerintah tidak akan membiarkan situasi itu dikesankan seolah-olah Indonesia menentang kebebasan pers, kebebasan berkumpul atau apa saja. Ia mengatakan, bahwa untuk semua orang ada prosedur yang perlu diikuti sejauh yang menyangkut izin kerja dan visa — semua itu merupakan bagian dari hidup dan bekerja di luar negeri — “hanya itu saja”, katanya lagi. Menurut Jones, tuduhan pada dirinya merupakan “tuduhan serius”. Dalam pertemuan antara Badan Intelijen Nasional (BIN) dan Komisi I DPR, Selasa kemarin, mengutip pernyataan Menlu Hassan Wirajuda, Jones mengatakan laporan-laporan ICG bias dan pemerintah berhak mengusir siapa saja yang diinginkannya. Sidney mengatakan pemerintah telah menolak memperpanjang izin kerja bagi staf asing ICG. Menurutnya, alasan penolakan itu tidak disebutkan. “Bagaimana kami bisa menjawab tuduhan bila tuduhan itu dibuat rahasia?” ujarnya. “Kami mencoba memperpanjang izin kerja tapi tidak diberikan, menurut orang di Depnaker itu terjadi karena adanya pengaduan dari institusi pemerintah lain,” jelasnya. ICG yang punya 19 kantor cabang di seluruh dunia berada di Indonesia sejak 2000. ICG Jakarta telah membuat laporan tentang Aceh, Papua, Maluku, Poso, reformasi, polisi dan militer, desentralisasi dan terorisme. ICG telah menyusun sejumlah laporan mengenai isu-isu politik yang peka, termasuk masalah Aceh, Papua, Maluku, Poso, perombakan dalam tubuh Polri dan TNI, serta masalah terorisme yang banyak dikutip media asing dan pemerintah AS. Dekat George Soros Nama ICG mencuat sejak berbagai laporannya mengenai teorisme tiba-tiba menjadi semacam panduan pihak kepolisan bahkan pemerintah AS. Laporan ICG tentang terorisme Indonesia Backgrounder: How The Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates (Jaringan Teroris Indonesia: Cara Kerja Jamaah Islamiyah) bulan 12 Desember 2002 membuat Indonesia terpojok meski fakta tak pernah membuktikannya. Dalam laporan ini, ICG mengatakan dari 14 ribu pesantren di Indonesia, ada 8900 pesantren yang berbahaya. Anehnya, setelah laporan itu, pemerintah AS langsung mengusulkan agar Indonesia segera merubah kurikulum pendidikan agama, khususnya di pesantren. Tak beberapa lama, beberapa kiai pesantren mendapatkan pendidikan gratis ke AS. Pada laporan lanjutannya, Jemaah Islamiyah in South East Asia: Damaged But Still Dangerous (Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara: Hancur Tetapi Masih berbahaya), di bulan Agustus 2003, lagi-lagi ICG menuduh ada beberapa jaringan pesantren yang bisa dikategorikan teroris dan Jamaah Islamiyah. ICG bahkan menyebut di dalamnya Hidayatullah, hanya karena pesantren ini pernah sekali mendapat kunjungan salah satu tersangka bom Bali yang kejadiannya telah beberapa tahun sebelum terjadinya bom. Anehnya lagi, setelah keluarnya laporan-laporan ICG itu, beberapa nama sesuai daftar di laporan ICG langsung dicokok polisi. Tak heran, banyak pihak menganggap ICG kepanjangan CIA secara halus untuk menekan pemerintahan Indonesia. Caranya, dengan membuat laporan agar lebih terkesan ilmiah. Kecurigaan terhadap ICG ini makin bertambah setelah diketahui ada hubungan antara pialang saham keturunan Yahudi, George Soros dengan pihak ICG. Soros pernah dianugrahi ICG Founders Award tahun 2003 atas kontribusinya membantu ICG. Atas berbagai penelitiannya yang sangat bias dan merugikan pemerintah Indonesia itulah, kini Jones terancam diusir dari Indonesia bersama rekan-rekannya. (abcn/mi/hid/cha)